Wali Kelas

5 3 11
                                    

Hampir satu tahun Naomi bertahan menjadi pengajar di kelas sembilan. Sesekali wanita itu merasa keanehan dengan obrolan anak didiknya tentang rencana pernikahan. Bahkan meskipun Naomi terkadang juga lewat bersama Gatta, tapi pria itu juga tak bereaksi apa pun, padahal jelas sekali dia juga mendengar obrolan yang selalu dibahas tiap hari di jam-jam tak ada guru.

Kali ini, Naomi yang biasanya berjalan-jalan di lorong untuk menuju perpustakaan gara-gara murid-murid belum jadwalnya masuk, terpaksa mengalihkan haluan menjadi ke ruang wakil kepala sekolah bagian kurikulum. Entah untuk apa lagi. Namun, firasat Naomi sedikit tak enak. Bahkan hingga Naomi masuk ruangan pun, firasat wanita itu makin memburuk.

“Begini, Bu Naomi.” Sang wakil kepala sekolah seketika mulai menjelaskan begitu Naomi menanyakan niatnya memanggil wanita itu. “Tahun lalu kan, banyak guru-guru yang keluar. Kebetulan sebagian besar dari mereka adalah wali kelas. Lalu, saya memang sudah menunjuk beberapa guru, tapi ternyata masing kurang satu karena ada satu guru yang mengundurkan diri dari wali kelas. Nah, kebetulan Ibu Naomi ini kan, orangnya telaten. Mau apa tidak, Bu, menjadi wali kelas?” jelas wanita di depan Naomi itu.

Dahi Naomi seketika berkerut. “Apa tidak masalah, Bu? Bukankah masih ada guru yang lebih lama dari saya? Misalnya Pak Gatta?” tolak Naomi dengan halus. Dia sedikit sungkan terhadap guru-guru lain yang lebih lama darinya jika langsung menerima tawaran tersebut. Apalagi, tanggung jawabnya lebih besar.

Tampak wanita di depan Naomi menghela napas. “Hampir semuanya sudah merangkap. Ibu tahu sendiri kalau kita kekurangan tenaga di bagian TU, perpustakaan, dan BK. Jika dari guru-guru yang belum merangkap, tersisa Ibu yang paling lama berada di sini. Apa Ibu tidak bisa menerimanya? Kelasnya nanti di kelas sembilan A, kok.” Wanita tersebut masih berusaha membujuk Naomi dengan segala jurusnya.

Sementara Naomi, dia tersenyum. Bukannya kelas A selalu jadi kelas unggulan, ya? Bisa apa enggak aku nanti? batin Naomi yang tampaknya cukup menderita dilema. Antara setuju dan terpaksa mengurus kelas unggulan, atau menolak dan merekomendasikan guru lainnya. Hingga akhirnya, Naomi luluh dari kebisuan sang wakil kepala sekolah. “Baiklah, saya mau, Bu.” Dengan terpaksa, Naomi menerimanya.

Dia lantas pamit keluar begitu sang wakil kepala sekolah tampak berkutat dengan laptop di meja. Begitu mendapat persetujuan, Naomi langsung bergerak keluar ruangan. Namun, tepat sebelum Naomi menutup pintu ruangan tersebut, tiba-tiba sang wakil kepala sekolah memanggilnya lagi. Refleks, Naomi menghentikan gerakannya dan menatap ke arah wanita yang tengah asik duduk itu.

“Saya dengar Ibu makin dekat dengan Pak Gatta, ya? Hati-hati, ya, Bu. Pak Gatta itu sudah punya istri. Saya khawatir Ibu terkena skandal yang kurang enak didengar nantinya,” ujar sang wakil kepala sekolah dengan santainya tanpa menatap ke arah Naomi. Wanita itu bahkan tetap menggerak-gerakkan jarinya di atas keyboard laptop selagi berbicara.

Sementara Naomi, dia langsung tersentak. “Ah, baik, Bu.” Lantas setelahnya, wanita itu benar-benar menutup pintu ruangan tersebut. Selama melangkah menuju perpustakaan seperti biasa, pikiran Naomi sedikit terganggu dengan kenyataan bahwa Gatta yang tak pernah bercanda menggunakan dalih keluarga, ternyata memiliki seorang istri. Namun, yang lebih mengganggu dirinya adalah dia yang harus menjadi wali kelas dari kelas unggulan. Aih, bagaimana bisa aku malah menerimanya, ya? Memang deh, wakasek kurikulum itu, batin Naomi penuh kelesuan.

“Bu Ayusya!”

Teriakan seseorang yang langsung diketahui siapa yang memanggil. Langsung saja Naomi membalikkan badan sambil tersenyum menatap Gatta, orang yang memanggilnya tadi. “Padahal panggilan saya, Naomi. Kan, tidak enak jadinya, Pak, menjadi satu-satunya yang memanggil saya dengan nama depan,” ucap Naomi begitu Gatta berhenti melangkah.

Agentif AgitatifTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang