Jatuh

124 12 4
                                    

Aska bersedekap dada di depan kasur Kenan. Ia menghela napas melihat tubuh yang telungkup itu. Setelah itu dia beranjak dari tempatnya lalu menarik selimut Kenan.

“Ka Nan, udah jam enam. Nanti telat!” ujar Aska sambil memukul punggung Kenan. Ia ogah naik ke tempat tidur karena sudah memakai seragam sekolah. Takut saja ada iler yang terkena seragamnya.

Kenan hanya bergumam. Ia masih sangat lelah. Kakinya juga pegal karena berlari.

“Bego!” maki Kenan dalam hatinya.

Ia menggeliat lalu mencoba untuk duduk kemudian melihat Aska yang berdiri di depannya. “Ini udah bangun. Sana sarapan!” usir Kenan.

Namun, sebelum Aska benar-benar berbalik, Kenan menarik tangan Aska. Mencium keningnya lalu berlari ke kamar mandi.

“Bunda liat Ka Nan!” teriak Aska sambil berlari keluar kamar.

Baik Aska dan Aksa memang tidak suka jika di cium. Siapa pun dia. Mereka mengaku malu jika ada yang menciumnya. Kenan rasa, ia juga dulu seperti itu saat kecil.

*****

“Kalau gue jadi lo, gue udah mati muda, sih!” Adib menghela napas ketika mendengar cerita panjang Kenan sedari tadi. Waktu istirahat yang biasa mereka habiskan dengan makan nasi goreng di kantin terpaksa harus ditunda karena Kenan.

Pelaku hanya menghela napas. Tidak habis pikir kenapa semalam dia malah panik dan kabur seperti tikus yang kepergok kucing. Padahal yang diteriaki adalah tukang sate keliling yang kebetulan lewat. Sial.

  “Kamu enggak sepenting itu, Ken!”

Lagi asyik main ponsel, Cecilia datang menghampiri keduanya. Cewek dengan kacamata itu tampak memegang buku panjang dengan sampul biru.

“Eh Ken, besok kan ada rapat OSIS. Lo bisa jadi perwakilan kelas, gak? Soalnya gue kan dihitung jadi pengurus inti.” Ujar Cecilia.

Adib dan Kenan saling bertatapan.  Gadis yang jarang di kelas karena selalu sibuk dengan organisasinya ini sepertinya sungguh tidak suka basa-basi seperti teman-teman yang lain ketika meminta tolong kepada Kenan.

Kenan juga jadi bingung. Tidak tahu harus menjawab apa. Sebab ia belum pernah menjadi panitia di acara dengan jenis apapun selama berada di SMA Adiwarna.

“Gimana ya, Sil. Gue belum punya pengalaman apa-apa soal jadi panitia. Terus kenapa harus gue?” Kenan memandang sekelilingnya. Menurut Kenan, masih banyak orang yang dapat dimintai tolong oleh Cecilia. Apalagi dia tidak sedekat itu dengan gadis yang sedang mengambil kursi untuk duduk itu.

“Karna tampang muka lo layak banget jadi pembantu. Makanya si Cecilia pengen lo gabung!"

"Aduh!”

Adib mengaduh saat tangan Cecilia mendarat di kepalanya. “Justru muka lo yang mirip pembantu. Apaan muka mulus manis gitu dibilang mirip pembantu!”

Kenan jadi pusing. Pusing karena dua orang di depannya terus bertengkar. “Tapi Cecilia, gue masih bingung. Gue ga pernah jadi panitia soalnya.”

Cecilia menghela napas sambil menatap Kenan, “duh Kenan Aditya Pratama! Justru karna belum pernah, ini bisa jadi pengalaman baru buat lo. Udah ah, rapatnya besok. Jam pelajaran kimia. Ga suka kimia kan lo!? Ga ada tapi-tapian. Gue masih ada kerjaan. Oke? Bye!”

Kenan bahkan tidak mampu menjeda ucapan gadis yang sudah beranjak dari kursi itu. Ia hanya memandang pintu yang Cecilia lewati sambil mencerna semua ucapannya tadi.

