"Manusia terbodoh yang pernah gue temui itu lo, Baskara. Lo sarapan apa sih sampai ada aja ide lo buat ngelukain diri? Lo masokis, heh?"
Chandra berdecak sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Membalas tatapan sinis Baskara yang terbaring di brankar rumah sakit VVIP. Dahi luka, pipi luka, hidung luka, dagu luka. Badan pun Chandra yakin pasti luka. Entah sudah yang ke berapa kali Baskara seperti ini. Menghilang dan kembali dengan luka-luka.
Baskara tertawa sinis. "Dan manusia tergila yang pernah gue temui adalah lo. Lo dipelet sama Luna, hah, sampai bisa apa-apa Luna mulu? Lukis dikit, jadi Luna. Gambar dikit, Luna. Ngigau dikit, Luna. Luna mulu di otak lo. Terus ... emang gue nggak tau kemarin lo beli bantal custom gambar muka Luna, heh?"
Wajah dan telinga Chandra langsung memerah--memerah seperti buah persik kesukaan Luna yang baru matang. Dia memalingkan dan sedikit menundukkan wajah sejenak untuk kembali menormalkan diri.
Baskara terkekeh sinis. Dan lima orang lainnya yang mendengar perdebatan mereka hanya mengembuskan napas jengah.
Sedetik kemudian, Chandra langsung menatap Baskara sengit, mengambil ancang-ancang untuk menghajar Baskara. "Apa urusannya sama lo?!"
"Dasar bulol."
Sebelum perang antar teman tersebut hampir saja pecah, Adam langsung menahan bahu Chandra dan memotong alur pembicaraan mereka.
"Ini rumah sakit woi. Berantemnya nanti aja. Kalian ini ... berantem suka nggak tau tempat." Adam memijat pangkal hidungnya.
Sontak Baskara dan Chandra langsung mengatupkan bibir lalu memalingkan wajah masing-masing. Adam memang kalem dan penyabar dengan aura alamnya yang menenangkan, tapi jika dia sudah tidak bisa menahan amarah--maka bumi juga sepertinya akan ikut murka.
"Dra, sabar, Dra." Adam menarik Chandra mundur dan mendudukkan anak itu ke sofa tamu. Seperti bumi yang menarik bulan dengan gravitasinya agar dapat mengorbit bumi, tak membiarkan bulan hilang kendali dan tanpa sadar beradu dengan matahari.
"Lo nggak geger otak, 'kan, Bas?" celetuk Atlas, pemuda yang sedari tadi duduk dengan pandangan mata yang selalu lurus.
"Lo jangan mulai deh." Baskara tetap melihat Atlas dengan tatapan malas meski tahu bahwa Atlas takkan pernah bisa melihatnya.
Atlas tertawa, meski semuanya gelap--namun tak seluruhnya, dia bisa membayangkan jika Baskara pasti menatapnya dengan gaya tatapan khasnya. Kalau tidak datar, ya sinis, kalau tidak keduanya, pasti tatapan malas. Sebelum kecelakaan yang membuatnya buta permanen, Atlas sudah mengenal bagaimana tempramen Baskara. Jadi dia bisa membayangkan bagaimana Baskara akan bereaksi.
Galaksi terkekeh sambil merangkul Atlas. "Bagus juga, nggak, sih kalau dia sampai geger otak? Siapa tahu sifatnya berubah. Capek gue liat mukanya datar mulu ngalahin patung, padahal patung Kim Jong Un aja senyum. Kim Jong Un terkalahkan sama muka patungnya dia, ck ... ck ... ck. Kasian ... kasian."
Mereka semua yang ada di kamar rumah sakit itu tertawa kecuali Baskara. Chandra menjadi orang yang tertawa lebih keras membuat Baskara ingin memukuli kepala mereka satu per satu, terutama si bukan keju basi itu--Chandra.
Sumpah demi apa pun, Baskara sudah lelah sebenarnya menghadapi trio anak tuyul seperti Chandra, Gemintang, Galaksi, yang menyebalkannya tujuh lapisan bumi dan langit. Ditambah lagi dengan Atlas, Baskara jadi bingung dengan anak itu. Kadang waras, kadang sinting. Kadang otaknya lurus, kadang miring. Atlas yang awalnya sewaras Angkasa dan Adam menunjukkan bahwa makin hari dia agak tidak beres. Entah apa yang dilakukan trio tuyul itu hingga mencemari sungai yang jernih menjadi setengah selokan sampah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Matahari
Teen FictionAditya Baskara benci ketika mengingat acara bunuh dirinya yang tak jadi karena dipergoki oleh seorang gadis cacat kaki bernama Arunika Ahana. Terlebih lagi dengan ucapan sarkas gadis lemah itu. Setelah kejadian itu, Arunika masuk ke dalam daftar jaj...