Datangnya utusan Avankaya berarti kapal sedang berlabuh. Nora baru sadar ketika tak merasakan guncangan lembut konstan di bawah kaki. Karena terbiasa dengan goyangan kapal, Nora merasa tubuhnya melayang-layang saat melangkah.
Ia menuruni jembatan kecil yang dipaku awak Kohl di tanah. Saat Nora menginjakkan kaki pada rerumputan yang terendam air, ia bergidik girang. Air merendam setinggi mata kakinya saja. Tebing-tebing yang mengapit lembah membuatnya merasa semakin kecil, dan sempat muncul kecemasan bahwa ada Götu Dev yang bersembunyi di sana, tapi kegembiraan para penduduk menegaskan bahwa tak ada tanda-tanda raksasa di sekitar sini.
Barangkali ini lokasi yang aman dari intaian Götu Dev.
"Mari, Nona," ajak si pesuruh Avankaya.
Di bawah bayang-bayang kapal induk yang melebar sejauh seratusan meter, Nora menyaksikan orang-orang sibuk menegakkan tenda-tenda. Pondasi serupa dek pelabuhan saling bertumpuk, ditopang dengan tiang-tiang kayu kokoh.
Nora terkesima melihat betapa sigap para penduduk kapal mendirikan tenda. Mula-mula ia menyusuri tenda-tenda Kohl yang terbuat dari kulit-kulit hewan tebal dan anyaman kulit pohon. Ditambah selendang-selendang kuning dan oranye, tenda ini jelas bakal menghangatkan di malam hari. Sebaliknya, tenda-tenda Avankaya lebih tipis, terbuat dari anyaman kulit pohon saja, dengan serat-serat yang dipangkas rapi. Namun lebih banyak selendang ditumpuk dan diikat. Warna-warna pudar membuat lilin-lilin memancar lebih terang.
Ketika Nora melintasi kawasan Avankaya, para warga suku berhenti beraktivitas sejenak. Mereka mengawasinya tanpa kehangatan. Bahkan dua gadis yang sempat merawat Nora di awal spontan membuang muka.
Nora menelan ludah. Ini mengingatkan akan ekspresi Elias yang muram saat dirinya memilih untuk ikut Özker. Mendadak, keputusannya untuk menjembatani kedua suku terasa begitu sukar digapai. Ia tahu kalau Elias tidak menyukai keputusannya, meski sang pasha berakhir memberikan pengumuman ke seantero kapal. Barangkali reaksi para penduduk Avankaya adalah pengaruh sang pemimpin juga.
Nora takkan menyalahkan itu, kendati tak ingin pilihannya untuk mengikuti Suku Kohl menjadi sebuah kesalahan.
Ia semula terlalu fokus pada kegundahan hati. Sehingga ia tak menyadari bahwa ada seratusan anak tangga curam untuk mencapai dek dasar kapal induk. Lamunan Nora buyar seketika kakinya mulai berat untuk diangkat, berbeda dengan para penduduk yang berseliweran dengan begitu mudah. Bahkan pemuda kurus yang mendampinginya sama sekali tak terpengaruh. Napasnya tersengal-sengal dan wajahnya merah padam kala mereka tiba di dek.
Nora belum siap untuk menemui Elias dalam keadaan seperti ini. Namun sang pasha ternyata berada di sana, tengah mengobrol dengan sejumlah prajurit. Saat tatapan mereka bertemu, Elias meninggalkan pembicaraan untuk menghampirinya.
Oh, tidak.
Ekspresi terkejut Elias berkebalikan dengan kengerian yang Nora takutkan. "Apa kau tidak apa-apa?" ia mengulurkan tangan, sekaligus melempar tatapan teguran kepada pendamping Nora. "Kau bisa membuatnya menunggu di tenda bawah."
Sang pesuruh membungkuk malu. "Akan saya sediakan tempat duduk," katanya, dan praktis meninggalkan Nora pada sang pemimpin.
Nora tak punya pilihan selain menggenggam jari Elias. Bahkan sedikit terlalu kencang, mungkin, karena kedua lututnya gemetaran saat Nora mencoba berdiri tegak. Elias bergegas membawanya menyingkir dari akses keluar masuk penduduk. Mereka merapat pada pagar dek.
Ia tak melepaskan genggaman bahkan setelah Nora bersandar pada pagar.
Nora merasa perutnya memeluntir. Duh. Seharusnya ia juga mempertimbangkan sang pemimpin waktu itu.
Ketika si pesuruh tengah menuang teh hangat pada cawan-cawan kayu, kondisi Nora berangsur pulih. Elias lantas mengajaknya untuk duduk di bantal-bantal empuk. Nora tahu sang pemimpin akan memulai obrolan mengenai keputusan lampau, cepat atau lambat, tetapi ia sama sekali tak sanggup menanggung ketegangan yang merayapinya sekarang.
