Bab 3

25 4 0
                                    

2 tahun kemudian.

Nindya menghela napasnya, kepalanya mendongak menatap langit sore yang tampak indah. Ia keluar dari gedung kantor lalu menuju sebuah mobil yang sudah menunggunya.

"Gak papa nih mbak Na nganter aku lagi?" tanya Nindya pada wanita yang duduk di kursi kemudi.

"Aelah kaya sama siapa aja sih lo Nin." Ratna, teman satu divisi Nindya itupun mulai menjalankan mobil miliknya. 

Selama kurang dari dua tahun ini, Nindya bekerja di perusahaan yang baru. Tempat bekerja nya saat ini lumayan jauh dengan kantor nya yang dulu. Walaupun pekerjaannya tidak ada sangkut pautnya terhadap kenangan buruk itu, tetap saja rasanya ia baru bisa tenang setelah pindah.

Mantan kekasihnya tidak pernah menghubungi nya lagi, padahal Nindya tidak memblokir apalagi menghapus nomor Baskara. Entah mengapa dirinya melakukan hal itu.

Tidak ada barang istimewa pemberian mantan kekasihnya yang perlu dibuang, karena memang lelaki itu tidak pernah membelikan satu barang pun selama mereka berpacaran. Hanya foto dan video yang Nindya hapus permanen dari ponselnya.

"Hari minggu main lah kerumah gue Nin, Lala nyariin aunty nya, kangen katanya." 

Nindya tersenyum tipis, "Iya mbak, tapi gak janji yaa."

Ratna mendengus mendengarnya, wanita itu memberhentikan mobilnya di depan kontrakan baru Nindya. Gadis berambut cokelat gelap itu turun dari mobil, ia menunduk menatap Ratna yang sudah menurunkan kaca mobilnya.

"Makasih ya mbak."

Wanita itu mengangguk sambil tersenyum, "Sip. Gue duluan ya."

Setelah mobil Ratna tidak terlihat di pandangan Nindya, gadis itu masuk kedalam kontrakannya. Kontrakannya saat ini sedikit lebih besar dari kontrakannya yang dulu dan jauh dari kantor. 

Biasanya ia akan menaiki kendaraan umum atau Ratna yang akan menawarkan diri dengan sedikit paksaan untuk berangkat ke kantor ataupun pulang ke rumah. 

Waktu masih baru di kantornya, Ratna lah yang pertama kali menyapa nya. Pembawaan yang ramah dan ceria Ratna membuat Nindya mau berteman dekat dengan wanita itu. Lagipula Ratna bukan wanita sembarangan, Nindya jelas melihat ketulusan Ratna padanya.

Semenjak kejadian buruk itu, Nindya seperti membentengi dirinya sendiri untuk tidak terlalu dekat dengan seseorang. Hanya sebatas rekan kerja saja, tidak lebih.

Yah, kecuali Ratna. Ia sudah menganggap Ratna teman dekatnya.

Setelah selesai membersihkan diri, Nindya pun mengerjakan beberapa laporan yang belum selesai ditemani secangkir kopi hitam.

Jari nya dengan lihat mengetik beberapa rangkain kata, sesekali dirinya berdecak ketika masih banyak kalimat-kalimat tidak sesuai yang membuatnya harus mengulang lagi.

Kedua kelopak matanya semakin berat ingin menutup. Padahal laporan yang ia buat hampir selesai. Nindya menghela napas lelah, ia menyimpan pekerjaannya kemudian mematikan laptop.

Selesai dengan semua itu, ia mulai merebahkan tubuhnya yang kaku ke ranjang minimalis miliknya. Ia menghela napas lelah dan mulai menutup kedua matanya.

Semoga saja besok tidak ada hal buruk yang menghampirinya. Karena entah mengapa sedari tadi perasaannya gelisah dengan jantung yang berdetak lebih cepat.

Namun apa yang dikhawatirkan dirinya semalam memang benar-benar terjadi.

"Nin, lo dipanggil Bos besar tuh."

Deg.

Semacam ada petir yang menyambar di siang hari, jantung Nindya semakin berdetak cepat. "Aduh, kalo sampe Bos besar turun tangan sendiri, gawat."

Nindya's second life journeyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang