BAB 19: Dewasa

17.1K 1.5K 129
                                    

Alangkah tetapi, Eleena belum sempat melakukannya. Ia belum sempat meminta maaf pada Erieka. Entahlah, selalu saja ada halangan yang membuatnya sontak mengurungkan niat.

Eleena mengusap wajahnya, lelah. Bukan karena sejak 3 jam lalu ia berada di depan laptop perusahaan yang kini masih saja menampilkan desain absurdnya, tapi karena benaknya seolah tertinggal di rumah.

Hingga hari ini, Erieka masih mendiamkannya. Sang mama pun tidak menyadari "perang dingin" antara kedua anaknya tersebut karena biasanya tingkah laku kakak beradik itu juga tidak jauh berbeda. Bicara hanya seperlunya. Membuka suara dan mendengarkan satu sama lain, atau sekadar bertukar pesan kalau ada hal penting saja. Terlebih, sejak sang adik mulai menerima proyek di luar Jabodetabek dan jarang berada di rumah.

Baik Erieka dan Eleena saling tertutup. Hanya sekali Eleena 'sedikit' membuka diri tentang apa yang tidak disenanginya dengan memberi tahu sang adik bahwa ia capek ditanya perihal jodoh terus oleh sang mama! Dan Erieka pun paham saat itu untuk tidak terburu-buru membocorkan hubungannya bersama sang kekasih karena tidak ingin kakaknya kena semprot dan kembali dibanding-bandingkan. Namun, tidak selamanya Erieka bisa menyembunyikan semua itu dari mamanya, bukan? Apalagi, pacarnya sudah matang untuk masuk ke jenjang lebih serius.

Hal yang juga membuat Eleena memilih kabur ke Phuket saat itu, kala Erieka pada akhirnya membuat keputusan untuk membawa laki-lakinya ke hadapan sang mama.

Omong-omong soal Phuket, mau tidak mau pikiran Eleena pun beralih dari Erieka. Perempuan itu kini teringat akan sosok paling sempurna yang pernah ditemuinya. Apa kabar Abi saat ini? Apa yang sedang lelaki itu lakukan sekarang? Apa mungkin Abi mencarinya?

Eleena berdecak samar. Tidak mungkin. Abi pasti sudah melupakannya. Sudah sebulan berlalu. Selain fakta bahwa Abi adalah lelaki idaman, Eleena juga merupakan perempuan biasa. Pastilah posisinya saat ini di Phuket telah tergantikan oleh orang lain.

Ya, Eleena tidak lagi memikirkan rasa bersalahnya. Abi memang pernah membuatnya merasa spesial saat itu. Perlakuan dan perkataannya terhadap Eleena sungguh manis. Tapi jika dipikir-pikir lagi...

Irvan pun pernah melakukannya saat PDKT sampai membuat Eleena merasa menjadi perempuan paling beruntung di dunia ini karena telah mendapatkan laki-laki seromantis itu. Tapi pada akhirnya, happy ending tidak ada dalam kisah percintaannya.

Eleena takut jatuh lagi. Eleena takut berharap lagi.

"El!"

"Eh, iya!" Eleena meneguk melihat wajah sang Art Director yang tidak lain merupakan kepala di timnya, sudah berada di dekatnya. "K-kenapa, Mbak?"

"Ngelamun, ya? Dipanggil-panggil nggak nyahut," tuduh perempuan bernama Tari itu, beralasan. Melihat Eleena hanya meringis kecil, atasannya tersebut pun menghela napas panjang sambil menegakkan punggungnya. "Kamu sakit? Kalau nggak bisa fokus, mending istirahat dulu di rumah. Desain kali ini benar-benar nggak boleh sembarangan karena buat produk yang udah direncanain 2 tahun lalu, El. Sebelum kamu gabung di perusahaan ini."

Eleena mengangguk. "Saya paham kok, Mbak. Tadi emang lagi corat-coret aja."

"Deadline-nya emang masih lama, tapi nggak menutup kemungkinan kalau bakal ada revisi nanti. Maksudnya, jangan sampai kamu ngulur waktu gitu, lho."

Eleena tersenyum. "Iya, Mbak. Tenang aja. Saya bisa pastiiin semuanya bakal selesai tepat waktu. Dari desain packaging sampai logo, dijamin bakal aman."

"Beneran?" Tari meyakinkan. Melihat kepala berponi itu manggut-manggut percaya diri, ia pun merasa lega. "Oke deh kalau gitu. Semangat, ya! Kalau ada apa-apa, jangan lupa buat panggil saya."

Sunrise in PhuketTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang