Terik matahari siang agaknya sama sekali tidak mempengaruhi semangat seorang bocah yang baru berumur tujuh tahun itu untuk berhenti tertawa. Bocah laki-laki itu berlarian di atas rerumputan pendek di belakang rumah dengan baju ala astronot yang terbuat dari kardus. Sesekali ia berlari cepat, seolah ia sedang mengendalikan sebuah roket yang meluncur.
Senyuman anak itu lebar sekali, seakan menunjukkan pada dunia bahwa dia adalah manusia yang paling bahagia. Anak itu masih lincah ke sana ke mari meski napasnya sudah nampak terengah-engah. Bahkan keringatpun juga turut bercucuran, sedikit membasahi kardus yang dia pakai.
Kakinya lalu mulai melompat-lompat layaknya seorang astronot yang sedang berjalan dengan gravitasi yang rendah, berkhayal jika dirinya sedang berada di bulan. Lalu dia mulai berteriak riang. "BUNDA! ASKA UDAH SAMPAI DI BULAN!" teriaknya pada sosok wanita cantik yang duduk di bangku panjang berpayung pohon rindang.
Ibunya sontak tertawa renyah melihat kebahagiaan sederhana yang sang anak miliki. "Baskara! Nggak capek kamu, Nak?"
Dengan terengah-engah, anak itu menjawab, "Capek, Bunda!" Ia, Baskara, berhenti bergerak lincah. Keringat dan tanda kelelahan lainnya sudah muncul di wajahnya.
"Ayo sini, pulang lagi ke Bumi! Istirahat dulu!" seru Anatari, sang ibu.
"Siap, laksanakan!" Baskara berpose hormat sebelum kakinya mulai berlari kecil kepada Anatari. "Astronot Baskara siap meluncur!"
Sesampainya, Baskara langsung melompat ke pangkuan Anatari. "Aska sudah pulang nemuin Bunda di Bumi, hehe. Bunda kangen, nggak, sama Aska?"
Anatari terkekeh geli. Ia membuka helm kardus yang menutupi kepala Baskara, lalu mendekap bocah berbaju kardus ala astronot itu. "Bunda selalu kangen sama Aska."
Baskara tersenyum lebar hingga semua deretan gigi depannya terpampang, membuat Anatari ikut tersenyum. "Aska hari ini bahagia banget, Bunda! Kakek udah nggak benci Aska, tadi aja kakek bantuin Aska buat baju astronot ini. Aska seneng banget!"
Di detik berikutnya, senyuman Baskara berubah sedikit kecut. "Kapan, ya, Aska bikin baju astronot bareng ayah? Aska kangen ayah, Nda."
Senyuman Anatari berubah prihatin. Ia menangkup pipi bocah itu lalu mengusapnya lembut penuh kehangatan. "Maaf, ya, Aska. Ayah masih sibuk sama urusan kantornya. Nanti kalau ayah udah nggak sibuk, ayah pasti bakal nemenin Aska main."
Untuk yang sekian kali, Baskara harus menelan pil pahit. Ia hanya ingin seperti teman-temannya di sekolah. Mereka suka sekali bercerita tentang pengalaman mereka bermain dengan ayah. Baskara juga ingin, tapi melihat sikap ayahnya yang apatis dan dingin membuat Baskara ragu. Ayah seperti tidak menyukai kehadiran Baskara. Ayah seperti membencinya. Ayah tak pernah tersenyum untuknya. Baskara terkadang merasa sangat sedih, mengapa ayahnya jarang sekali pulang ke rumah dan makan bersama keluarga kecilnya di meja makan. Baskara juga tak pernah merasakan bagaimana rasanya di antar ayah ke sekolah seperti teman-temannya. Baskara rindu ayah meski ia ragu jika ayah juga merindukan dirinya.
Satu tahun kemudian, ayahnya tak pernah berubah. Masih dingin, dan bahkan bertambah kasar. Hingga pada suatu saat, sebuah kenyataan berhasil meruntuhkan hampir semua dunia Baskara. Meremukan hatinya yang masih berharap kasih sayang. Ayahnya berselingkuh, bahkan dengan selingkuhannya, dia sudah memiliki dua anak.
Ketika itu, Baskara bersama Anatari memasuki toko es krim karena Baskara memohon untuk dibelikan es krim pisang kesukaannya sepulang dari sekolah. Saat Anatari tengah memesan, Baskara melihat sebuah siluet seorang pria yang ia kenal di sebrang toko es krim. Itu ayahnya, Bhadra. Baskara berbinar dan berniat beranjak dari tempatnya duduk. Namun, ketika Baskara hampir menyentuh pintu kaca toko es krim, anak itu mematung bingung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Matahari
Teen FictionAditya Baskara benci ketika mengingat acara bunuh dirinya yang tak jadi karena dipergoki oleh seorang gadis cacat kaki bernama Arunika Ahana. Terlebih lagi dengan ucapan sarkas gadis lemah itu. Setelah kejadian itu, Arunika masuk ke dalam daftar jaj...