Setelah cukup lama menyusuri jalan lurus dengan sekali belokan, Naomi akhirnya menemukan keberadaan sebuah bangunan yang memiliki ciri-ciri persis sesuai perkataan Mutia. Sontak wanita itu menghentikan laju motornya begitu dirasa telah berjarak tiga rumah, mengingat bahwa bangunan tersebut berada di bagian tepi kumpulan bangunan lainnya.
“Sudah sampai, Mutia.” Sedikit melirik ke arah siswi yang tengah membonceng di belakang. Menyunggingkan senyum tipis tatkala siswi tersebut tampak menunjukkan raut terkejut. Dia bahkan dapat melihat ekspresi yang lebih lucu dari sang siswi. Ekspresi panik seakan habis melakukan kesalahan kecil.
“Kenapa Ibu berhenti sedekat ini? Tadi saya kan, sudah bilang kalau lebih jauh dari ini.”
Naomi terdiam. Meskipun senyum tipis tadi tak terlihat, tapi wanita itu ikut menghapus senyuman tersebut. Memikirkan jawaban yang tepat. Hingga akhirnya, wanita itu memaksakan senyumnya. “Begitukah? Ibu minta maaf kalau begitu.”
Dari spion, tampak raut kesal terpancar dari wajah Mutia. Namun, gadis itu malah menghela napas. “Tidak perlu, Bu. Nanti Ibu yang susah pulangnya.” Kemudian, dia turun sembari memberi salam.
Mengangguk singkat. Masih berusaha agar terlihat paham akan maksud Mutia. “Benar, nih? Kamu tidak masalah cuma diantar sampai sini?” tanya Naomi memastikan. Dia tak tahan. Padahal dia berniat mengantar, tapi pada akhirnya masih membuat penumpangnya berjalan beberapa meter untuk mencapai rumah.
Mata Naomi, merekam Mutia yang mengangguk semangat. Kemudian dia berlari menuju rumahnya tanpa menatap ke belakang. Manis. Satu kata yang terlintas di kepala wanita itu tatkala memperhatikan aksi Mutia.
“Hei, sepertinya kita kedatangan tamu tak diundang, nih?”
Sontak lamunan Naomi seketika buyar mendengar suara serak khas seorang laki-laki. Apalagi, suara itu terdengar dari samping Naomi. Membuat wanita itu seketika memalingkan kepala.
Memang benar ada laki-laki yang entah dari mana datangnya, berdiri dengan berkacak pinggang. Bahkan, tak hanya satu. Jika Naomi hitung, segerombol laki-laki itu berjumlah lima orang. Sebagian besar tampak hanya menunjukkan kesangarannya. Namun, ada dua yang sampai membawa tongkat dari potongan bambu.
Di sela-sela Naomi berpikir, terdengar teriakan dari arah Mutia pergi. Memaksa Naomi kembali mengalihkan perhatian ke tempat Mutia tadi. Namun, begitu menyadarinya, mata Naomi seketika membulat. Dia melihat, Mutia yang ditarik seorang perempuan —yang kelihatan seumuran dengan Naomi—memasuki rumah dengan paksaan.
Tanpa pikir panjang, Naomi langsung mematikan mesin kendaraannya dan memasang besi penahan. Lalu, bergerak keluar ke sisi kanan. Sayangnya, gerakan wanita itu terhenti dengan sebuah tangan yang menyentuh pundak kanannya. Terpaksa, wanita itu kembali menatap ke arah gerombolan lelaki tersebut.
“Ini bukan urusanmu, Bu Guru.” Mendadak, Naomi merasakan dorongan di pundak yang disentuh. Membuat wanita itu terpaksa kembali duduk di atas motor. “Jadi, lebih baik Anda pergi dari sini sekarang.”
Mata wanita itu menyipit. “Apa maksudmu? Dia murid saya, bagaimana bisa dia bukan urusan saya?” Naomi tak habis pikir dengan perkataan pria yang terang-terangan menyebutnya “Bu Guru” itu.
Tampak laki-laki itu yang malah menyeringai. “Bu Guru benar-benar tidak tahu, ya? Setahun lagi anak itu akan dinikahkan dengan ‘teman dekat’ Bu Guru. Jadi, jangan usik anak itu lagi.” Tanpa permisi, pria itu langsung menaikkan besi penopang motor Naomi. Nyaris limbung, tapi berhasil ditahan Naomi. “Lebih baik Bu Guru pergi sekarang, sebelum saya berubah pikiran dengan membuat Bu Guru tidak bisa memikirkan materi untuk hari esok?”
Tanpa sadar wanita itu merapatkan bibir. Ingin rasa membalas dengan melayangkan benda keras. Namun, demi wibawa seorang contoh yang baik, dia harus menahannya. Terlebih firasat perempuan itu mengatakan bahwa akan ada hal buruk bila terus di sana setelah menatap seringai laki-laki itu, membuat Naomi makin kesal.
