3. Kilat yang Datang Mengusir Mentari

411 50 0
                                    

Baskara berumur 10 tahun mendekap  erat boneka beruang rajutan yang dibuat bunda empat tahun lalu--yang tadinya untuk anak perempuannya yang sudah gugur. Boneka cokelat kecil yang pas untuk dirinya peluk sepanjang hari.

Di dalam sebuah kursi penumpang depan mobil, Baskara diam melihat lalu-lalang jalanan saat mobil bergerak maju dari kaca jendela. Dia tidak tahu ke mana Ayah akan membawanya. Tiba-tiba dengan wajah dingin menjemputnya dari rumah bunda, merebutnya dari pengasuhnya. Menyuruh Baskara masuk mobil dan tetap bungkam.

Baskara menurut dan tak banyak melayangkan tanda tanya, sebab pasti Ayah akan marah.

Hingga beberapa menit ke depan, mobil Bhadra berhenti di sebuah pekarangan rumah mewah. Pria itu menyuruhnya turun dan mengikutinya ke dalam.

Dengan ragu, Baskara menurut untuk mengikuti Ayah. Kedua bola netranya berbinar begitu melihat rumah yang mewah dan indah--jauh dari rumahnya yang minimalis. Saat berada di halaman depan pun Baskara hampir saja mengira bahwa dia sedang berada di istana.

Saat pintu besar itu dibuka, Baskara lebih berbinar lagi. Rumah luas dengan interior yang sangat bagus. Baskara langsung membayangkan bagaimana jika dia bermain mobil-mobilan di dalamnya, pasti seru.

Kemudian lamunannya pecah begitu saja saat mendengar suara sosok anak perempuan. "Papa!"

Baskara melihat gadis yang umurnya masih dibawahnya dengan dress ungu pucat yang cantik. Dia pernah melihat gadis dengan poni itu. Dia pernah. Gadis itu pernah digendong Bhadra.

Gadis itu berlari menuju Bhadra yang tersenyum dan berlutut merentangkan tangan, seakan sedang menyambut pelukan.

Baskara terdiam menatap kosong lurus ke depan. Ayah tidak pernah mau memeluknya tulus seperti itu. Kenapa? Kenapa gadis itu yang malah mendapatkannya?

"Mega ... kamu nggak main sama kak Akhza?"

"Main kok, Papa. Tadi Mega main masak-masak di kamar sama kakak." Dia tersenyum lebar, lalu luntur perlahan saat menyadari eksistensi Baskara. "Papa, dia siapa?"

Riang di wajah Bhadra perlahan pudar saat menoleh ke arah Baskara. "Baskara, kakak kamu juga ... "

"Mas kamu sudah pulang." Bhadra kembali tersenyum saat menyambut kedatangan seorang wanita bersama satu orang anak laki-laki seumuran Baskara.

Wanita itu juga tersenyum pada Baskara. "Kamu Baskara, ya?"

Sang empu tak menjawab, diam dengan wajah tak senang.

"Ekhm ... dia mama kamu, hormat sama dia," seru Baskara.

Wanita itu tak melunturkan senyumannya, dia malah menekuk lutut ke lantai agar bisa sejajar dengan Baskara. "Aku Prisa, kamu bisa panggil aku mama kalau kamu mau." Dia megambil bahu Baskara dan mengarahkannya pada kedua anaknya. "Dan mereka akan jadi saudara kamu, Mega dan Akhza."

Baskara hanya bisa menatap kosong. Dia tak paham apa yang terjadi sebenarnya di sini. Siapa mereka? Kenapa Ayah membawanya ke sini?

Melihat Baskara yang hanya diam dengan raut redup membuat Prisa merasa tak enak. Dia menatap Bhadra khawatir.

"Hai kakak. Aku Mega." Gadis itu mencairkan suasana dengan suara riangnya sambil melambaikan tangan.

"Baskara?" Mata sang empu yang semula menatap Mega kini beralih pada Akhza. Orang itu tersenyum tipis. "Aku Akhza. Suka main PS? Kalau iya, nanti kita bisa main bareng."

Baskara mengeratkan cengkeramannya pada bonekanya. Dia ingat, ingat siapa mereka, juga wanita itu. Mereka yang dilihatnya bersama Ayah waktu itu. Dan wanita itu ... adalah wanita dalam foto yang selalu bundanya maki-maki saat menangis. Baskara menatap mereka benci membuat Bhadra menarik tangannya.

MatahariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang