Tanpa terasa, beberapa minggu berlalu begitu saja. Selama beberapa minggu tersebut, Naomi menjalaninya dengan kesenyapan. Hingga mengundang beberapa rekan guru untuk mendekat dan mengajak berteman. Meskipun pada akhirnya, Naomi menerima lewat perkataan saja.
Hanya saja, hari ini sedikit spesial bagi Naomi. Waktu untuk pembagian rapor sisipan. Hari yang dinantikan wanita itu untuk dapat berbincang dengan para wali murid secara langsung. Khususnya, ibu Mutia yang sempat terekam mata Naomi melakukan hal yang seharusnya tak dilakukan.
Sedari tadi bel masuk telah dibunyikan. Namun, area sekolah masih lengang. Bahkan beberapa wali kelas malah baru mengambil rapor sisipan kelasnya, termasuk Naomi yang mendapat saran seperti itu.
Sembari melangkah menuju kelasnya, Naomi menatap halaman yang cukup luas dan dikelilingi bangunan-bangunan tersebut. Tersenyum kecut. Otak kecilnya kembali berandai, bila dia termasuk guru penggerak, mungkin akan memfokuskan pemanfaatan halaman sekolah yang sedari dulu hanya digunakan untuk upacara saja.
Hingga tiba-tiba, mata wanita itu menangkap keberadaan Gatta. Tanpa sadar wanita itu mengernyitkan dahi, heran. Sudah jelas bila Gatta bukanlah wali kelas, tapi pria itu malah berkeliaran di sekolah sementara guru lain yang juga bukan wali kelas malah meliburkan diri. Namun, wanita itu memilih memendam rasa penasarannya dan fokus memikirkan rangkaian kata-kata yang sebaiknya diucapkan di depan wali murid.
“Tumben tidak minta saran lagi, Bu. Bukannya ini pertama kalinya Ibu bicara di depan wali murid?”
Terdengar sebuah suara dari belakang wanita itu. Suara yang sebenarnya ingin dihindari. Namun, nada yang masuk ke telinga wanita itu terdengar seperti tak percaya padanya.
Terpaksa Naomi membalikkan badan. Menatap ke arah Gatta yang balik menatapnya dengan pandangan penuh percaya diri. Seperti berharap aku benar-benar bertanya, pikir wanita itu. Namun, tampaknya kali ini wanita itu memilih melakukan sebaliknya. “Kebetulan saya sudah menyiapkan kata-kata yang pas, Pak. Lagi pula, Bapak bukan wali kelas, tapi kenapa malah di sekolah?” tanyanya.
Sontak Gatta tampak mengubah ekspresinya. “Sayang sekali”. Begitulah ekspresi yang kini terlihat dari wajah pria itu yang sayangnya hanya muncul beberapa detik. Lantas, pria itu menjawab, “Yah, mau bagaimana lagi? Tidak ada yang mau menjadi relawan yang mengarahkan wali murid. Jadilah tim BK harus turun tangan.”
Wanita itu pun seketika mengangguk, mengerti akar permasalahan yang membuat seorang Gatta berakhir gagal meliburkan diri. Mata Naomi menangkap keberadaan seorang wali murid yang mulai memasuki area sekolah. Kemudian, wanita itu buru-buru menatap lagi ke arah Gatta. “Sepertinya saya harus pergi sekarang, Pak. Saya permisi.” Lantas, tanpa menunggu jawaban, wanita itu langsung melanjutkan langkah. Kali ini dengan sedikit mempercepat langkahnya.
Wanita itu cukup beruntung. Ruang kelasnya masih sepi, membuatnya tinggal masuk lalu menunggu sambil menata tumpukan amplop di tangan. Kuharap ibunya Mutia datang, batin wanita itu yang asyik memainkan ponsel meskipun sinyalnya yang sedikit menguras emosi.
Perlahan, satu per satu wali murid tampak memasuki ruang kelas Naomi. Sedikit gugup di awal, tapi kian berhasil ditaklukan oleh wanita itu. Makin lama, wanita itu makin santai dalam menjelaskan, meskipun kebanyakan malah menanyakan kapan anaknya akan dikeluarkan.
“Masih lama untuk bisa dikeluarkan, setengah tahun saja belum terlewati ini.” Jawaban yang sama pada pertanyaan yang sama digunakan oleh Naomi. Meskipun terasa aneh, tapi Naomi berusaha memendamnya.
Tanpa terasa, satu jam berlalu begitu saja. Ruang kelas Naomi pun kembali lengang. Namun, masih tersisa satu amplop yang tak kunjung terambil. Terlebih, pemilik amplop tersebut adalah seseorang yang ditunggu-tunggu kedatangannya oleh wanita itu.
Karena sepertinya masih ada waktu, aku tunggu saja deh, pikir wanita itu sembari kembali memainkan ponselnya. Dia tampak santai setelah mendengar suara wali kelas lain yang samar-samar terdengar memanggil nama satu per satu.
Tampaknya, kesabaran Naomi membuahkan hasil. Wanita itu akhirnya mendengar suara langkah kaki yang makin lama makin mendekati ruangannya. Buru-buru dia menyimpan ponselnya lagi. Lalu, menatap ke arah pintu masuk.
Benar saja. Tamu terakhir wanita itu akhirnya datang. Beruntungnya Naomi, wali murid yang datang adalah wanita yang sempat diketahui Naomi bersama Mutia kala itu. Sontak Naomi menyunggingkan senyum serta memberi salam sembari bangkit berdiri.
Hanya saja, seperti kepribadiannya yang sekilas dilihat oleh Naomi. Wanita itu kali ini berlalu begitu saja dan langsung duduk di kursi yang memang sedari tadi berada di depan Naomi. “Di mana rapor sisipan Mutia? Hari ini saya buru-buru.”
Ah, sungguh menjengkelkan. Padahal bagi Naomi, jika memang buru-buru, harusnya datang lebih cepat, bukannya malah datang paling akhir. Sabar, sabar, kalau ikut emosi, yang ada malah makin runyam masalahnya, pikir Naomi yang akhirnya mengikuti wanita itu duduk.
Sembari mengambil amplop terakhir di atas meja, Naomi pun berkata, “Sebenarnya Mutia itu pintar, Bu. Tapi ada kalanya dia sangat takut untuk bertanya, sehingga membuatnya kesulitan untuk mengejar ketertinggalan. Jadi, saya harap sampai rumah Ibu tidak memarahi Mutia.” Lantas, Naomi menatap ke arah wanita itu. Namun, dia tak kunjung mengarahkan amplop tersebut pada wanita di depannya. “Sebaiknya Ibu bantu Mutia agar lebih berani perlahan-lahan dan jangan memaksa.” Akhirnya, Naomi menyerahkan amplop terakhir itu ke arah wanita tersebut.
Akan tetapi, bukan ekspresi penuh persetujuan yang ditunjukkan wanita itu. Malahan, ekspresi tersebut lebih menyerupai ekspresi tak terima. Wanita itu bahkan sampai mengambil amplop dari tangan Naomi dengan kasar. “Mutia itu anak saya. Ibu jangan ikut campur bagaimana saya mendidiknya!” Lantas, bangkit berdiri begitu saja dan melangkah menjauh.
Naomi tak terima. Dia ikut berdiri, lalu berkata, “Apakah ancaman akan menikahkan anaknya termasuk cara mendidik yang benar? Bu, Mutia itu masih memiliki masa depan yang cerah, dia bisa masuk SMA dengan mudah menggunakan nilainya yang tinggi-tinggi.” Masih dengan nada santai, berusaha menyakinkan wanita di depan Naomi.
Tampaknya, wanita itu menghentikan langkah karena perkataan Naomi. Lantas wanita itu kembali menatap pada Naomi. Namun, ekspresi yang ditunjukkan wanita itu malah tampak makin mengeras hingga membuat Naomi heran akan letak kesalahannya.
“Bukankah sudah saya katakan, jangan ikut campur urusan saya! Lalu, Ibu itu bukan siapa-siapanya Mutia! Lebih baik Ibu berhenti sekarang sebelum makin terlambat!”
Terdiam. Naomi benar-benar tak menyangka akan mendapat penolakan seperti itu. “Tapi—” Baru saja Naomi berniat membalas, tapi wanita itu sudah terlanjur pergi lebih dulu. Hingga membuat Naomi kebingungan ‘tuk memilih antara menyusul atau membiarkan wanita itu pergi.
Apa maksudnya itu? Kenapa aku harus berhenti? Memangnya bahaya apa sampai membuatnya seperti itu? batin Naomi. Buntu. Tak ada petunjung penting yang dapat membantunya mendapat jawaban di pikirannya itu.
“Ibu tadi kok kelihatan marah-marah itu kenapa, ya, Bu Naomi?”
Update: July 15, 2023

KAMU SEDANG MEMBACA
Agentif Agitatif
General FictionAyusya Naomi, wanita muda yang dipindahtugaskan ke daerah terpencil. Awalnya dia merasa biasa saja. Namun, begitu menuju tahun terakhir, kejanggalan muncul di sekitar Naomi. Dia berusaha sekuat tenaga untuk memperjuangkan hak seorang anak. Namun, ta...