Dengan kasar, wanita itu menepis kasar tangan yang masih bertengger di bahu. “Tanpa disuruh pun, saya memang mau pergi.” Lalu, memasukkan gasnya hingga membuat motor tersebut berjalan dengan diiringi gelak tawa para laki-laki tersebut.
•••
Hari petang dan Naomi baru berhasil merebahkan diri di atas sofa reot ruang tamu. Berbagai asumsi berseliweran di kepala wanita itu. Bahkan, sampai membuatnya menghela napas berkali-kali.
Hingga akhirnya, wanita itu kembali mendudukkan diri. Meletakkan dahi di atas rapatan jari-jari tangan, lalu menerawang lantai yang berbahan dasar semen itu. Katanya teman dekatku, ya? Aku tidak menyangka bahwa Pak Gatta benar-benar berniat menikah lagi! Kukira saat itu dia menelepon keluarga istri sahnya, tapi ternyata calon istrinya? Benar-benar di luar dugaan, batin Naomi.
Wanita itu lantas mengambil gelas yang tersaji di meja. Meminumnya secara perlahan, lalu menahan gelas tersebut dengan kedua tangan. Lalu apa kata mereka? Satu tahun lagi Mutia akan menikah dengan Pak Gatta yang jelas-jelas perbedaan umurnya sangat jauh itu? Bisa-bisanya Pak Gatta setuju melakukan pernikahan dini, pikirnya. Menghela napas sejenak, kemudian tersenyum kecut sambil bergumam, “Padahal kupikir dia termasuk guru yang bisa dipercaya, tapi sepertinya aku memang harus menjauhinya, ya? Ternyata dia sama saja dengan guru laki-laki lain.”
Kembali wanita itu menghela napas sejenak. Menenangkan pikirannya yang teramat kusut dengan kesimpulan mandirinya itu. Lalu, tiba-tiba Naomi tertawa. Mula-mula tawa kecil, kemudian menjadi tawa terkekeh-kekeh. Bahkan sampai mengacak sebagian rambut sepunggungnya itu.
Sambil kembali merebahkan diri di atas sofa reot, dia juga tersenyum. “Benar juga, Ibu kan, pernah bilang untuk tidak langsung percaya dengan para laki-laki di desa. Bagaimana bisa aku melupakan hal itu?” gumam Naomi.
Baru saja wanita itu berniat memejamkan mata. Terdengar suara pesan masuk dari orang terpentingnya. Membuat Naomi terpaksa mendudukkan diri, lalu membaca pesan dari ponsel yang tergeletak di atas meja.
[Naomi anakku, bagaimana progres dalam memberantas pernikahan dini? Apa kamu sudah dapat bukti di sana? Lalu, apa kamu butuh bantuan ibu? Kalau butuh, katakan saja, nanti ibu kirim relawan lain untuk membantumu.]
Satu pesan panjang dari pengirim yang dinamai “Ibu” oleh Naomi, membuat wanita itu seketika menghela napas. Padahal yang dia tahu, ibunya hanya anggota di organisasi sosial itu, tapi di pesan tersebut malah terkesan orang yang berkuasa. Sontak wanita itu mengetikkan sesuatu di atas layar ponselnya.
[Memangnya itu bisa dilakukan dalam waktu dekat, Bu? Kuota guru sekarang tersisa guru SD dan letaknya jauh dari desa tempatku tinggal, lalu bukankah hampir semua relawan dikirim ke berbagai daerah? Saat ini aku sedang mengumpulkan informasi dan menunggu kesempatan, Bu.]
Pesan itu akhirnya terkirim. Tanpa menunggu balasan, Naomi langsung keluar dari aplikasi berbagi pesan tersebut dan membuka aplikasi penyimpan foto. Menatap foto kumpulan anggota organisasi sosial yang sayangnya di sana hanya ada sang Ibu.
Senyum getir tercetak jelas. “Dua peristiwa menyedihkan dalam satu waktu. Aku yang mengetahui fakta penting tentang Mutia dan Pak Gatta, lalu Ibu yang mengingatkanku dengan foto ini. Padahal katanya aku juga anggota organisasi ini, tapi malah mendapat diskriminasi,” gumam Naomi.
Akhirnya, wanita itu meletakkan kembali ponselnya. Mengambil gelas, lalu berdiri menuju wadah air rebusan. Sembari menuangkan air rebusan tersebut ke dalam gelas, dia kembali berpikir, Waktu yang tepat, ya? Sepertinya aku benar-benar harus berdiam diri sampai tengah semester. Berbahaya jika aku mengandalkan ibu wakasek.
Update: July 12, 2023

KAMU SEDANG MEMBACA
Agentif Agitatif
Aktuelle LiteraturAyusya Naomi, wanita muda yang dipindahtugaskan ke daerah terpencil. Awalnya dia merasa biasa saja. Namun, begitu menuju tahun terakhir, kejanggalan muncul di sekitar Naomi. Dia berusaha sekuat tenaga untuk memperjuangkan hak seorang anak. Namun, ta...