“Dasar cewek aneh. Pantas aja ga ada yang mau sama dia!” ujar Adib mengomel sambil kembali membuka ponselnya.

Tapi tunggu, Kenan memandang Adib dengan ekspresi bingungnya. “Bukannya Cecilia itu pacaran sama Kak Xavier? Mereka dekat banget lo!”

  ****

Saat ini tangan Kenan sedang memegang beberapa novel yang di pesan oleh guru bahasa Indonesianya. Biasanya kalau Kenan diminta ke lantai dua untuk mengambil sesuatu, di jalan Kenan akan mengumpat ke semua orang.

Namun kali ini tidak. Sedari tadi, cowok dengan pandangan lurus itu hanya diam dan tersenyum lebar meskipun buku di tangannya lumayan berat. Jika dilihat dari luar, anak ini memang tidak mengucapkan sepatah kata pun. Akan tetapi, hatinya sudah seperti pasar ikan mulai dari jam pelajaran di mulai. Dan semua ini berkat informasi yang Adib berikan. Ternyata selama ini pemikirannya salah.

Kenan terlalu sibuk dengan pemikirannya. Saat akan berbelok, langkahnya terhenti mendadak. Hidungnya harus berciuman dengan dada seseorang. Buku yang dipegangnya juga berhamburan seperti barang rongsokan.

“Bangsat! Mata lo di mana? Sialan!”

Kenan terdiam sejenak. Perlahan ia mengangkat wajahnya dan memandang siswa yang memandangnya dengan tampang kesal itu lalu kembali menunduk.

Meskipun Kenan hanya sebagai figuran di sekolah ini. Akan tetapi, mustahil ia tidak mengenal lelaki dengan jaket jeans dan baju yang selalu keluar itu. Kenan tahu. Seisi sekolah juga pasti tidak asing dengannya.

“So-sori, gue enggak sengaja!” ujar Kenan sambil memandang buku-buku yang jatuh dengan tragis itu.

“Kalo ngomong itu liat orangnya, bego! Lo pikir gue apa!”

Mulutnya kelu. Kenan belum pernah berada pada posisi seperti ini. Jangankan seperti ini, bunda saja tidak pernah membentak Kenan. Jadi, dia hanya diam. Tidak tahu bagaimana cara menyelesaikan kasus ini.

“Dasar dungu! Lo pikir gue ngomong sama apa, hah!” Kenan tersentak ketika badannya didorong oleh  Revan. Ia. Dia Revan Alvonsia.

Jangankan Kenan, satu sekolah pun harus berpikir siang malam untuk mencari masalah dengan Revan.

Kenan tremor. Matanya sudah berkaca-kaca. Perlahan ia memandang orang dengan tangan sudah mengepal itu.

“Ma-maaf. Gue benar-benar enggak sengaja. Ini sepenuhnya salah gue!”

Mampus. Kenan mengutuk keputusannya untuk memandang Revan. Tepat ketika mata mereka bertemu, air matanya menetes. Sial. Kenan jadi terlihat cengeng dan lemah.

Namun, Revan hanya diam. Diam ketika melihat air mata Kenan jatuh. Pandangannya juga ikut melunak. Melunak dalam artian, dia tidak lagi melotot. Tapi tetap saja, matanya yang seperti itu masih terlihat menyeramkan bagi Kenan.

“Sekali lagi lo buat masalah sama gue, enggak hanya mata lo yang keluar air. Badan lo juga bakal keluar air!”

Kenan kembali menunduk ketika Revan melongos pergi sambil menendang satu buku di dekat kakinya. Begitu merasa Revan sudah jauh, ia menghapus air matanya.

Sial. Kenan memaki dirinya sendiri. Kenan memang takut kepada Revan. Tapi apakah dia harus menangis seperti tadi. Sambil mengambil novel itu, Kenan memaki dirinya sendiri.

“Nama lo Kenan, kan!”


KenanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang