"Upaya yang bagus, Pasha, untuk memilih Özker sebagai penghulu sementara."
Elias dan Nora tengah menaiki lift menuju dek delapan. Kendati sang gadis tersenyum, Elias tidak bereaksi demikian. Ekspresinya agak muram.
"Ya ... walau begitu, itu takkan mengubah keputusan Özker untuk tetap memberontak dariku." Elias menghela napas. "Lagi pula aku sedang menggali kuburanku sendiri—aku memang belum menikah dan tidak bisa memenuhi peranku secara penuh sebagai seorang pasha." Ia mengangkat bahu. "Dan aku mengakuinya di depan rakyatku."
Nora mengatupkan bibir. Apakah Elias akan bermuka masam sementara ada upacara pernikahan yang mesti dihadiri? Padahal nanti malam pernikahan itu bakal dilangsungkan.
Elias dan Nora lantas bersiap-siap di kediaman masing-masing, kemudian bertemu lagi tepat sebelum jam makan malam. Mereka turun ke dek empat, tempat berbagai acara diadakan. Ada aula khusus yang dipakai untuk upacara pernikahan yang sakral. Seperti biasa, karpet-karpet dihampar dan bantal-bantal duduk ditata berjajar. Keluarga kedua pengantin sudah menunggu, sementara Özker baru saja tiba. Elias dan Nora menyusul. Para hadirin beranjak saat menyambut mereka.
Namun, kegamangan di ekspresi para Avankaya membuat Nora panas dingin.
Mereka tidak ingin Özker menjadi penghulu mereka. Begitu pula sebaliknya. Sang pemimpin Kohl bahkan tak berlama-lama usai menikahkan kedua pengantin. Ia menghilang secepat embusan angin.
Namun, setidaknya kedua pengantin muda itu berbahagia. Terlihat jelas mereka sudah menahan diri untuk tidak mengajukan pernikahan semenjak kematian pasha sebelumnya. Tetapi semua penantian memiliki batas waktu—pernikahan pada akhirnya harus disegerakan. Tak peduli siapa penghulunya, yang jelas mereka bisa bersama sekarang.
Saat si pemuda mengecup pipi istri barunya di sela-sela acara makan, Nora tersenyum tipis. Ia refleks menoleh kepada Elias, berniat mengatakan bahwa acara malam ini cukup sukses, tetapi sang pasha hanya bengong memandang piring hidangan. Sejak kedatangannya kemari, Elias sama sekali tak tersenyum kecuali memaksakannya di kala dibutuhkan.
Sepanjang acara.
Acara malam itu juga berlalu secepat kilat. Lagi-lagi Nora mendapati dirinya kembali ke dek delapan bersama Elias. Hanya saja tak ada obrolan kali ini. Elias lebih banyak diam.
Duh.
Di sisi lain, pikiran Nora juga berkecamuk. Dirinya sudah gatal sekali ingin ikut campur. Seharusnya Elias begini. Seharusnya Özker begitu. Tapi apa daya? Kendati dipandang keajaiban, Nora tak ubahnya adalah alat bagi kedua pemimpin itu. Özker mengharapkan Nora agar membantu memberontak dari Suku Avankaya, sementara Elias menginginkannya untuk mempertahankan sebagaimana biasanya.
Nora tak punya hak untuk memeluntir keputusan mereka. Padahal ia sangat membutuhkan kerja sama kedua pria itu untuk mewujudkan misinya, sebab waktu terus berjalan ....
Ah, sialan. Satu-satunya pengikat hanyalah Nora sebagai keturunan nenek moyang yang dipuja-puja. Andai Özker atau Elias adalah keturunan langsung, maka Nora bisa punya pengaruh lebih besar dan—
Tunggu dulu.
"Pasha?"
Nora memanggil saat mereka baru saja akan memasuki kediaman masing-masing. Elias mengangkat alis. Nora menelan ludah.
"Pasha, jika aku menawarkanmu pernikahan, apakah engkau bersedia?"
Dek itu hening. Sejak awal tak ada yang menempati kecuali mereka dan dua prajurit yang mengantuk di balkon luar. Namun kesenyapan usai Nora mengatakan itu, terasa berkali-kali lipat menekan dan menyesakkan dada.
KAMU SEDANG MEMBACA
PEACEMONGER ✓
FantasiNora terlempar ke dunia yang terendam air, dikuasai kaum raksasa, dan rumah bagi misteri akan kedua orang tuanya yang merusak. Dan, oh, kepala suku yang masih lajang. -- Belum terpikirkan blurb. Sial. Akan kuubah lain kali. - Andy. [Cover by me]