Mutia Septriasha

1 1 2
                                    

Setelah tuntas mengisi dua kelas, Naomi yang sebenarnya tinggal pulang, memilih duduk di ruang guru. Membaca jawaban setiap anak yang sudah mengumpulkan buku. Namun, sayangnya, tak satu pun anak yang berhasil membuat Naomi senang.

5. 5p × 2p³ = 10p³

6. 10p⁴ : 2p² nilai p adalah…

Wanita itu menghela napas berat. Hampir semua anak yang mengumpulkan jawabannya lebih dulu, berhenti di nomor lima. Tak satu pun yang berniat melanjutkan ke nomor seterusnya hingga mencapai nomor sepuluh.

Apa aku salah memilih soal, ya? batin Naomi. Yah, wanita itu memang berencana mengganti angka tiap tahun, tapi dia tak membedakan tipe soal dari tugas yang dia berikan. Malah, sengaja menyamakan tipe soal dengan harapan hasilnya akan lebih baik dari tahun sebelumnya. Namun, hasilnya lebih mengerikan.

Tanpa sadar, Naomi terlalu fokus menilai buku-buku yang terus berdatangan mengingat bahwa jam pulang tinggal sebentar lagi. Hingga akhirnya, tatkala di dalam ruangan tersebut hanya tersisa wanita itu, dia juga berhasil menyelesaikan menilai buku terakhir yang datang. Lantas, Naomi membaca kembali jurnalnya, memastikan sejenak bila ada yang tertinggal atau masih belum mengumpulkan. Tampaknya, keraguan Naomi membuahkan hasil. Masih ada satu anak yang belum menyetorkan bukunya, bahkan dia merupakan anak asuh wanita tersebut.

Mutia Septriasha, ya? Kudengar dia yang dapat peringkat satu paralel di semester lalu, pikir Naomi. Namun, atensi wanita itu teralihkan oleh gerakan seseorang yang berniat masuk dari pintu depan. Sontak Naomi langsung memincingkan mata memastikan siapa yang datang. Setelah seseorang itu melewati pintu ruang guru, Naomi baru sadar ternyata dia siswi yang sempat dibahas bersama dengan Gatta tadi pagi.

“Mau mengumpulkan tugas?” tanya wanita itu tepat setelah sang siswi berhenti tepat di sebelah mejanya. Mata wanita itu pun melirik pada sebuah buku usang yang dibawa sang siswi. Hanya sejenak, kemudian dia langsung mengarahkan pandangan pada wajah sang siswi.

Tanpa bersuara, sang siswi hanya mengangguk. Lantas, perlahan dia menyerahkan sebuah buku yang dibawa tersebut pada Naomi. Meskipun demikian, anehnya tangan sang siswi tampak gemetar pelan dan Naomi menyadari kejanggalan tersebut. Namun, Naomi mencoba mengamati dengan bersikap seperti biasa.

“Kelas mana?” tanya Naomi sembari menerima sodoran buku tersebut. Sengaja ingin memancing siswi yang menarik perhatiannya ini untuk berbicara.

Naomi dapat melihat bahwa sang siswi tersentak. Lalu, setelahnya siswi itu menundukkan kepala dengan kedua tangan mencengkeram erat roknya. “Sembilan A,” bisik siswi itu. Lantas setelahnya, dia bersiap menggerakkan kaki ‘tuk beranjak pergi.

Sekali lagi Naomi menyadari gerak-gerik siswi itu. Tepat ketika dia melihat sang siswi bergerak menjauh, refleks Naomi mencengkeram lengan terdekat sang sisiwi. Untungnya, dia berhasil menahan sang siswi dan bertanya, “Namamu siapa … hah!” Belum juga Naomi berhasil menyelesaikan pertanyaannya, mata wanita itu menangkap rembesan darah pada kain yang tercengkeram.

Sontak Naomi mengalihkan cengkeramannya menjadi pada pergelangan tangan. Saking terkejutnya, wanita itu juga sampai bangkit dari duduknya. “Kenapa tidak bilang dari tadi kalau terluka, Nak?” tanya Naomi dengan sedikit sarkas, tapi juga penuh kekhawatiran.

Lagi-lagi tak ada sahutan dari siswi di depan Naomi. Malahan, Naomi melihat siswi itu tampak membisu dengan tubuh gemetar. Terlalu gemas, Naomi memilih menarik siswi tersebut menuju UKS. Sembari melangkah dengan terburu-buru, wanita itu menyempatkan diri menghubungi seseorang yang dia ketahui pasti mempunyai kunci ruang UKS, Pak Gatta.

