Mengambil Langkah

287 43 21
                                    

Mengambil Langkah


Brak

Ruangan sejuk dengan kursi empuk tidak mampu membuat si empu yang duduk di sana merasa nyaman. Lelaki itu terus dilanda resah, pikirannya berkelana mencari jawaban dari pertanyaan yang bahkan tidak ia pahami maksudnya. Sejak semalam, yang berlalu-lalang di alam bawah sadarnya hanya perkataan sang kakak.


Diliriknya berkas kerja sama dengan perusahaan properti dari negeri sakura yang sempat dilemparnya. Bahkan setiap kata yang tertulis di sana terlihat seperti omong kosong. Padahal lelaki itu tahu benar, itu adalah proyek besar dengan keuntungan berdigit-digit.

Afzali, mencoba menarik napas panjang dan mengembuskanya, meraup wajahnya dengan gerakan tidak beraturan. Mencoba mengenyahkan gelisah yang menyelimuti dirinya.

"Kamu mendengar semuanya."

"Sebagai kakak mungkin aku mengedepankan perasaan adikku. Tapi sebagai seorang ayah, aku tidak berdaya melihat anakku merengek meminta sesuatu."

"Dia bukan milikmu." 

"Tentang permintaan putraku, aku tidak akan main-main."

Penggalan ucapan Alzhafran itu mengusik Afzali. Dialihkan pandangan ke ruang sebelah yang disekat oleh kaca bening. Gadis cantik itu tengah sibuk berkutat dengan komputer di hadapannya.
Sekali lagi, menarik napas panjang dan mengembuskanya. Afzali mencoba menenangkan diri dari keresahan.

"Coba jelaskan perasaan seperti apa ini?" gumamnya. Mencoba sekali lagi, untuk kesekian kalinya setelah berulang kali gagal mengusir gundah gulana dalam dirinya.
Permintaan Alfizar yang sangat jelas didengarnya malam itu, ucapan Alzhafran yang bahkan masih terngiang. Semua mengganggu gairahnya untuk mengurus tugas dan pekerjaannya hari ini.

"Apa yang gadis itu miliki sampai bisa memikat Fizar? Dia terlihat..." Ragu, Afzali melihat sekali lagi sosok Prillya. Beberapa detik mengamati dan dia melanjutkan gumamannya. "Ya, aku akui dia cukup mengesankan." Kepalanya naik turun mengangguk-angguk.

"Maaf, Pak?"

"Iya Pril?"

Perempuan dengan blus merah dipadukan rok span hitam dengan rambut yang diikat tinggi itu mengerutkan kening. Merasa bukan namanya yang disebut oleh atasannya itu.

"Maaf, Pak. Saya Selena."

Afzali berkedip dua kali, sedikit menyipitkan kelopak mata untuk memperjelas pandangan. Sial! Rutuknya.

"Ekhem, siapa yang memberimu izin masuk?" tanya Afzali tajam. Karyawan dari divisi marketing itu menunduk. Ia masuk karena Prillya mengatakan silakan. Kata sekretaris bos itu, dirinya dipanggil untuk membicarakan mengenai strategi pemasaran dari apatremen yang baru saja selesai dibangun.

"Maaf, sekretaris Bapak menghubungi saya, meminta saya menemui Bapak dan memberikan saya izin untuk masuk."

Lelaki itu nampak menimang sebelum akhirnya mengangguk. "Duduk!" titahnya. Selena segera menjalankan perintah, mengajukan proposal berisi strategi pemasaran yang telah dipersiapkan oleh tim divisinya dari jauh-jauh hari. Keduanya berbicara sekitar lima belas menit, Afzali menyampaikan point-point yang harus diperbaiki dan sepanjang pembicaraan itu, tatapan Selena tidak bergeser sesenti pun dari wajah Afzali.

"Saya tidak suka dipandang selancang itu, Selena!" tegas Afzali merasa risih. Suara berat yang sarat akan rasa kesal itu membuat selena menunduk dalam dan merutuki kebodohannya.

"Lain kali, suruh saja anggota laki-laki untuk menemui saya!"

"Baik, Pak. Maafkan saya.'

"Hem, pergi!" Tidak menunda sedetik pun Selena segera melangkah buru-buru keluar. Di pintu ia berpapasan dengan Prillya. Gadis itu nampak menyernyit melihat wajah murung Selena.

My Handsome CEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang