"Ampun, Bunda!"
"Diem kamu! Dasar anak nakal!"
Seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun meringkuk di sudut ruangan sambil bertelanjang dada. Dia, Baskara kecil, menangis tergugu merasa semua badannya terasa sangat perih, sebab luka tersebar di mana-mana.
Nestapa begitu merundungnya, menyerangnya dengan sangat tiba-tiba. Datang membawa luka hingga Baskara kelimpungsn bagaimana cara mengobatinya.
Kini Anatari yang Baskara kenal sudah pergi. Tak ada lagi Anatari yang lemah lembut sejak bertengkar hebat dengan Bhadra. Anatari berubah, Bundanya yang merupakan rumah ternyaman Baskara sudah berubah. Menjadi sangat asing dan dingin. Baskara begitu kehilangan sosok Bunda yang dulu. Ia ingin meraung pada Tuhan untuk mengembalikan Anatari-nya yang dulu.
Baskara menatap wajah cantik Anatari yang penuh amarah dengan tatapan pedih. Ia makin meringkuk menahan sakit dan jeritan begitu cambukkan terakhir di layangkan padanya. Sangat sakit, sampai Baskara ingin mati saja.
Anatari berhenti dengan napas terengah-engah. "Dasar sialan! Gara-gara kamu, suami saya jadi benci saya!" bentaknya nyalang sebelum pergi meninggalkan Baskara yang sangat terluka, lebih dari terluka fisik.
Tangisan anak itu belum juga berhenti, meski ia sudah berusaha untuk tak lagi menangis. Baskara mengangkat kepalanya. Dengan lingangan embun, ia tersenyum pedih.
"Bunda ... Aska masih sayang bunda. Aska janji buat enggak benci sama bunda."
Dengan keringat dingin yang membanjiri dahinya, Baskara remaja tersentak bangun dari tidurnya. Ia yang semula bungkuk tertidur telungkup di atas meja kelas langsung menegakkan badan. Mata elangnya yang sedikit memburam karena sehabis tertidur menelisik sekitar. Baskara langsung berdecak kesal melihat kelasnya sudah sangat ribut sebab hari ini guru Sosiologi tak hadir.
Pemuda itu memejamkan mata sambil memijat keningnya pelan sebelum beranjak keluar dari kelas. Setelah kakinya berjalan ke kamar mandi untuk mencuci wajah, Baskara berniat menenangkan diri di atap sekolah, tempat yang selalu sepi dan cocok untuk menyendiri.
Begitu sampai, selendang angin dan pemandangan perkotaan di bawah langit biru berawan menyapanya. Pemuda itu melangkah pelan dan berhenti di ujung rooftop. Aura ketampanan remaja lelaki itu semakin menguar begitu angin mempermainkan rambut dan seragam urakannya.
Baskara menatap kosong, dengan jiwa yang terikut hampa. Ia mulai merasa berada di titik kehilangam motivasi. Baskara bahkan sudah kehilangan motivasinya untuk hidup sedari tahun-tahun kemarin. Namun, ketika ia mencoba untuk bunuh diri, rencananya selalu tak berhasil. Baskara tidak tahu apa yang diinginkan takdir darinya, sampai-sampai selalu menggagalkan niat bunuh dirinya.
Ia selama ini sudah cukup terluka, dan Baskara sudah merasa mulai mati rasa. Ia merasa dirinya sekarang hidup pun tidak berguna sama sekali. Tak ada yang menginginkannya untuk tetap bernapas sekarang. Mataharinya, Anatari-nya, bundanya--sudah tak menginginkan kehadiran Baskara lagi, dan bahkan membencinya.
Sekarang pemuda itu sudah tak punya tujuan hidup. Sebab tujuannya terlalu mustahil, yakni, membuat Anatari seperti semula. Merubah Anatari agar menjadi seperti dulu.
Baskara hilang arah sambil memikul rasa rindu yang amat berat. Tulang yang ia gunakan untuk memikul rindu mulai merapuh. Ia juga sudah kehilangan mataharinya sejak lama. Jadi, apa yang harus Baskara lakukan lagi di dunia ini?
Baskara menurunkan pandangannya ke bawah, kerarah lapangan luas SMA Bima Sakti. Baskara tersenyum tipis saat memikirkan selangkah lagi ia pasti akan bertemu sang pencipta. Namun, saat ia akan melancarkan rencananya, sebuah suara menghentikan pergerakan Baskara.
"Kamu nggak akan langsung mati kalau bunuh diri di sini. Kamu bakal tersiksa."
Baskara berbalik badan, mata elangnya menemukan seorang gadis dengan wajah sembap. Kemudian pandangan Baskara turun menatap intens kaki kiri gadis itu, samar terpasang sebuah kaki robot di sana.
"Kenapa kamu liatin aku kayak gitu?" tanya gadis itu tersinggung.
"Lo lebih baik nggak usah ikut campur urusan gue," seru Baskara dingin.
"Kamu jangan kepedean deh. Aku cuma ngasih tau doang. Kamu kalau mau bunuh diri itu pinter dikit kek. Dengan kamu loncat dari gedung yang nggak tinggi banget ini, kamu nggak bakal langsung mati, paling cidera parah." Gadis itu melipat kedua tangannya di depan dada. "Saran aku, kalau mau bunuh diri, tenggelam aja sekalian," sarkasnya.
Baskara menatap tak percaya pada gadis yang berdiri di depannya dengan jarak empat meter. "Cewek aneh."
"Cowok bodoh," balas gadis itu santai.
Mata Baskara semakin menyipit tajam. Ia sedikit tak menyangka, baru kali ini ada perempuan selain bunda yang memakinya, biasanya para perempuan selalu memujanya. Tak ingin mempedulikannya lebih jauh, Baskara mendengus sebelum melenggang pergi.
"Lah, acara loncat-loncatnya nggak jadi?" tanya gadis cerewet itu kembali sarkas.
"Nafsu gue ilang."
Gadis dengan kaki kiri robot prostetik itu menatap aneh punggung tegap Baskara yang mulai menjauh. "Kata Mas Ardhi, kalau ada masalah itu curhat sama Tuhan, bukannya malah ngelanggar larangan-Nya."
Tanpa sadar, Baskara menghentikan pergerakan kakinya. Ia terdiam menatap lurus ke arah depan, tatapannya juga amat kosong. Kosong dan hampa. Batin Baskara tersentil mendengar penuturan dari gadis tersebut.
Tuhan?
Rasanya sudah lama sekali Baskara tak mendengar nasihat Thari; untuk terus mengingat Tuhan kapanpun, dimanapun, dan dalam keadaan apapun. Dan kini Baskara mengakui bahwa jiwanya sudah sangat jauh tersesat. Baskara juga mengakui jika dirinya nyaris saja melupakan Sang Pencipta. Selama ini ia selalu terkurung dalam rasa sakit dan prasangka-prasangka buruk. Baskara sangat merasa lebih hampa.
"Kamu masih muda, nggak cacat juga. Jangan sia-siain apapun yang udah Tuhan kasih ke kamu. Karena Tuhan itu, Maha Baik." Tanpa sadar, sang gadis tersenyum sangat tipis saat matanya yang menyipit memandang langit terik.
"Kalau Tuhan baik, kenapa beri rasa sakit?" gumam Baskara serak, dan gadis itu masih dapat mendengarnya. "Kenapa sekarang nggak pernah beri gue bahagia lagi?"
Tanpa Baskara sadari, gadis berwajah sedikit sembap itu menatap punggungnya sendu. "Tuhan ... mau hambanya kuat melebihi baja. Setelah hambanya kuat, pasti Tuhan beri kamu bahagia. Tapi, mungkin emang nggak sekarang. Kuncinya ... sabar dan percaya sama apapun rencana Tuhan Yang Maha Baik."
Baskara masih termenung dengan lingkaran mata yang samar memerah. Ia mengepalkan tangannya.
"Kamu harus bertahan. Tuhan nggak akan suka liat hambanya bunuh diri."
"Lo cerewet," ketus Baskara dengan suara paraunya yang sangat terlihat sedang berusaha kuat menahan tangis.
Gadis itu memutar bola matanya malas. Ia jadi sedikit malu sebab sudah menceramahi laki-laki aneh itu. Lelaki yang berpenampilan seperti anak badung, sok dingin, dan menyebalkan.
Usai itu, Baskara benar-benar pergi dari rooftop meninggalkan sosok gadis cacat yang kini tengah meresapi angin dengan rapuh.
"Aku juga selalu bertanya-tanya kenapa Tuhan selalu kasih aku perih. Kenapa setiap aku sedang ngerasa bahagia, di saat itu juga Tuhan langsung kasih aku sedih. Tapi kata Mas Ardhi, Tuhan itu mau aku jadi lebih kuat dan bersyukur." Gadis ber-name tag Arunika Ahana itu mengusap air mata yang lagi-lagi jatuh melintasi pipinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Matahari
Teen FictionAditya Baskara benci ketika mengingat acara bunuh dirinya yang tak jadi karena dipergoki oleh seorang gadis cacat kaki bernama Arunika Ahana. Terlebih lagi dengan ucapan sarkas gadis lemah itu. Setelah kejadian itu, Arunika masuk ke dalam daftar jaj...