Setelah melewati percakapan singkat, Naomi berhasil mendapat kabar baik dengan ruang UKS yang masih belum terkunci, apalagi Gatta malah berada di dalam ruangan tersebut. Namun, di tengah-tengah lapangan, langkah Naomi terhenti. Wanita itu merasa bila tarikan darinya berubah-ubah dan malah menbuatnya kian khawatir. Karena khawatir, wanita itu pun membalikkan badan dan menyadari bahwa wajah sang siswi tampak lebih pucat dari sebelumnya. Lantas tanpa pikir panjang, Naomi menggendong siswi tersebut dan dengan kekuatan penuh, berlari menuju ruang UKS.

“Pak Gatta!” teriak Naomi tepat setelah berhasil melewati pintu UKS yang kebetulan tengah terbuka. Sejenak menatap sekeliling hingga akhirnya memfokuskan pandangan pada seorang pria yang tengah berjaga di sana. “Pak! Tolong ambilkan alat-alat pertolongan, khususnya untuk luka yang sampai mengeluarkan darah!” perintah Naomi yang terlanjur panik. Dengan tetap terburu-buru, wanita itu meletakkan sang siswi pada sebuah brankar dan menarik tirai hingga berhasil menutupi seluruh brankar.

Naomi cukup beruntung. Gatta lumayan cekatan untuk seorang guru BK yang langsung membawakan sekotak alat pertolongan pertama. Bahkan tanpa bertanya, Gatta langsung berdiri di balik tirai, bukannya ikut membantu Naomi sesuai dengan norma yang dia ketahui.

Sementara Naomi, dia langsung membuka pakaian atas sang siswi serta menyingkapnya hingga membuat dua lengan yang diperban ala kadarnya itu terpampang jelas di mata wanita tersebut. “Kenapa kamu tidak cerita jika terluka seperti ini pada ibu?” bisik Naomi yang masih asyik mengganti perban sang siswi.

Berbeda dengan Naomi yang amat khawatir, sang siswi malah tampak begitu ketakutan. Saking takutnya, sang siswi sampai tak sadar bila berkata, “Hentikan, tolong jangan beri perhatian pada saya.”

Naomi yang baru saja selesai mengganti perban di tangan kanan pun, seketika terhenti. Lantas wanita itu menatap lurus pada sang siswi. Bukan, bukan dengan tatapan menginterogasi, malah tatapan sedih yang terpancar. “Kenapa? Apa ada yang merundungmu, Nak? Katakan saja pada ibu, ibu tidak akan marah.” Sekali lagi Naomi menawarkan diri sembari melanjutkan aktivitasnya mengganti perban.

Akan tetapi, lagi-lagi gadis di hadapan Naomi malah memgatakan hal lain. “Tidak mau. Nanti pernikahan saya dipercepat sama Ibu.”

Hanya itu. Namun, sukses membuat gerakan mengikat perban dari tangan Naomi berhenti sejenak. Lalu, kembali dilanjutkan hingga benar-benar terikat sempurna. Setelahnya, Naomi membantu membenarkan segaram gadis itu. Sembari melakukannya, dia juga merespons dengan berkata, “Apa maksudmu? Pasti ibumu bercanda agar kamu tidak mudah bergantung pada orang lain.”

Sayangnya, jawaban dari gadis itu malah berupa gelengan kepala. “Ibu berbeda dengan Ibu saya. Tolong jangan disamakan. Ibu saya benci jika saya peringkat satu paralel.” Lalu, gadis itu menyentakkan tangan Naomi yang masih asyik memasukkan kancing dalam posisinya. Setelah tangan Naomi berhasil menjauh, gadis itu buru-buru merapikan sisa kancingnya. “Katanya, saya tidak boleh menarik perhatian para guru,” ucapnya yang tanpa permisi, berlari keluar ruangan begitu saja.

Kembali pada posisi Naomi, saat ini dia hanya menatap kosong ke depan dengan kedua tangan yang masih melayang di udara. Mencoba mencerna kejadian yang baru saja terjadi di depan matanya tadi. Namun, yang ada pikirannya tak dapat menangkap kesimpulannya. Malah, pikirannya buyar gara-gara mendapat panggilan dari Gatta.

“Lebih baik Bu Naomi tidak usah memikirkan sikap anak perempuan itu. Kebanyakan siswi di sini memang seperti itu, Bu. Jadi—”

“Tapi dia anak didik saya, Pak! Bagaimana saya bisa tutup mata pada anak didik saya?” potong Naomi tanpa menatap sedikit pun pada Gatta. Anehnya, perasaan wanita itu seperti terluka setelah mendengar saran dari Gatta, atau … karena sangkalannya sendiri?

Update: July 5, 2023

Agentif AgitatifTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang