Chapter 7 "Glitter"

0 0 0
                                    

Sore benar-benar panas untuk berada di bawah pohon rindang. Angin sejuk juga menerpa. Ada tiga remaja di sana. Riri, Kei, dan Reon.

Mereka … sedang berdiskusi singkat.

Saling pandang dan saling membaca diri satu sama lain. Apa artinya?

‘Wah! Aku terjebak di tengah-tengah cowok tampan. Seharusnya aku beli lebih banyak daging tadi,’ batin Riri.

Mata lebar dengan tatapan tanpa niat begitu kontras dengan rambut yang tergerai terombang-ambing karena angin yang lirih.
Tak mengelakkan jika dia cantik.

Hal itu disadari Kei dan juga Reon.

“Jadi … kenapa kau mengajak kami kemari?” tanya Reon tanpa basa-basi.

‘Heh? Sudah dimulai? Lebih baik aku menonton saja. Sepertinya ini akan menjadi pertarungan akhir bagi mereka,’ kata Riri dalam hati.

Menatap kedua laki-laki beda kharisma itu bergantian. Mulut kecilnya bungkam.

“Untuk membuatmu mengakui segalanya, Reon.” Kei tersenyum layaknya dia tersenyum.

Angin panas itu menaikkan suhu dan terpaannya. Ujung seragam mereka sampai tersingkap.

‘Hmm?’

Mata Riri bergerak bebas sana sini.

Reon nampak berpikir. Kerutan di dahinya menjadi bukti.

‘Aku… tidak bisa mengelak lagi,’ batin Reon.

Dia menunduk, mendesah cukup panjang. Lalu kembali mendongak menatap Kei dan Riri bergantian.

“Baiklah, aku menyerah.”

Kedua alis Riri terangkat dan Kei semakin tersenyum khas.

‘Reon? Jangan bilang…,’ hati Riri tak melengkapi ucapannya.

Sudut bibir Reon pun mulai menaik.

“Kalian sungguh hebat. Benar-benar hebat. Ah, maafkan aku telah berbuat keji pada kalian. Aku Reon selaku ketua kelas meminta maaf dengan kalian.”

Reon menunduk separuh badan.

Riri tersentak hebat sampai mundur selangkah.

Kei pun demikian. Mulutnya terbuka memperlihatkan sedikit giginya.

“Re-Reon, kau tidak perlu sampai begitunya. Eee, Kei tolong katakan padanya.”

Riri bingung, tangannya ikut bergerak.

‘Sudah kuduga ini akan terjadi,’ batin Riri tidak enak.

Tapi Kei membiarkannya.

“Aku mengakuinya dan aku tidak akan mengusik kalian lagi. Kei, jadilah bagian dari kami terlepas dari apa yang kau mau. Aku dan yang lain tidak akan mengganggumu lagi.”

Kei semakin tersenyum lebar.

“Yah, itu yang ingin kudengar, Ketua. Memang sudah sepatutnya begitu.”

Pandangan Reon berpindah pada Riri.

“Dan Riri, maaf aku telah menjadikanmu korban. Meskipun kau berat hati, kau tetap melakukannya. Tapi aku akui apa yang kau lakukan itu luar biasa keren. Aku mungkin belum tentu bisa melakukannya.”

Senyum Reon masih menyertai.

Riri mendelik bingung.

“Ha? Memangnya apa yang kulakukan?”

Sebelah tangan Reon menyangga udara.

“Semuanya… sejak Kei datang misalnya,” terang Reon.

“Ha?”

Riri semakin tidak mengerti, menggaruk pelipis.

Namun, dia yakin Kei tahu maksud Reon karena senyumnya lebih jelas. Lebih tepatnya hanya dia dan Reon yang mengerti.

Kemudian, permasalahan Reon selesai.

Riri melongo dengan bibir sedikit terbuka melihat punggung Reon yang menjauh menuju gerbang.

Angin panas masih menerpa dan kepala Riri terasa ringan. Jauh lebih ringan dari sebelumnya. Ini bukan karena rambutnya yang terurai, tetapi mungkin karena masalahnya telah usai.

Dia berkedip pelan. Ketika Reon telah menghilang, gerbang masih merebut perhatiannya.

‘Ah, sudah berakhir, ya? Reon sudah menghilang,’ batin itu berbicara.

‘Kei juga sudah mendapatkan senyum dan kebebasannya kembali,’ lanjutnya.

Mungkin maksudnya Kei bisa bergaul dengan baik dengan teman-teman sekelasnya. Baik dirinya maupun seluruh siswa di kelasnya tidak akan dibenci lagi karena merebut Kei.

Lalu, senyum tipis itu terbit begitu saja. Ujung mata Riri ikut tertarik.

“Yahh, cukup manis bukan?”

Dia tersenyum lebih lebar sampai matanya tertutup. Dan itu … terlihat jelas di mata Kei.

Laki-laki itu tersentak lagi dan lagi. Sudah tak terhitung banyaknya berapa banyak dia mematung hanya karena senyuman Riri. Apa mungkin karena Riri selalu malas sehingga senyuman itu terlihat langka? Kei juga tidak mengerti.

“Panasnya… juga lumayan manis bukan? Iya kan… Kei?”

Kei tersentak lebih dalam karena Riri memanggilnya. Wajahnya memerah dan memalingkannya.

“I-iya,” jawabnya dengan senyuman malu.

Lalu Riri membuka mata dan mengajak Kei pulang bersama. Setidaknya berjalan bersama sampai halte.

Suara lalu lalang kendaraan yang memenuhi euforia.

Riri tersenyum kecil. Dia masih terngiang-ngiang semua peristiwa yang terjadi hingga membuatnya menjadi cukup bersemangat hingga saat ini.

Kei menggaruk tengkuknya lalu tersenyum tampan.

“Hiyaaa, yang tadi itu cukup mendebarkan juga. Aku jadi semakin bersemangat. Apa lagi yang akan terjadi di kehidupan remaja ya?”

Riri terkekeh.

“Ha? Apa yang kau katakan? Lucu sekali!”

“Tapi kau tidak tersenyum.” jawab Kei dengan kekehan kecil.

“Aku tersenyum, kok. Lihat?”

Memperlihatkan senyumannya yang manis.

Tanpa sadar pipi Kei bersemu merah muda. Kei menggaruk belakang kepala walau tidak gatal.

“Ahaha, manis sekali! Kau juga cukup keren tadi. Sungguh aku masih bertanya-tanya bagaimana kau menemukan ide brilian untuk festival sekolah kita.”

Riri meringis singkat lalu kembali fokus ke jalanan.

“Yaa, aku hanya terinspirasi dari festival yang kudatangi bersama Reon dan Seka. Di sana sangat ramai dan terlalu meriah, kurasa boros anggaran. Aku hanya merubahnya menjadi lebih rumit dan ringkas itu saja.”

Terangnya sambil mempraktekan dengan tangan.

Kei berkedip dua kali.

“Ha? Apa itu?” terkekeh lagi sambil meneleng.

“Kau tidak mengerti? Seperti ini!”

Lalu Riri dengan polosnya membuat pelangi menunjukkan semua yang dia ceritakan dengan pergerakan tangan.

Tentu saja Kei tidak mengerti, dia juga pastinya tidak mengerti.

Tetapi… setidaknya itu bisa membuat mereka tertawa. Tersenyum jauh lebih lepas. Rasanya cukup manis bukan?

Iya, sepertinya itu yang terbaik untuk masa remaja anak SMA di musim yang panas.

Trotoar seolah menyinarkan pancaran glitter dari sinar mentari mengeliling mereka.

Efek yang hangat ketika tertawa bersama.

Riri 3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang