Hallo reader mimin sudah upload kelanjutan ceritanya nih
Penasarankan? Yuk langsung aja di baca
Happy reading :)
Mataku berkejab menahan perih. Tanpa kusadari tetes demi tetes mengalir deras dari mataku. Terdengar denting sendok garpu beradu dari ruang makan. Perutku mulai, namun rasa segan itu melarangku melangkah. Lelaki ketiga dalam kehidupan mama itu benr – benar telah membuatku tidak betah tinggal di rumah! Sungguh tak kusangka, ketika baru saja menjejakkan kaki di rumah yang menurut mama sangat indah dan menyenangkan, sorang lelaki separuh baya telah menyambut kami dengan sorang gadis mungil menggemaskan dalam bopongannya. Keinginanku untuk menjepit pipi montok itu seketika sirna ketika mama menjelaskan siapa mereka sebenarnya.
Suatu kehidupan baru kembali dimulai. Dadaku yang berat terhimpit tidak mampu meledak, bahkan untuk menangis sekalipun di depan mereka. Kehidupan ini terasa sangat sunyi. Sangat sunyi! Dan aku tumbuh remaja dalam kesendirian.
"Mbak Ayang," tiba – tiba Yossi muncul di ambang pintu. "Papa Yaye menyuruhku memanggilmu. Sudah ditunggu di ruang makan sama mama."
"Aku sudah kengyang," jawabku acuh. "Lagi pula makan malam kan sudah selesai. Kau sendiri paling pertama selesai kan?"
Yossi tidak menjawab. Dan memang itu pertanyaan yang tidak perlu dijawab. Ranjang bergerak sedikit. Aku tetap menelungkup. Pasti dia tengah beringsut – ingsut mendekat, untuk kemudian memandang penuh harap. Biasa ... itu ciri khasnya bila ingin meminta sesuatu.
"Mbak Yang, besok siang ada acara?"
Nah. Tepat kan? Buntutnya pasti, tolong anu ....
"Bisa anatarkan Yossi ke sekolah?" tanyanya ragu – ragu. Seketika aku berbalik. Kutentang matanya tajam. Melihat reaksiku dia mengkerut ketakutan. Dalam hati aku tersenyum puas. Sekarang tahu rasa kamu!..
"Sewaktu aku dan mas Yok sebaya kamu, pergi pulang sekolah tidak pernah diantar siapapun! Papamu yang melarangnya. Nah, sekarang coba rasakan! Belajar mandiri sana! Jangan maunya enak melulu! Atau, minta tolong saja sama laki – laki itu!!" suaraku terdengar getes.
Yossi diam tertunduk. Kutatap raut wajahnya dengan perasaan aneh. Dia sangat tampan, dibandingkan mas Yok. Matanya yang bulat menawan, dan tubuhnya yang tegap. Tetapi.... aku terlanjur membencinya! Kepalanya terangkat perlahan.
"Papanya Yaye besok juga harus mengantarkan tamu asing di kantornya. Tolong mbak, sekalii... ini saja, ? desaknya memelas.
"Kenapa sih kamu pengecut begini? Pergi saja naik bus, gampang! Besok aku ada ujian, tahu ?!"
"Ujiannya kan sore ..." dia masih menuntut. Kuhantam bibir ranjang tak sabar. Yossi memandangku terkejut. Masih empat kulihat dia menggigit bibir bawahnya diam – diam.
"Jangan ganggu aku lagi," desisku geram
"Maaf mbak Yang," Yossi bangkit perlahan. Di depan pintu kamar dia berhenti. Menatapku lurus.
"Mbak Ayang, saya tidak punya siapa – siapa lagi. Saya sayang mbak Yang, sebab hanya mbak Yang yang selalu di rumah. Mas Yok terlalu sibuk."
Pintu tertutup. Aku tertegun. Kali ini tubuhku berbalik dingin, menghantam tepian ranjang sekuat tenaga dengan bibir bergetar. Aku mencintaimu, Yos! Tapi benci papamu! Dialah sumber perusak keluarga kita! Dialah yang menyebabkan aku juga tidak punya siapa – siapa kecuali mas Yok.
Aku ingin mennangis sepuasnya. Namun hanya perih yang terasa. Entah sejak kapan, aku tak pernah menghitung, aku tidak lagi bisa menangis dengan leluasa. Semuanya tertimbun menjadi satu di dalam hati.

KAMU SEDANG MEMBACA
REMBULAN DIPERBATASAN
KurzgeschichtenKubanting tutup bolpoin kesal menatap hasil karya awut - awutan di catatan Jermanku. Coretan yang sama sekali tidak berbentuk. Hasil imajinasi kanak - kanak. Banyak orang berkomentar hasil lukisan anak - anak adalah alam kehidupan mereka yang murni...