BAB 9: Kehilangan

19K 1.6K 72
                                    

Wat Baan temple, kuil indah yang berada di kawasan Kamala. Karya seni yang melapisi dinding, berbagai patung Buddha, serta memori berupa foto-foto kehancuran yang diakibatkan tsunami pada 26 Desember 2004 silam, segalanya terasa begitu emosional.

Eleena refleks mengembuskan napas. Tindakan yang ternyata disadari oleh Abi yang sejak tadi diam-diam memerhatikan perempuan itu.

"You okay?" Abi penasaran. Apa yang ada di dalam benak Elga saat ini sebenarnya? Mengapa wajah cantiknya tiba-tiba saja tampak mendung?

Eleena menggeleng pelan. "Cuma nggak sanggup lihat foto-foto bencana alamnya. Nggak kebayang gimana dulu paniknya orang-orang pas kejadian berlangsung." Kemudian kepala itu tertunduk dalam. "Nggak kebayang berapa orang yang ngerasain kehilangan."

"Kehilangan emang sulit. Sulit banget. Apalagi, kalau dadakan alias nggak punya persiapan." Abi tersenyum getir. "Kalau bundaku sendiri pergi setelah kalah berjuang melawan penyakitnya. Walaupun aku merasa 'nggak akan pernah siap' ditinggal saat itu, tapi seenggaknya aku sedikit punya bayangan kalau bunda bakal pergi. Yaaa, meskipun tetap shock sih." Abi tertawa kering.

Melihat Eleena hanya terdiam dengan pandangan iba terarah padanya, Abi pun berdeham kecil dan membalik fokus pembicaraan, "Kalau kamu gimana? Pernah ada di posisi begitu?"

Eleena menatap Abi dari balik bulu matanya. "Kehilangan?"

Abi mengangguk.

Baru Eleena ingin mengatakan hal sesungguhnya, alarm di kepala perempuan itu tiba-tiba berbunyi dan membuatnya bergegas memutar otak untuk mencari alasan lain. "Ng ... nggak kok. Jangan sampai." Jangan sampai ada lagi yang meninggalkannya.

Tidak ingin membuat atmosfer di antara mereka membiru, Abi pun memberi usul untuk pergi ke destinasi selanjutnya, sesuai rencana. Namun, sebuah pernyataan tidak terduga justru keluar dari mulut Eleena.

"Aku lebih penasaran sama karya-karya kamu, Bi." Eleena tersenyum tipis. "Ngelihat foto-foto begini, aku jadi keingat kamu belum ngambil gambar sama sekali hari ini."

Abi menelengkan kepalanya. "Emangnya kamu tertarik?"

Eleena mengangguk. "Kalau kamu berkenan."

"Sure, El! Tapi aku nggak bawa kameranya. Kamu mau mampir ke condo aku?" tanya Abi dengan senang hati.

Kemudian Eleena melirik arloji di pergelangan tangan. "Boleh. Masih sore juga."

Senyum Abi melebar sampai menampilkan lesung pipitnya. "Great!"

***

"Welcome, El."

Eleena melangkah masuk ke dalam tempat Abi begitu sang pemilik mempersilakan dengan membukakan pintu untuknya.

"Sori, agak berantakan sedikit. Biasa, laki-laki." Abi meringis kecil saat pandangan Eleena tertuju pada baju yang masih terkapar di lantai begitu saja. Buru-buru, lelaki itu pun menyingkirkan benda tersebut dan melemparnya pada keranjang khusus pakaian kotor.

Tapi Eleena tidak menanggapi. Pandangan perempuan itu justru langsung tertuju pada sebuah dinding bertema earth song di salah satu sisi ruang yang dipenuhi oleh foto-foto indah. Apa lagi kalau bukan karya-karya Abi?

"Wah, banyak banget." Eleena memerhatikan setiap foto yang terpajang. "Bagus-bagus pula. Kamu emang fotografer yang keren."

Abi terkekeh mendengarnya. "Masa sih? Aku masih merasa diriku amatir."

"Kayak yang kamu bilang, Bi; 'The more you know, the more you don't know'. Ilmu kamu soal fotografi udah oke banget. At least, dari kacamata aku. Tapi mungkin karena kamu semakin mendalami, semakin kamu merasa banyak yang kamu belum kuasai." Eleena tersenyum simpul. "Omong-omong, nggak ada satu pun foto orang di sini. Kebanyakan pemandangan sama objek mati."

Sunrise in PhuketTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang