8. Cahaya Hangat

374 52 0
                                    

"Hai, kok kamu nangis? Mama papa kamu ke mana?"

Arunika kecil berumur 10 tahun mengangkat kepalanya yang tertunduk. Terlihat seorang gadis yang hampir sepantar dengannya dan memakai piyama rumah sakit yang sama, sedang berdiri menatap wajah sembap Arunika polos.

Tatapan gadis itu turun ke arah kursi roda yang Arunika pakai dan lutut satu kaki kirinya terperban. Menyiratkan rasa sendu dan prihatin, membuat Arunika malu.

Anak itu mendekat lalu mengusap pipi Arunika yang basah. "Kamu cantik kalau nggak nangis." Arunika tertegun dibuatnya.

"Kamu kok nangis sendirian di sini?" tanya gadis kecil itu sambil melihat ke sekitarnya--taman yang sepi.

Arunika kembali menunduk, mengarah pada kaki kirinya yang sudah raib dari lutut ke bawah. "A-Aku udah nggak bisa jalan lagi," bisiknya tergugu, meremas pakaiannya. "Mama papaku juga nggak peduli. Aku pengen mati aja, mereka selalu nggak peduli sama aku."

Bahunya ditepuk-tepuk dengan lembut, anak itu memberinya senyum bercahaya meski dirinya saja pun dalam keadaan pucat. "Kamu pasti kuat banget, wonder woman pasti minder sama kamu!" katanya antusias berusaha menghibur. "Kamu pasti bisa lebih kuat lagi. Kata mama, kalau kita dikasih cobaan, itu artinya kita kuat banget!"

"Aku pengen nanya deh, apa keinginan terbesar kamu dan sampai saat ini belum kamu capai?"

Arunika mengusap matanya yang masih ada sisa-sisa air lalu terdiam berpikir. "Aku mama papa sayang aku, ingin bahagiain Mas Ardhi, dan ... aku juga ingin jadi dokter. Dokter yang bisa nyembuhin banyak orang yang sakit."

"Keren banget! Nah sekarang, sebelum kamu berpikir buat mengakhiri hidup, coba deh kamu jadiin semua keinginan-keinginan kamu itu sebuah tujuan yang harus kamu ambil. Kamu harus tetap hidup buat raih semua keinginan Kamu! Kamu pasti bisa!"

"Jangan sedih lama-lama, ya, nanti cantiknya ilang loh." Dia menggenggam erat tangan Arunika.

Kedua bola mata Arunika sedikit memancarkan binar yang terang. Dia tersenyum tipis pada gadis penuh energi positif itu lalu mengangguk kaku.

"Oh iya, ngomong-ngomong aku Mega. Kalau mau, kita bisa kok main bareng selama kita masih di sini. Aku juga punya Barbie loh." Gadis itu--Mega terkikik.

Binar di kejernihan netra Arunika semakin berkilau. Sudut bibirnya juga bangkit untuk tersenyum lebih penuh. Dia akhirnya mengangguk antusias. "Aku Arunika."

Ingatan tersebut langsung tergambar begitu Mega menceritakan awal mula mereka bertemu. Arunika tertegun sebelum tersenyum manis. "Kita pernah main bareng?"

"Iya, kita jadi main bareng. Main Barbie, terus main masak-masakan, dokter-dokteran--" Mega terkekeh kecil. "--sebelum gue pergi dan kita nggak pernah ketemu lagi. Tapi kayaknya ajaib deh, kita bisa ketemu lagi sekarang. Nggak nyangka aja."

"Arun ... " Mega menggenggam tangan sang empu. "Lo masih inget nggak dulu gue manggil lo 'Arun'?"

"Nama kamu kepanjangan, aku panggil kamu Arun aja, ya? Tapi aku doang yang boleh manggil gitu."

"Boleh sih. Tapi kenapa?"

"Biar nanti kalau kita pisah dan ketemu lagi, pas aku manggil kamu 'Arun' kamu langsung tau kalau itu aku."

Arunika tertawa kecil lalu mengangguk setelah dialog mereka berdua di masa lalu terbayang. "Aku suka nama itu."

Mega mengusap tangan Arunika. "Arun ... kalau lo lagi sedih dan nggak ada Mas Ardhi di samping lo, lo boleh kok pake bahu sama telinga gue."

MatahariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang