Dipindahtugaskan

18 10 12
                                    

Seorang wanita yang tengah memakai pakaian khaki tampak tersenyum sambil menatap ke arah papan nama satu-satunya SMP di desa itu. Dengan menenteng tasnya, wanita itu melangkah memasuki gerbang sekolah yang memang belum ditutup. Sejenak menyapa kedua satpam yang senantiasa menanti jam gerbang ditutup. Sesekali ikut membalas sapaan dari beberapa orang yang berpapasan dengannya selama melangkah.

Ck, guru baru lagi? Apa enggak capek gonta-ganti guru mulu?”

“Entah. Kali ini dari daerah mana lagi, ya?”

Mendadak, Naomi menghentikan langkahnya. Wanita itu menatap sekeliling. Ah, segerombol murid yang tak jauh dari tempat Naomi berdiri, tampak menatapnya dengan tatapan tajam. Wanita itu lantas mendapat ide ‘tuk mengamankan posisinya dari teguran. Dia tersenyum. Namun, yang ada segerombol murid itu malah mengatakan bahwa dia “tidak waras”, lalu pergi menjauh. Seketika senyum Naomi menghilang, kemudian melangkah kembali mencari ruangan yang menjadi tujuannya pagi ini.

Hingga akhirnya, wanita itu menemukan lokasi ruang kepala sekolah. Dia pun membuka tasnya, mengambil sebuah map yang tak keliatan tebalnya. Lalu, mengetuk pintu kepala sekolah yang berada di depannya itu.

Tampaknya, wanita itu cukup beruntung. Dia langsung dipanggil untuk masuk setelah selesai mengetuk pintunya. Wanita itu pun mendorong pintu tersebut, lantas masuk ke dalam ruangan yang seperti ruangan lain, hanya berbeda bendera negara kecil di meja tersebut.

Begitu sang kepala sekolah menanyakan alasan, wanita itu langsung menjelaskan. Dia juga menyerahkan map tadi dengan sopan. Tampak sang kepala sekolah langsung menerima dan membaca. Mengangguk sejenak. Lalu, menatap pada wanita tadi.

“Bu Ayusya Naomi, ya?” tanya sang kepala sekolah. Dia dapat melihat respon anggukan kepala. Pria itu lantas menutup map tersebut, kemudian meletakkannya di meja. “Baguslah Ibu sudah datang. Berhubung hari ini nanti akan ada upacara bendera, saya akan memperkenalkan Ibu bersama guru pendatang baru lainnya di depan murid-murid. Sekarang Ibu bisa ke ruang guru lebih dulu, atau ada yang ingin Ibu tanyakan?”

Wanita yang di map tertulis kerap disapa Naomi itu tampak berpikir sejenak. Beberapa detik kemudian, dia pun bertanya, “Kalau boleh tahu, saya akan diletakkan di kelas berapa ya, Pak? Kelas tujuh apa delapan?”

Sang kepala sekolah seketika mencari-cari sesuatu di laci mejanya. Namun, hanya sebentar. Setelah menemukan benda yang ternyata hanya selembar kertas, pria itu kemudian menunjukkannya pada Naomi. “Ibu bisa cari nama Ibu di sini, ya.”

Dengan senang hati Naomi membaca lembaran kertas tersebut. Dia dapat melihat beberapa kode dengan tulisan hari dan kelas. Begitu menemukan kodenya sendiri, Naomi pun mencari kode tersebut jadwal kelas. Hingga akhirnya, Naomi mengernyit tatkala menyadari bahwa kodenya berada di kelas yang mustahil dia bayangkan akan berada di sana. “Maaf, Pak. Ini jadwalnya tidak salah? Kok saya ditempatkan di kelas sembilan, ya?” tanya Naomi. Sedikit takut bila masih baru dan langsung mengajar anak yang akan meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi.

Sang kepala sekolah lantas mengambil kembali lembaran kertas tersebut. Membaca sejenak, lalu menjawab dengan berkata, “Tidak salah kok. Lagi pula, tidak banyak anak-anak yang akan lanjut sekolah.” Serta sedikit memelankan suaranya di kalimat terakhir.

“Maaf?” beo Naomi. Dia tak terlalu mendengar jelas, hanya kata “anak-anak” yang masih tertangkap oleh telinganya.

Sedikit tersentak, sang kepala sekolah malah menunjukkan senyuman pada Naomi. “Tidak, bukan apa-apa. Intinya, jadwal ini tidak salah. Ibu bisa bertanya ke guru lain untuk ruang kelasnya, lalu jadwalnya juga sebentar lagi ditempel di ruang guru. Kebetulan ini masih hari pertama. Jadi, jadwal lamanya belum dilepas.”

Naomi mengangguk. Meskipun ada sedikit kalimat yang membuatnya penasaran, tapi wanita itu tampaknya tak ambil pusing. “Baiklah, saya pamit undur diri, Pak.” Tatkala Naomi melihat sang kepala sekolah mengangguk, dia langsung keluar ruangan sembari membawa tasnya.

Begitu Naomi benar-benar keluar dari ruangan tersebut, dia melirik jam tangannya sejenak. Waktu upacara masih lama. Wanita itu lantas melangkah santai sembari mencari ruang guru. Sedikit menyesal karena tak menanyakannya pada satpam yang harusnya sudah hafal seluk-beluk sekolah ini.

Untungnya, Naomi berhasil sampai di ruang guru yang disebut-sebut sang kepala sekolah tadi. Sejenak menyapa beberapa rekan sesama guru yang sebagian sudah ada di sana sembari mencari-cari meja yang memiliki namanya. Hingga akhirnya, Naomi meletakkan tasnya di atas meja yang berada tepat di depan meja guru laki-laki. Tepatnya, berada paling belakang dibanding dengan meja guru perempuan lainnya. Namun, Naomi kembali tak mengambil pusing akan hal tersebut. Dia malah dengan santainya duduk, lalu membuka ponsel dan mencari-cari materi yang harus dia kuasai. Berhubung, besoklah jamnya mengajar.

“Bu Ayusya?”

Interupsi seseorang dengan suara khas laki-laki membuat Naomi seketika mendongak. “Iya, Pak…?” Sayang sekali Naomi belum mengenal semua rekan-rekannya di ruangan tersebut. Meskipun begitu, entah mengapa suara laki-laki yang baru saja menginterupsinya ini terdengar tak asing. Namun, Naomi tak terlalu memikirkannya, mengingat rasa pusing malah menyerang bila dilanjutkan.

“Saya Yosiko Gatta, panggil saja Gatta, Bu.” Tampaknya, pria itu menyadari bahwa Naomi berniat menanyakan namanya, tapi kebingungan bagaimana mengutarakannya.

Lantas Naomi mengangguk singkat. “Ah, Pak Gatta, ya. Saya Naomi, Pak.” Sejenak, wanita itu menatap jam tangannya. Masih ada lima menit sebelum waktu upacara. “Ngomong-ngomong, ada apa, ya? Waktu upacara kan, masih lama juga, Pak.” Dia bertanya bersamaan dengan kepala yang kembali mendongak. Sekaligus tangan yang bergerak membenarkan beberapa helai rambut akibat menunduk tadi.

“Bukan apa-apa, Bu. Saya hanya ingin meletakkan tas saya di meja itu, kok.” Gatta menunjuk ke arah meja tepat di sebelah Naomi.

Naomi yang menyadari hal itu seketika terheran-heran. “Bukankah biasanya laki-laki dan perempuan mejanya terpisah, Pak?” tanyanya berdasarkan pengalaman menjadi murid.

Tampak Gatta yang menghela napas. Dari ekspresinya pun, pria itu terlihat sedikit enggan untuk mengatakannya. “Tahun ini jumlah laki-laki dan perempuannya ganjil, lalu ukuran ruangannya juga terbatas untuk menambah satu deret lagi. Lagi pula, saya mampir ke sini saat akan upacara dan saat rapat saja, Bu. Sisanya lebih sering di ruang BK. Mungkin itu juga alasan kenapa Ibu dipilihkan meja ini.” Pada akhirnya, Gatta menjelaskan dengan cukup panjang. Terlebih dengan ekspresi pasrah yang begitu ketara.

“Pak Gatta itu guru BK?” tanya Naomi. Pas sekali pria itu menjawab dengan anggukan, membuat keirian Naomi sedikit meningkat. “Enaknya punya dua tempat duduk, Pak. Kalau begitu, saya tidak perlu sungkan duduk di sini, ‘kan?” Sedikit bercanda.

Hanya saja, Gatta malah menanggapi dengan serius. “Enak bagaimana, sih, Bu? Saya itu harus mengurusi anak-anak bermasalah sekaligus anak-anak yang ingin berkonsultasi sebagai BK, lalu saya juga harus mengajari kelas sembilan di mata pelajaran Bahasa Indonesia, lho.” Sepertinya pria itu juga menambahi dengan bumbu curhatan.

Seketika Naomi tersenyum dan berniat kembali membalas. Namun, terdengar suara seseorang yang mengumumkan bahwa semua guru harus hadir di lapangan sekarang. Mau tak mau, Naomi pamit pergi lebih dulu menuju lapangan bersama rekan wanita lainnya.

Selama menunggu yang lainnya siap, Naomi sedikit mengobrol dengan rekan-rekan lainnya. Hingga akhirnya, upacara dimulai dan semuanya berjalan dengan kesenyapan. Hanya beberapa orang yang memang bertugas sesuai prosedurlah yang mengeluarkan suara, meskipun tetap dengan aturan-aturan tertentu.

Tanpa sadar, penghujung upacara akhirnya sudah dekat. Hingga tepat sebelum semua peserta dibubarkan, terdengar pengumuman yang mengumumkan kedatangan lima guru baru di sekolah tersebut. Satu per satu ditunjukkan siapa orangnya, termasuk Naomi yang kelewat senang hingga melambaikan tangan kanannya.

Hanya saja, setelah pengumuman singkat yang mengenalkannya itu, Naomi merasa aneh dengan reaksi calon murid-muridnya itu. Beberapa ada yang mengeluh dengan kedatangan guru baru lagi, ada juga yang bertaruh berapa lama dia akan bertahan, bahkan ada juga yang hanya diam seribu bahasa. Baru kali ini, Naomi merasa tak ada yang ingin menyambut kedatangan orang lain, barang satu orang saja.

Update: July 1, 2023

Agentif AgitatifTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang