Duka yang Membekas

355 27 7
                                    

Duka yang Membekas

Prillya tiba di rumah kedua orang  tuanya pada pukul sepuluh malam. Dirinya disambut pelukan hangat papa dan mamanya juga beberapa kerabat yang menginap.

"Pasti capek, istirahat dulu, gih," kata papa Prillya sembari membantu gadis itu membawa kopernya.

"Mau makan dulu?"

"Enggak, Ma. Aku udah makan tadi di jalan." Prillya mendudukkan diri di sofa panjang dengan kedua orang tuanya yang mengamit dirinya

"Besok acara dimulai pukul berapa?"

"Pukul Sembilan pagi, kita perjalanan ke sana." Alana-Mama Prillya menjawab. Wanita paruh baya itu menggenggam erat tangan putrinya sekadar memberi kekuatan untuk siap menghadapi hari esok.

"Kamu yakin bakal ikut?' Hardinan-Papa Prillya- sekali lagi memastikan. Meski ia tahu bahwa Prillya sudah sangat yakin dengan keputusannya.

"Bukannya aku selalu ikut?" balasnya pendek. Bukannya tenang dengan jawaban putri mereka, kedua paruh baya itu justru menarik napas panjang. Mengisi rongga dada yang terasa kosong. Mereka tahu betul bagaimana Prillya, bagaimana perasaan gadis itu tidak baik-baik saja terlebih ketika mengingat hari ini. Setiap datang ke tempat itu, Prillya hanya akan menangis sampai dia lelah. Sampai suasana hatinya membaik meski sebenarnya itu hanya ketenangan sementara.

Mungkin, hal serupa terjadi pada sepasang paruh baya itu. Bagi mereka kesedihan, duka dan rasa tidak percaya itu selamanya tidak akan hilang dari nurani mereka.

"Kakak, oleh-oleh aku mana?" Suasana senyap sontak terasa berbeda ketika mendengar pekikan gadis remaja yang merupakan adik Prillya. Dia anak  bungsu Hardinan dan Alana. Namanya Lyana, usianya sekarang menginjak delapan belas tahun dan ia baru mempersiapkan diri untuk menjadi Mahasiswa.

"Minimal bawain minum sih kalau mau oleh-oleh," gurau Prillya.

"Kamu ini, kakaknya pulang bukannya ditanya kabar malah ditanya oleh-oleh."

Lyana dengan pipi menggembung membalas perkataan mamanya. "Kelihatan itu badannya masih utuh enggak ada yang ketinggalan di Jakarta, pastinya kakak baik-baik aja dong." Gadis itu memang seperti Prillya, cara bicaranya yang berani dan selalu punya seratus jawaban atas seratus pertanyaan pula yang di ajukan untuknya.

Sebagai saudari kandung Lyana juga memiliki kecerdasan seperti Prillya bedanya hanya gadis remaja itu terlihat lebih berani apabila di depan kedua orang tuanya sementara Prillya bukan tipikal yang selalu menjawab nasihat orang tuanya.

"Oleh-oleh untuk semuanya ada di koper. Besok ya kakak berikan. Sekarang tidur dulu, okay?" Prillya memberi jalan tengah. Kondisi tubuhnya lelah setelah menempuh perjalanan beberapa jam dan ia perlu istirahat untuk memulihkan kekuatan fisik serta mempersiapkan kekuatan hati untuk menghadapi hari esok.

"Setuju, malam ini kak Pril tidur bareng Lyana di kamar kakak karena kamar aku dipinjam sama om dan tante untuk sementara waktu." Dengan semangat Lyana menarik Prillya untuk mengikuti dirinya. Kelakuan gadis remaja itu hanya mendapat respon berupa gelengan dan helaan napas dari kedua orang tuanya. Si bungsu memang gadis ajaib dan aktif.

**

Prillya merapikan sedikit jilbab putih yang melekat di kepalanya. Sebentar lagi ia dan keluarga akan memulai acara yang di adakan setiap tahun. Tepat pada tangga dua puluh satu mei. Selama enam tahun terakhir hari ini selalu menjadi hari yang menggores hati keluarga besarnya terutama bagi orang tua dan juga Prillya sendiri.

"Pril, sudah siap?" Alana mengetuk pintu kamar putrinya.

"Iya, Ma sebentar." Bersamaan dengan hilangnya suara Prillya pintu kayu itu terbuka. Alana tersenyum tulus menyambut putrinya pagi  ini,  kedua tangannya langsung terbuka, menyambut putrinya yang segera bergerak masuk ke pelukannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 03 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

My Handsome CEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang