Rumah Bos Galak

265 56 11
                                    



Rumah Bos Galak 

Prillya menatap tumpukan berkas di depannya dengan pandangan tidak percaya. Kedua matanya terasa memanas, ia tengah senang dan sedih di waktu yang bersamaan sekarang. Satu sisi ia merasa bebas karena hari ini Bos super tampan bin menyebalkannya tidak masuk ke kantor, sementara satu sisi ia merasa sedih karena semua pekerjaan mau tidak mau harus diambil alih olehnya. Prillya berkutat dengan laptop dengan logo apel di depannya, ia terpaksa mengubah sebagian besar jadwal meeting Afzali. 

Kabarnya, lelaki itu jatuh sakit dan Ibu Negara tidak mengizikan putra kesayangannya untuk berangkat. Kabar itu ia dapatkan langsung dari Alzafran, duda anak satu yang memesona. Prillya kadang berpikir apakah benar dia adalah saudara kandung Afzali? Rasanya sikap mereka terlalu jauh bertolak belakang. 

"Prillya." Pintu kaca ruang kerjanya terbuka, nampak kepala Alzafran muncul dibaliknya. Prillya segera berdiri menghampirinya. Dibukanya pintu lebih lebah agar Alzafran bisa masuk. 

"Iya, Pak?" 

"Ada beberapa berkas yang harus ditanda tangani oleh Afzali, saya tidak bisa membubuhinya dengan tanda tangan saya karena ini di luar kewenangan saya. Kalau tidak merepotkan, saya minta tolong pergilah ke rumah dan minta tanda tangannya."

Bibir tipis Prillya yang dilapisi lip balm itu terbuka membentuk huruf O dengan sempurna, kedua matanya mengerjap menatap tidak percaya. Ke rumah Afzali? Apakah harus dirinya yang melakukan pekerjaan itu? Apakah hanya dia satu-satunya karyawan yang tersisa di perusahaan raksasa ini? 

"Em, maaf Pak. Ini harus saya yang minta tanta tangan Pak Afzali? Atau perlu saya minta karyawan lainnya? Saya juga harus mengurus banyak berkas hari ini." Prillya nyengir memamerkan deretan gigi putihnya yang rapi. Entah keberanian darimana sampai ia berani berkata seperti ini, padahal dengan Afzali ia selalu ciut. 

Prillya yang awalnya bicara sambil menunduk mendongak, dilihatnya ekspresi Alzafran. Diluar dugaan, bukannya menunjukkan raut kesal atau marah ketika perintahnya dibantah layaknya bos pada umumnya, Alzafran justru menunjukkan kekehan gelinya. 

"Kamu pasti enggak mau, ya ketemu adik saya."

"Bener banget!" Segera ia tutup mulutnya dengan telapak tangan ketika dengan lancangnya berseru demikian. "Maksud saya, em... engga begitu Pak," lanjutnya gugup. 

"Kalau pun benar saya maklum, kok. Kamu terlihat tertekan sekali." Alzafran tertawa. "Tapi maaf, ini perintah atasanmu jadi saya tidak bisa mengubahnya."

"Pak Afzali yang minta saya ke sana?" tanya Prillya ragu, sekadar memastikan kalau ia tidak salah mengartikan perkataan Alzafran dan lelaki itu mengangguk. Dengan raut terpaksa Prillya menerima tumpukan berkas yang diberikan Alzafran. 

Setelahnya  Alzafran pergi sembari memberi senyum hangat. Prillya memutar tubuhnya menatap sendu tumpukan berkas di mejanya dan berkas di tangannya secara bergantian. "Perasaan dulu gue ditawarin jadi sekretaris bos, bukan jadi kurir dokumen," gerutuya melangkah ke arah meja untuk mengampil barang bawaanya. Sebagai seorang bawahan mau tidak mau, entah sukarela atau terpaksa ia harus tetap mekaksanakan titah sang tuan. 

Bersyukur Afzali berbaik hati memerintahkan juga supir kantor untuk mengantarnya. Jadi, ia tidak perlu mengeluarkan dompetnya, uangnya aman. 

**

"Terima kasih, Pak," katanya ketika sampai di depan rumah megah yang rasanya lebih pas apabila disebut sebagai mansion. Prillya melangkah kaki mendekati pintu yang ia perkirakan tingginya mencapai tiga meter. Pintu yang ia tebak terbuat dari katu asli yang harganya tidak murah dengan lapisan cat yang membuatnya nampak elegan dan mewah serta ukiran yang tidak  terlalu dimengerti. Gagang pintunya berwarna emas yang menambah kesan glamor, entahlah ia tidak tahu apakah itu mas asli atau palsu yang jelas nampak berkilau tanpa karat.

My Handsome CEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang