Baskara kecil menatap malas guru yang sedang menjelaskan. Di indranya tampak terbayang seperti dengungan lebah yang berdering, atau jangkrik yang memekik. Dan lihat itu, dia mulai menulis angka-angka di papan tulis, ingin sekali Baskara membanjur papan tulis itu dengan asam lambungnya. Jika orang itu benar-benar seekor lebah atau jangkrik, mungkin Baskara takkan ragu untuk memukul dan menginjaknya. Andai, andai Baskara bisa melakban mulut orang itu.
Anak berumur delapan tahun itu mengerang pelan penuh menyalurkan rasa bosannya. Menyebalkan. Kapan bel penyelamat itu akan datang? Baskara merasa telinganya mungkin akan tuli jika harus mendengarkan dan melihat angka-angka sialan itu.
Dia kemudian mengalihkan perhatian pada buku tulisnya yang kosong. Mengambil pensil lalu mengotori kertas putih itu dengan goresan. Baskara menumpu pipinya, menggambar apa saja yang ada di semesta pikirannya--ya ... meski gambarannya seberantakan angin tornado. Sangat membuat sakit mata.
Dia menggambar matahari, dan para antek-anteknya yang selalu setia berotasi padanya. Menabur banyak bintang yang menyebar, seperti susu yang tumpah di langit membentuk jalan. Menyelipkan bulan di sisi bumi. Baskara terus menggambar hingga memenuhi ruang semesta bukunya. Menggambar apa pun yang dia bayangkan.
Baskara hanyut terbawa arus imajinasinya sendiri sampai-sampai bel pulang pun tak dia sadari. Hingga anak itu selesai mencoret-coret selembar keras penuh, dia baru menyadari bahwa kelas yang berisik itu sudah sunyi. Baskara melihat sekitarnya. Sorot matanya jatuh melihat tempat duduk Chandra yang kosong--dan sedari tadi pagi pun selalu kosong--anak tengil itu tidak masuk. Pantas saja Baskara merasa harinya cukup tenang--dan agak kesepian.
Dia melihat jam, jarum itu menunjukkan bahwa bel sudah berbunyi lima belas menit yang lalu. Baskara langsung bergegas membereskan barang-barangnya.
"Baskara bodoh," umpat sang empu menggumam sebelum berlari kecil keluar dari kelas.
Saat sampai di lorong, Baskara berdecak menghentikan langkahnya saat merasa penuh pada kantung kemihnya. Kemudian dia berbelok menuju kamar mandi.
Usai menyelesaikan urusannya, Baskara berdiri terdiam saat mendengar samar suara-suara kasar dari belakang sekolah--tepatnya di belakang kamar mandi.
Rasa penasaran menelan Baskara membuatnya mengikuti asal suara. Anak itu bersembunyi di balik tembok menyaksikan empat badebah sedang mencoba merundung satu kelinci buruan mereka.
Kelinci yang tertunduk itu terperosok ke depan saat satu kakinya dijegal berkali-kali oleh mereka yang kini tertawa.
"Hei, bisu! Kamu bener-bener nggak bisa ngomong, ya!" teriak salah satu dari mereka yang Baskara kenali struktur wajahnya. Galang Madhava--Baskara pernah satu kelas saat masih di Taman Kanak-kanak dan juga ... belum lama ini mereka satu perguruan karate.
Baskara yang masih sembunyi sedikit menyipitkan mata saat mereka terus saja berteriak dengan kata-kata bajingan mereka. Ah ... suara mereka benar-benar terdengar seperti tikus yang terjepit--atau terompet tahun Baru, mungkin saja. Pokoknya akit sekali telinganya mendengar bunyi mereka.
Plak ... Bugh ...
Mata elang Baskara mulai aktif mempertajam saat mendengar suara kekerasan itu. Ekspresi wajahnya mulai serius. Ingatannya tiba-tiba berputar ke masa-masa di mana bunda selalu memberinya luka.
Keringat Baskara meluncur bebas sast tempo jantungnya melonjak meningkat. Dia lalu meninggalkan tempat persembunyiannya segera dan menghampiri empat calon pecundang itu.
Baskara melempari tempurung kepala mereka satu persatu dengan batu kerikil. Membuat mereka memekik kesakitan sekaligus marah. Mereka menoleh ke arah Baskara dengan dendam yang membuncah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Matahari
Teen FictionAditya Baskara benci ketika mengingat acara bunuh dirinya yang tak jadi karena dipergoki oleh seorang gadis cacat kaki bernama Arunika Ahana. Terlebih lagi dengan ucapan sarkas gadis lemah itu. Setelah kejadian itu, Arunika masuk ke dalam daftar jaj...