Nora memutuskan untuk menyambar duluan. "Aku," serunya, setengah mengejutkan Elias yang masih menyeruput teh. "Aku ... meminta maaf atas ketergesa-gesaanku minggu lalu, Pasha. Tapi kuharap kau mau mengerti. Sebagai seorang pasha, kau mengerti lebih banyak hal daripadaku yang hanya mendengar sedikit saja." Ia meremas jubah di bawah tangan. "Firasatku mengatakan jika aku tidak membuat pilihan, maka akan ada kekacauan lebih besar daripada ini."
Elias menurunkan cawan. "Tidak apa-apa. Kau sudah melakukan hal yang benar."
Sungguh? "Kuharap ... kau tidak kecewa padaku, Pasha."
Nora sangat berharap titelnya sebagai keajaiban Tuhan tidak dicopot begitu saja. Ia membutuhkan titel itu tersemat pada dirinya jika ingin menemukan jawaban misteri dalam waktu empat bulan saja.
"Daripada kecewa padamu, aku hanya ...." Namun sang pemimpin tak melanjutkan. Ia memikirkan ulang ucapannya dalam sekali kerjapan, lantas berdeham. "Lupakan saja. Ada satu hal yang benar-benar ingin kupastikan."
"Ya?"
"Apa namamu benar-benar ... Nora?"
Pertanyaan macam apa itu?
Nora membenarkan dengan ragu, tetapi sang pasha tidak melanjutkan lagi pertanyaan terkait nama. Ia hanya membalas mengangguk-angguk kecil. Sadar bahwa Nora menghendaki penjelasan lebih lanjut, pria itu justru mengalihkan pembicaraan. Ia tersenyum. "Tidak apa-apa, Nona. Dan kau perlu tahu bahwa aku tidak menyimpan kekecewaan padamu. Sebaliknya, aku mengharapkanmu agar mau bekerja sama denganku."
Nora menahan napas. Ini dia.
"Oh, aku mendengarkan."
Elias tidak langsung berkata-kata. Kedua matanya menyapukan pandangan untuk memastikan bahwa posisi duduk mereka jauh dari tempat orang-orang berlalu lalang. Di sini, di hamparan karpet pada sudut tepi pagar dek, memang diperuntukkan untuk menikmati pemandangan laiknya dek kapal pesiar von Dille. Itu berarti tak ada penduduk yang bersantai selagi kapal berlabuh. Pembicaraan sang pasha dan tamu kehormatan takkan terdengar.
"Walau keputusanmu sudah benar, sayangnya rakyatku—para warga Avankaya—tidak berpikir demikian. Pilihanmu menyalahi aturan tradisi. Umumnya, jika ada orang asing yang bakal bergabung, ia mesti tinggal bersama pasha hingga diputuskan mana suku yang pantas untuknya."
"Tapi aku memilih."
Elias mengangguk. "Aku tidak mengatakan itu salah. Namun ketegangan yang terjadi di antara dua suku membuat segala hal lebih runyam." Saat tatapan mereka terjalin lekat, Elias tersenyum. "Kuharap kau mengerti."
Nora spontan menegakkan punggung. Ia sudah 22 tahun hidup bersama keluarga von Dille yang carut-marut. Delapan tahun bersama keluarga kandung yang tak pernah diingat lagi. Ia paham segala jenis sindiran dan isyarat. Tak terkecuali makna terselubung sang pasha.
"Aku bersedia melakukan apa pun untuk menetralkan itu, Pasha."
"Syukurlah." Elias menuang teh pada cawan-cawan yang kosong. Si pesuruh sudah lama menghilang. Sembari menyodorkan cawan Nora, ia melanjutkan. "Kalau begitu, aku mengharapkanmu untuk tinggal sementara waktu di Kapal Anatolli, Nona. Penuhi tradisi kami walau kau sudah menetapkan pilihan. Aku ingin para Avankaya mengenalmu sebaik para Kohl menyambutmu dengan tarian dan nyanyian." Saat Nora mengangkat alis, Elias terkekeh pelan. "Nyanyian mereka selalu riuh dan gempar. Kami bisa mendengarnya."
Pipi Nora bersemu tidak nyaman. "Kalian terbiasa mendengar keinginan berontak Suku Kohl?"
Elias membenarkan dengan muram. "Mereka berdoa dengan lantang. Doa kepada Tuhan agar menurunkan keajaiban untuk membantu ... yah, tujuan itu."
"Bukankah itu berarti Avankaya juga menganggapku demikian? Keajaiban bagi Kohl?"
Elias justru tersenyum. "Kenyataannya, Nona Nora, para Avankaya juga berdoa agar diberi keajaiban untuk menyelesaikan permasalahan ini." Saat gadis itu menatapnya dengan terpukau, Elias menambahkan dengan enteng. "Kita semua memang membutuhkan keajaiban. Namun hanya Tuhan yang tahu mana doa yang sungguhan terjawab."
KAMU SEDANG MEMBACA
PEACEMONGER ✓
FantasiNora terlempar ke dunia yang terendam air, dikuasai kaum raksasa, dan rumah bagi misteri akan kedua orang tuanya yang merusak. Dan, oh, kepala suku yang masih lajang. -- Belum terpikirkan blurb. Sial. Akan kuubah lain kali. - Andy. [Cover by me]