"Udah dibilang kalau ngomong yang benar-benar aja, Khal!"
Dengan tatapan lurus, Melvi memperingatkan pria di hadapannya agar tidak bermain-main soal permasalahan yang saat ini dihadapinya.
"Apa yang salah sih, Mel?" Tanyanya lembut. Berusaha mencairkan ketegangan yang didapatinya dari tatapan mata itu. "Kamu diminta cepat-cepat menikah dan aku juga sudah di usia yang matang untuk berkeluarga. Ditambah Mak Tuo juga terlanjur percaya sama kebohongan kamu."
Melvi membeku. Hanya bola matanya yang bergerak kiri-kanan berusaha membaca keseriusan di wajah Khalid.
Dan lelaki itu lanjut berbicara, "daripada terus terbohong dan mengecewakan Nenek nantinya, kita wujudkan saja itu jadi kenyataan. Kita menikah."
"Untungnya buat kamu apa?" Melvi bersikap antisipatif.
Kening pria itu menyerngit. "Kita nggak lagi bahas bisnis, Melvi."
Jawaban itu tidak memuaskannya. "Dari sisiku, jelas ini bisa jadi kabar baik untuk Nenek dan orang tuaku. Kebahagiaan mereka adalah kebahagiaanku juga. Tapi aku pun perlu tahu alasan kamu melakukan ini, Khal. Kenapa tiba-tiba?"
Keyakinan yang tadi ditunjukkan Khalid sekarang sedikit memudar. Terkejut karena Melvi bisa membacanya dengan tepat.
Benar. Ini bukan sekedar bentuk sukarela menjadi pasangan seumur hidup seorang wanita yang desperate soal jodoh. Dia juga pihak yang sedang dalam kesulitan.
"Janji kamu nggak akan marah— ya boleh marah tapi jangan benci aku, plis." Pinta Khalid dengan sorot cemas menunggu respon Melvi. Tapi setelahnya ia jadi semakin gugup meskipun Melvi menyetujui permintaannya.
"Di kantorku sedang ada penilaian untuk promosi jabatan yang lagi kosong. Aku terpilih sebagai kandidat terbaik meskipun aku karyawan yang masa kerjanya belum selama kandidat-kandidat lain."
"Keren." Puji Melvi tulus.
Khalid tersenyum. "Di posisi itu aku bisa memenuhi semua rencana hidupku. Karena selain gaji besar, perusahaan juga kasih tunjangan dan fasilitas rumah dinas."
Melvi mendengar semua penjelasan Khalid dengan seksama. Sampai kemudian pria itu tiba di puncak ceritanya, "tapi syaratnya harus sudah menikah. Karena kalau aku berhasil mendapat jabatan ini, aku bukan lagi karyawan kontrak."
"Jadi maksudnya aku salah satu pelengkap persyaratan kamu?" Tanya Melvi sangsi.
"Aku tetap akan menikah pada akhirnya, hanya urutannya saja yang berbeda. Dulu aku memperhitungkan soal pernikahan setelah aku punya rumah dan keuangan yang stabil. Tapi nyatanya kondisi yang terjadi aku harus menikah dulu agar bisa mendapatkan rumah dan jalan menuju kemapanan."
"Kenapa aku?"
"Yang sekarang ada di depanku itu kamu." Ucap Khalid tegas.
Melvi berpikir sejenak. "Jadi misal yang di depan kamu sekarang Revi, kamu akan mengajak dia menikah juga?"
"Aku tetap akan melamar kamu."
"Lho...tadi nggak gitu caranya." Todong Melvi dengan memutar kembali tubuhnya menghadap si pengemudi.
Yang didesak hanya menarik napas panjang sebelum perlahan menjelaskan ke wanita yang sepertinya susah mengerti itu.
"Kamu pernah nggak tiba-tiba mendapat intuisi untuk sesuatu yang sedang berlangsung di depan mata. Sesuatu yang nggak pernah terencanakan, berkali-kali mengusik pikiran sampai akhirnya mulai menarik perhatian."
Bisa terlihat dari sudut mata wanita itu menggeleng. "Serius belum pernah?" Tanyanya sekali lagi. "Bukan hanya soal asmara. Kadang di kehidupan sosial lainnya aku juga pernah merasa begini."
KAMU SEDANG MEMBACA
SILLY REASONS TO GET MARRIED
ChickLitSetelah 3 tahun, Melvi akhirnya pulang kampung karena desakan nenek. Bukan tanpa alasan wanita itu tidak muncul saat Lebaran atau libur tahun baru, melainkan karena dirinya tidak sanggup menghadapi malu. Melvi terlalu malu menampakkan wajah ke hadap...