Epilog

1 0 0
                                    

Beberapa hari kemudian setelah kesibukan berlalu. Hari-hari sekolah menjadi tenang dan angin panas masih menerpa.

Di bawah pohon besar di taman kecil dekat halaman kelas sebelum bel masuk berbunyi. Rumput-rumput tumbuh lebih lebat dan hijau. Udara pun segar masih tercium embun pagi.

Suasana yang cocok untuk tidur. Dan Riri tidak tanggung-tanggung memanfaatkannya.

Angin masih sanggup menerbangkan beberapa helai dari rambut panjang berponi yang terikat menjadi satu. Di atas rerumputan bersandar pohon rindang, seorang gadis sedang tertidur di sana. Dia sangat lelap.

Orang-orang memangginya mata ikan, tapi gadis cantik nan unik itu bernama Riri.

“Woi, mata ikan! Kuhitung sampai tiga kalau tidak masuk pintu akan kututup!”

Namun, Riri tak menghiraukannya. Dia tidur sungguhan.

Siapapun yang melihatnya mungin akan terpesona. Dia bagai putri yang sedang istirahat setelah dari perjalanan jauh.

Azumi yang berteriak di ambang pintu kelas menjadi geram. Raut feminimnya menjadi hilang karena berkacak pinggang.

“Woi, Riri! Kau mendengarku?! Kau tidak mendengarku ya, dasar tukang tidur?! Sialan!”

Pekiknya marah.

Tiba-tiba ada seseorang yang menepuk pundaknya dari belakang. Riri masih saja mendengkur halus di sana.

“Sudah, sudah, jangan marah-marah. Biar aku saja. Urusan Riri, serahkan padaku!”

Dia Seka, orang yang sangat bisa diandalkan.

Azumi mendesah mengibaskan tangan.

“Oke baiklah, akan kuhitung sampai tiga. Satu!...”

Azumi mulai menghitung dan Seka buru-buru berlari ke arah Riri.

“Dua!”

Seka berdecak kala Azumi terus menghitung padahal dia baru sampai pertengahan jalan.

“Sialan kau Azumi! Masih saja menghitung!”

“Tiga! Oke, pintu kututup! Kalian resmi bolos kelas!”

Kringgg!

Setelah itu bel masuk berbunyi. Tepat saat Seka tiba di tempat Riri.

“Ha! Sudah terlambat! Sial!”

Seka teriak menjambak rambut.

Azumi menggeleng sambil menutup pintu.

“Dasar bodoh! Siapa suruh sok-sokan mau menyelamatkan Riri. Sekarang rasakan sendiri hasilnya. Membuatku kesal saja. Huh!”

Pintu resmi ditutup. Tangan Seka mengambang di udara ingin mencegah hal itu.

“Oh, tidak!!!”

Dramatis.

Mendengar teriakan Seka mata Riri terbuka. Dia bingung menatap sekeliling dan mendapati Seka ada di depannya.

“Hmm? Hoaaammm, selamat pagi, Seka!”

Dengan santainya bersandar lebih baik sambil mengucek mata.

Menguap pula.

Seka menoleh penuh geram.

“Selamat pagi matamu! Aarrghh, ini sudah kesekian kalinya aku ikut membolos karena dirimu, Riri! Sialan kau!”

Teriaknya semakin histeris.

“Ha?”

Riri melongo mendongak menatapnya.

“Oh? Seka, kenapa wajahmu jelek?” tanyanya spontan.

Seka langsung terdiam dan wajahnya menjadi merah padam disertai kepalan tangan yang kuat.

“Ups!”

Riri tahu dia dalam bahaya.

‘Apa aku salah bicara?’ batinnya.

“Hoo, kau mengejekmu di saat aku menjadi pahlawan kesiangan untukmu dasar mata ikan bodoh tukang tidur nggak tau malu!”

Riri meringis bodoh.

“Uwah, dia merapalkan semua cacian,” gumam Riri kecil.

“Kenapa aku selalu sial karenamu, Ririiiii!”

Seka berteriak lebih keras. Riri melengos malas membiarkan Seka mengoceh dramatis meratapi nasibnya.

Perut Riri berbunyi membuat Riri menunduk.

“Hmm? Ah, benar! Ayo beli daging panggang di kedai bibi gemuk. Aku lapar.”

Meringis mengusap perut.

Isi kepala Seka sudah ingin meledak menahan kesabaran.

“DI SAAT SEPERTI INI?!”

Mencakar udara seolah-olah mencakar wajah Riri. kekesalan Seka semakin menjadi-jadi.

Kepala Riri memiring.

“Apa aku salah bicara lagi? Padahal mumpung sekalian nggak bisa masuk kelas kan?” gumamnya selirih angin panas berbisik di telinganya.

Lalu semakin kencang dan semakin kencang. Rasanya cukup perih di mata hingga Riri memejamkan mata sejenak.

“Hah… harum yang mengenakan,” gumamnya lagi.

Mata itu terbuka memberi senyum pada dunia. Benar saja, langit biru di atas melukiskan awan bercahaya.

Burung-burung berkicauan melintasi lingkungan sekolah dan Riri tersenyum karenanya.

Menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya pelan.

“Hahh, manisnya!”

Kehidupan yang menyenangkan di masa muda. Riri dapat merasakan aroma itu. Dia terus menghirup udara sebanyak yang dia mau. Itu membuatnya lega dan senang.

Memandang hadapan penuh perasaan dan harapan.

“Aku… menyukai masa remajaku yang malas. Haha!”

Senyum ceria Riri menular ke tawa kecil, hingga Seka berhenti mengoceh dan kembali memarahinya.

Begitulah kehidupan Riri si pemalas yang merebut perhatian semua orang.

Gadis mata ikan itu cukup menikmati hari-hari remajanya di musim kemarau yang selalu panas. Bersama teman-teman yang bersemangat pula.

Yahh... kehidupan ini akan terus berlanjut hingga masa pergantian tiba.

Riri 3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang