Part 1

1 0 0
                                    

Hallo readers mimin sudah upload cerita baru nih

Yang pastinya seru

yuk langsung aja di baca

Happy reading :)


Kubanting tutup bolpoin kesal menatap hasil karya awut – awutan di catatan Jermanku. Coretan yang sama sekali tidak berbentuk. Hasil imajinasi kanak – kanak. Banyak orang berkomentar hasil lukisan anak – anak adalah alam kehidupan mereka yang murni. Tetapi untuk kali ini, kejengkelanku telah memuncak! Tiada waktu lagi berpetatah – petitih, tiada waktu lagi memuji ke sana kemari. Ini memang benar – benar sudah keterlaluan! Melihat kemarahanku yang tersirat lewat mata, beningnya mata bocah itu sedikit demi sedikit mulai mengebur, kemudian hening, mengkerut, dan ... setetes demi setetes bergulir di kedua belah pipinya yang montok, menatapku dengan sorot kekuatan.

"Sudah, sudah!" tak sampai hati kuledakkan ke jengkelan yang menggumpal di dada. "Main di luar saja sana! Awass kalau masih mencoret – coret buku! Dasar tangan gatal!"

Baru saja bentakanku berakhir, daun pintu terbuka lebar. Serta merta bocah cengeng berpita warna – warni itu berlari ke arah seseorang yang segera mendekapnya mesra. Membopongnya, menciumnya, men ... betaapa menjijikan! Kupalingkan wajah mengusir rasa iri yang mulai bertahta.

"Yaye jangan nakal ya ... kan papa sudah bilang, kalau mbak Ayang lagi belajar, jangan diganggu. Nah, sekarang minta maaf sama mbak Ayang. Maaf mbak Ayang ..., ayo!"

"Maaf .. mbak Yang," Yaye kecil menatapku takut – takut. Lelaki separuh baya itu kini mendekat dengan anaknyadalam pelukan. Matanya tetap bersinar ramah walaupun mungkin tahu bahwa anggukanku untuk Yaye sebenarnya terpaksa.

"Akan ujian, Yang?"

"Ya, di Goethe."

"Tidak makan malam bersama papa dan mama?"

"Tidak, duluan saja," jawabku singkat. Sampai kapanpun lelaki itu takkan pernah kupanggil 'Papa'. Dia hanya mempunyai seorang anak. Yaye Malawisna. Dan hanya Yaye yang berhak memanggil papa, bukan aku.

"Belajar baik – baik ya?" lelaki itu mengelus rambutku yang segera kusambut dengan tangkisan tangan serta tatapan curiga. Helaan nafasnya terdengar lirih, mengisi malam yang pengap di kamarku.

"Papa makan dulu kalau begitu ."

Ak tidak menyahut. Setelah punggungnya menghilang di balik pintu, baru sudut mataku tertarik. Heran. Dia tidak pernah jemu menyebut dirinya papa, membahasakan dirinya papa di depan kami. Aku, mas Yoyok, dan Yossi. Seolah dia tidak sadar, bahwa kami tidak akan pernah mau menyebutnya papa.

Kututp lembaran yang terbuka di hadapanku. Setelah menutup pintu perlahan – lahan, kuhempaskan tubuh di atas ranjang. Betapa capatnya dunia ini berputar, batinku perih. Dan rasanya, segala bentuk cinta kasih yang pernah kunikmati selama ini adalah cinta yang padam! Cinta yang lahir karena rasa sepihak. Dari lelaki – lelaki yang pernah bersumpah – sumpah mengikrarkan cinta di hadapan mama, dan berjanji akan menjadi suami yang bertanggung jawab. Namun nyatanya!? Mereka tidak pernah mempunyai setitik cinta terhadap buah cinta mereka sendiri dengan orang yang mereka cintai. Mamaku!

Mas Yoyok sibuk bolak – balik menempelkan telingadi dinding kamar. Wajahnya memancarkan keseriusan. Sebentar kemudain badan ranjang bergoyang – goyang keras. Aku yang sedang asyik membaca Lima Sekawanmemandangnya heran. Tumben mas Yok lasak begini.

"Yang,"mas Yok nyaris berbisik. "Coba dengar!" Kuletakkan buku dengan rasa ingin tahu. Ada suara – suara ribut diluar. Mas Yok menatapku seraya memegangi kedua ujung celana pendek. Waktu itu mas Yok masih kelas dua es – em – pe dan aku baru kelas terakhir Sekolah Dasar. Semakin lama suara – suara itu semakin jelas. Tiba – tiba mas Yok meloncat dari atas temat tidur , berlari menuju dinding dan

REMBULAN DIPERBATASANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang