Chapter 1 "Festival"

1 1 0
                                    

Beberapa saat kemudian, Riri tertidur di bangku koridor sampai kelas dibubarkan.

Hujan masih menyertai menembus ruang.

Kringgg!!!

Bel pulang sekolah pun berbunyi.
Semua siswa berbondong-bondong memakai jas hujan dan payung demi melewati gerbang sekolah.

Waktu seolah melambat. Tidak seorang pun yang melihat Riri tertidur di sana.

Mungkin semua orang terlalu fokus untuk pulang karena hujan yang terus meneror?

Situasi itu nampak bodoh hingga sekolah benar-benar sepi.

Lalu, beberapa menit kemudian…

“Hoaamm! Loh? Aku ketiduran?”

Mengerjap-ngerjap bangun sambil menguap tanpa bangkit dari rebahan.

Menoleh ke sekitar. Lalu berpindah ke tangan yang sedikit basah dan lembab.

Ekspresinya murung sembari menghela napas.

“Hmm? Aku kehujanan.”

Terasa sangat disayangkan.

Tiba-tiba matanya terarah ke sudut koridor.

‘Hmm? Sepertinya… aku merasakan hawa manusia lain di koridor sepi ini. Apa hanya perasaanku?’ pikirnya.

Hawa-hawa misterius. Terasa dingin sekaligus panas menjadi satu.
Riri bisa merasakan bulu kuduknya mengejang bersama dengan otot tangannya yang kaku.

Benar saja, di koridor itu Reon sedang sembunyi menatapnya… penuh waspada.

Sayang sekali, hal itu bisa ditebak Riri dengan mudah. Sampai akhirnya gadis itu bangun dari posisi nyaman dengan senyum setipis mungkin.

“Heh? kukira siapa, ternyata ketua kelas Reon. Keluarlah, ketua. Akan buruk jika terus bersandar tembok dingin karena hujan."

Kata-kata malas yang seperti tembakan peluru.

Reon terkejut.

'Bagaimana dia bisa tau?' pikirnya.

Tidak menahan diri lagi, Reon menampakkan diri menghampiri Riri.

“Menikmati hari membolos kelas? Mata Ikan?”

Ujar Reon setelah berhenti di depan Riri. Tentu saja dengan gaya cool.

Nada sarkasme itu membuat Riri meliriknya.

“Hah?”

Dalam hati Reon berdecak.

“Aku bisa melaporkanmu ke guru.”

Ancaman itu sia-sia. Riri tertawa pelan.

“Lebih baik jangan. Karena ketua kelas Azumi saja tidak bisa melakukannya.”

Riri kembali malas dan murung. Reon sampai terheran-heran melihat mata ikan itu dan hawa kemalasan Riri.

“Bukankah seharusnya aku yang bertanya? Kau stalker?”

Reon sedikit terbelalak.

“A-apa?”

Mendongak menatap Reon malas. Memperhatikan diam-diam.

‘Hahh! Aku benar-benar tidak mau berurusan dengannya sekarang. Lebih baik aku cepat pulang dan lanjut tidur siang.’

“Oh, kurasa aku mengerti. Kau ketua kelas yang baik, jadi ingin menegurku agar jangan membolos kelas dan tidur di teras lagi. Itu sebabnya kau menungguku sampai situasi sepi. Hmm, hmm, begitu rupanya.”

Riri mengangguk-angguk positif.

"A-apa? Jangan seenaknya menyimpulkan sendiri! Aku..."

Reon cukup kesal, tapi Riri memotong ucapannya sambil berdiri.

“Intinya aku harus tidur di rumah, kan? Aku mengerti. Jadi berhentilah menguntitku, ketua kelas Reon."

Melenggang begitu saja dengan langkah gontai.

Reon menganga sampai rahangnya agak bergetar. Menggeleng tak terima diacuhkan begitu saja.

“Hoi, tunggu! Jangan mengabaikanku begitu saja!”

Riri pun berhenti. Menunjuk langit-langit mengingat sesuatu. Wajahnya benar-benar terlihat payah.

“Ah, benar juga. Apa kita akan bersinggungan sungguhan?"

Berbalik berujung saling pandang dengan kuda hitam dengan ekspresi sangar.

Angin berlalu di sekitar mereka membuat ujung seragam dan rambut mereka bergerak.

"Oh? Jadi kau merasa begitu?"
Reon dengan dinginnya berkata demikian.

'Kurasa dia mengerti maksudku. Apa tadi hanya mempermainkanku?'

Riri mendesah sambil menggaruk kepala yang tidak gatal. Tangannya begitu lemah.

"Yaa, bukan apa-apa. Hanya saja aku merasa kau punya masalah denganku. Eee, apa aku benar?"

Reon tersenyum miring.

"Mumpung bertemu di sini, aku ingin mengundangmu ke acara festival SMA sebelah. Kudengar seleramu unik. Aku ingin mendengar pendapatmu tentang festival itu untuk kemajuan acara SMA kita selanjutnya. Bagaimana?"

"Ha?"

Terus terang Riri berwajah bodoh. Sangat bodoh.

"Eee, jadi intinya kau mengundangku ke festival bersamamu?"

Dengan polosnya menunjuk Reon.

"Ck! Kalau mengerti jangan diperjelas, bodoh!"

Reon menahan kesal dan malu dengan mengepalkan tangan. Bahkan nada suaranya naik satu tingkat.

Riri meringis.

"Hehe, tidak mau!"

Terpukul sudah hati ketua kelas itu menahan malu. Rasanya ingin memukul Riri. Untung di sini tidak ada orang.

"Dasar mata ikan!"

Geramnya tertahan tak bisa didengar Riri.

"Emm, aku harus mengajak Seka, kalau tidak dia akan berteriak setiap hari di telingaku karena tidak kuajak, dan juga tidak ada yang menggendongku jika aku ketiduran di sana."

Daripada membuat bingung lebih baik Riri jujur saja. Itu pun masih dengan wajah bodohnya.

"Heh?"

Akhirnya Reon mengerti. Dia mengerjap sekali.

'Oh, gadis tomboy itu, ya? Begitu rupanya. Ternyata peran Seka begitu penting di sisi Riri. Seperti bodyguard,' batin Reon.

Menatap Riri tajam dan serius.

"Boleh saja, besok lusa jam sembilan. Kutunggu di gerbang festival. Kuharap jawabanmu tidak mengecewakanku, Riri."

Riri tertegun mendengarnya.

'Ekspresi itu...'

Setelahnya Reon pergi.

Mata Riri hanya mengikuti ke mana langkah Reon tertuju sampai orang menakutkan itu benar-benar menghilang dari pandangannya.

Sungguh, Riri bisa merasakan dia terintimidasi sejenak.

'Permainan kuda hitam, kah? Jangan dikira aku tidak mengerti. Aku tidak boleh lengah nanti.'

Di sisi lain Riri juga sangat waspada. Dia sudah menduga kehadiran Reon bukan hanyalah sekadar kebetulan. Mengintip di balik koridor hanyalah tembok yang menghalangi rencana sebenarnya.

Riri mendesah pasrah.

"Hahh! Aku ingin pulang."

Masuk ke kelas mengambil tas. Saat ingin beranjak pulang, dia terhenti di teras.

Langit begitu indah ya. Warnanya abu-abu.

"Ah? Aku lupa tidak membawa jas hujan."

Akhirnya dia menetap sampai hujan reda. Tentu saja, kembali ketiduran di bangku depan kelas.

Riri 3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang