Malam hari cukup sunyi. Sebagian rumah pun ada yang gelap, berhubung penerangan terbatas. Namun, itu tak berlaku bagi Gatta yang mendapat rumah sewaan dengan penerangan memadai. Meskipun tak terlalu terang, tapi cukup untuk membaca sesuatu.
Terbukti dengan Gatta yang saat ini sibuk menatap layar laptop yang tengah menampilkan layar putih dengan bagian atas menunjukkan putaran lingkaran. Bahkan di sela-sela menatap layar tersebut, Gatta masih menyempatkan diri mengapit ponsel di antara bahu dan telinga.
Hingga tiba-tiba, muncul senyum manis di wajah pria itu. “Bagaimana kabar Anda, Ayah Mertua?” tanya Gatta setelah suara deringan tak terdengar lagi.
“Melihatmu menghubungiku seperti ini, sepertinya ada sesuatu yang kamu inginkan, apa aku benar?”
Senyum manis yang terpampang indah itu, perlahan menjadi seringaian. “Sepertinya kita memang ditakdirkan sebagai mertua dan menantu, ya?” Gatta membenarkan posisi duduk, lalu menghela napas sejenak. “Bisakah saya minta tolong memberi tahu Ibu Mertua jika kunjungan saya akhir tahun harus maju menjadi akhir bulan ini, bisa, ‘kan, Ayah?” Sedikit melemparkan ekor mata ke samping, meskipun akhirnya hanya dapat melihat sebagian kecil ponselnya.
“Maksudmu untuk menemui putriku? Sepertinya itu tidak bisa. Kamu kan, tahu, putriku dan istriku saat ini sedang di rumah baru, sementara aku menetap karena pekerjaan.”
Mendadak, ujung bibir Gatta terasa berkedut. Seperti, ada hal lucu dari balasan sang Ayah Mertua tersebut. Lantas, tepat setelah berhasil mengatur kembali keadaan bibirnya, pria itu kembali membalas, “Benarkah istri saya ada di rumah baru? Bukan di tempat lain dengan ingatan palsu?”
Tepat sasaran. Sang Ayah Mertua yang masih berada di dalam telepon, terdengar suara “E….” dan sedikit tawa kecil. “Hei, kenapa kamu berpikir seperti itu? Jika tidak percaya, bagaimana jika aku kirimkan foto kebersamaan mereka sekarang?” Terdengar jelas bila sang Ayah Mertua berniat untuk mengakhiri pembicaraan.
Tanpa sadar, Gatta menyunggingkan sebuah senyuman akibat tak tahan lagi mendengar respons dari pria itu. “Baiklah.” Menejamkan mata sejenak sembari mengarahkan pandangan ke langit-langit ruangan. “Sepertinya tahun ini saja juga tidak bisa berkunjung lagi.” Hanya itu. Lalu, tanpa menunggu jawaban, dia langsung mematikan sambungan telepon itu sembari kembali membuka mata.
Begitu ponselnya berhasil bertengger di atas meja, Gatta lantas membenarkan posisi duduk. Menatap latar laptop yang akhirnya menampilkan berbagai situs. “Besok sepertinya ada jam di BK dan Bahasa Indonesia, deh. Untung Bahasa Indonesia aman materinya,” gumamnya sembari terus menekan tanda panah ke bawah.
•••
Seperti sebuah keseharian, Gatta selalu berangkat pada jam yang nyaris sama. Dia juga sesekali menyapa para tetangga yang kerap kali menunjukkan ekspresi ambigu, membuat Gatta memilih mengendarai motor meskipun harga bahan bakar cukup menguras kantong bila tak menyiapkan jeriken sendiri.
Di sekolah pun, Gatta tak terlalu banyak bicara. Dia terlalu fokus mengajar hingga kerap kali malas bercanda saking lelahnya. Kali ini pun, dia berada di situasi yang sama.
Jam istirahat pertama baru didentingkan bel penandanya. Namun, pria itu sudah berjalan di lorong luar kelas. Melangkah santai sambil menatap sekeliling. Kali ini aku bisa bertemu dengan Bu Ayusya apa tidak, ya? Sekelebat pertanyaan tiba-tiba terpikirkan di otaknya.
Baru saja dibahas, keberuntungan Gatta berjalan. Tepat saat pria itu hendak melewati kelas E menuju ruang BK, muncul wanita di pikiran Gatta dari dalam kelas.
“Bu—” Sayangnya, panggilan Gatta terhenti. Terlintas pikiran ‘tuk kembali berbincang dengannya membahas tentang sikap para murid. Namun, pikiran itu seketika menghilang tatkala melihat Naomi yang hanya mengangguk sebentar dan langsung berlalu melewatinya begitu saja.
Sontak Gatta menghentikan langkahnya dan berbalik. Menatap punggung Naomi yang makin menjauh. Lalu, kembali melanjutkan langkahnya dengan perasaan aneh. Baru kali ini aku merasa ada yang tidak sesuai. Padahal biasanya melakukan pengecualian lebih tidak sesuai. Mungkin karena fakta itu, ya? batin Gatta yang masih kebingungan.
Gatta terlalu larut dalam pikirannya. Dia tak sadar bila pria itu telah sampai di dalam ruang BK.
Pria itu baru sadar ketika ada seorang guru BK yang sedari tadi di dalam ruangan mengajaknya berbicara. “Hari ini kita kehilangan siswi lagi. Baru kelas tujuh sih, tapi katanya sudah mau dinikahkan.”
Sembari meletakkan buku bawaannya, Gatta bertanya, “Lalu?” Dia mendudukkan diri dengan santai. Membuka laptop dan melakukan kegiatan yang sempat tertunda semalam.
Sementara sang guru BK yang merupakan rekan Gatta, malah berpangku tangan. Dia juga mengangkat kedua bahu singkat. “Bukan apa-apa, sih. Saya hanya penasaran dengan pendapat Pak Gatta.”
Sebuah lirikan mata seketika muncul dari Gatta. Namun, dia hanya menatap sejenak ke arah pria tersebut. “Untuk apa menanyakan pendapat saya, Pak? Bukankah kita hanya perlu beraktivitas seperti biasa?” Dingin. Seakan tak ingin terlalu lama memikirkan hal tersebut.
Tentu hal itu mengundang tawa kecil dari laki-laki di dalam ruangan tersebut. Sembari kembali mengutak-atik berkas di atas meja. “Pak Gatta, Pak Gatta. Pantas saja banyak guru yang menolak berdiskusi dengan Bapak. Bapak itu terlalu rasional. Sekali-kali Bapak utarakan pendapatnya dong.”
Nada yang terdengar bercanda. Namun, sukses menarik atensi seorang Gatta. Saat ini, Gatta menghentikan tarian jari di atas papan ketik laptop dan malah menatap ke arah pria yang merupakan rekannya. “Lagi pula, apa pentingnya, Pak? Hampir semua siswi yang minta dikeluarkan itu memilih menggunakan kebohongan hamil duluan daripada ikut orang tuanya pindah.”
Sang rekan kerja itu memainkan buah jeruk yang kebetulan berdiri indah di atas mejanya. “Iya juga. Pak Gatta merasa kasihan tidak?” Memberikan lirikan ke arah depan, tempat Gatta duduk. Pria itu juga senyap menunggu jawaban dari Gatta.
Sementara Gatta, dia sadar akan tindakan rekan kerjanya. Maksudnya jika aku salah jawab, akan jadi bahan gosipan dan berakhir seperti Bu Ayusya, begitu? Padahal aku kerja lebih lama dibanding Bu Ayusya, pikir Gatta. Tampaknya pola pikir masyarakat telah berhasil diamati oleh Gatta hingga dia menjawab, “Untuk apa? Tugas saya kan, hanya perlu memberi materi, tugas, dan nilai. Selebihnya adalah urusan mereka sendiri. Lalu, jika merasa kasihan, mungkin sedikit? Anggap saja sebatas pernah mengajar dia.”
Tampak sang rekan kerja itu langsung menunjukkan senyum yang cukup lebar. Mata sang rekan kerja akhirnya berfokus pada jeruk tersebut. Sembari mengupas kulit satu per satu, dia masih memiliki topik ‘tuk dibalas. “Benar juga. Saya jadi khawatir dengan Bu Naomi. Bukankah katanya Bu Naomi sampai berusaha meyakinkan Wakasek agar peringkat paralelnya tidak ditempel di mading sekolah?”
Tanpa sadar, Gatta menyipitkan matanya. Sedikit curiga. Berawal dari siswi yang berhenti sekolah, kemudian merembet ke kabar Naomi yang berhasil mengubah keputusan Wakasek. Lantas pria itu kembali menatap ke arah layar laptop. “Yah, mungkin saja Bu Naomi hanya bisa bertahan sebentar. Lagi pula, hanya dia yang terlihat paling menonjol seperti itu,” jawab Gatta seadanya. Namun, pikiran pria itu malah memikirkan segala kemungkinan yang akan dilakukan oleh Naomi seorang. Sepertinya dalam waktu dekat aku harus meminta surat mutasi, deh, pikir Gatta yang asyik mengerjakan tugasnya.
Update: July 14, 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Agentif Agitatif
Ficción GeneralAyusya Naomi, wanita muda yang dipindahtugaskan ke daerah terpencil. Awalnya dia merasa biasa saja. Namun, begitu menuju tahun terakhir, kejanggalan muncul di sekitar Naomi. Dia berusaha sekuat tenaga untuk memperjuangkan hak seorang anak. Namun, ta...