“Baiklah, apakah ada yang ingin ditanyakan dari materi hari ini?” tanya Naomi dengan membalikkan badan. Hari ini, bukan anak kelas A yang ada di depannya, melainkan anak kelas lain yang juga diajar oleh wanita itu. Namun, Naomi rasa, sifat anak-anak di depannya malah tampak lebih baik dibanding anak didiknya itu. Aku bingung apa yang membuat anak didikku malah lebih lesu, apa karena aku sendiri? batin Naomi.
Akhirnya, muncul satu anak yang menaikkan satu tangannya. Membuat Naomi yang awalnya memikirkan segala perbandingan, menjadi fokus pada anak itu. Meskipun begitu, anak yang mengangkat tangannya malah anak laki-laki. “Jamnya sudah mau habis, Bu.”
Ah, setengah hari belum terlewat, tapi mood Naomi hilang seketika. Terlanjur berharap mendapat pertanyaan bagus, tapi tampaknya wanita itu hanya dapat pernyataan. “Benarkah? Kalau begitu ibu tulis latihan soal, kerjakan, lalu kumpulkan hari ini juga.” Lantas, tanpa melirik pada jam yang melingkar di pergelangan tangan, Naomi langsung menuliskan sepuluh soal yang sama dengan kelas sebelumnya. Kemudian, dia membereskan buku dan pamit keluar begitu saja.
Akan tetapi, baru juga Naomi melangkah keluar, dia malah berpapasan dengan Gatta yang berjalan di lorong sambil melakukan sambungan telepon. Kebetulan sekali pandangan mereka saling bertemu, membuat Naomi dapat menyaksikan Gatta yang mengangguk dan tanpa sadar dia membalas anggukan itu.
“Bagaimana keadaan istri saya?” tanya Gatta yang tampak kembali fokus dengan sambungan telepon. Bahkan pria itu sampai melewati Naomi begitu saja.
Sementara Naomi yang dilewati tanpa diajak bicara, entah mengapa malah memandang Gatta mengikuti arah langkah pria itu. “Syukurlah. Nanti kalau sudah hari libur, saya bisa melihatnya, ‘kan? Tidak masalah jika dia belum ingat saya.” Masih terdengar jelas di telinga Naomi. Mengingat bahwa Gatta berbicara tak jauh darinya.
Akan tetapi, pembicaraan selanjutnya tak terdengar di telinga Naomi. Lantas, wanita itu berbelok dan melangkah ke arah yang berlawanan. Namun, lagi-lagi perasaan wanita itu terasa ambigu. Seperti, lega karena candaan muridnya itu salah, tapi juga kesal karena dugaannya salah. Sebenarnya ada apa denganku? Sejak bertemu Pak Gatta, rasanya perasaanku menjadi berubah-ubah. Sepertinya mulai hari ini aku harus lebih menjauhi Pak Gatta, batin Naomi yang mendadak mempercepat langkahnya.
•••
“Bu Naomi sudah mau pulang?” tanya guru yang memang duduk di depan Naomi.
Naomi yang sebelumnya asyik merapikan buku-bukunya pun, seketika menghentikan aktivitas tersebut dan menatap pada sang guru yang tengah berdiri menghadap padanya. Naomi lantas tersenyum. “Iya, Bu Niki. Kebetulan sudah selesai semua yang perlu saya nilai,” jawab wanita itu seadanya.
Tampak Niki—sang guru yang mengajak Naomi bicara—menghela napas. “Yah, saya kira bakal dapat teman lembur. Sepertinya gagal, nih,” ucap Niki dengan nada yang terdengar bercanda.
Tawa kecil pun keluar dari mulut Naomi. Sembari mengangkat tas bawaannya, wanita itu berkata, “Kapan-kapan saya temani lembur, Bu Niki.”
“Boleh, tuh.” Sejenak, Niki menghentikan ucapannya. Tiba-tiba wanita itu menatap sekeliling hingga membuat Naomi yang memperhatikannya menjadi menunjukkan raut heran. Lantas, setelahnya Niki sedikit mendekati Naomi dengan tangan yang menutupi bagian mulut dan berbisik, “Apa Ibu tidak sadar kalau banyak guru-guru yang lain sudah buat kelompok sendiri? Tidak ada yang mau bersama Ibu, saya khawatir kalau nanti Ibu ketinggalan informasi karena katanya informasinya bakal dikabarkan lewat kelompok sosial media.” Kemudian, wanita itu kembali menjauh ke tempat semula.
Sayangnya, Naomi malah menunjukkan ekspesi tenang, seakan bukan masalah besar. “Tidak masalah, saya bisa cari informasi sendiri nanti,” jawab Naomi. Lagi-lagi Naomi tersenyum. “Kalau begitu, saya pamit dulu, ya, Bu?” Tepat setelah mendapat respons dari Niki, Naomi seketika melangkahkan kakinya. Pergi menuju pintu keluar, membiarkan Niki yang sebenarnya tak sendirian mengingat masih ada beberapa tas lagi di ruangan tersebut.
•••
Begitu Naomi berhasil sampai di tempat motornya terparkir, wanita itu lantas meletakkan tasnya pada gantungan motor, lalu memutar kunci motor hingga membuat benda itu berbunyi. Dia pun memundurkan motornya dan menaiki benda itu. Namun, tepat sebelum wanita itu menarik gas kendaraannya, matanya tersadar akan kehadiran seseorang siswi yang malah menatap hutan dari balik pagar besi.
Seingatku dia Mutia, kenapa jam segini masih belum pulang, ya? Padahal murid-murid lain sudah pulang, batin Naomi. Sontak dia pun mematikan mesin motornya kembali. Lalu, berteriak, “Mutia!”
Untungnya, siswi yang ternyata memang benar Mutia langsung membalikkan badan. Namun, siswi itu tampak menatap dengan tatapn takut hingga membuat Naomi heran. Sejenak Naomi lupakan keanehan Mutia tersebut. Dia mengayunkan tangan tanda meminta mendekat. Lagi-lagi Naomi cukup beruntung dengan kepekaan Mutia yang langsung mendekat, meskipun tampak ragu-ragu melakukannya.
“Kok belum pulang kenapa? Belum dijemput?” Naomi hanya dapat menduga. Apalagi wanita itu menyadari keberadaan tas ransel yang telah menggantung sempurnya di punggung Mutia. Sayangnya, Naomi tak mendapat respons sedikit pun dari siswi di depannya. Mau tak mau Naomi kembali mengutarakan pertanyaannya. “Apa mau ibu antar?”
Ah, padahal cuma pertanyaan sederhana, tapi Mutia malah memperlihatkan gestur bahwa dia tampak terkejut. Seperti tak percaya. Lantas, siswi itu tampak menunduk sambil berkata, “Tapi nanti Ibu bisa kena sial.” Sedikit berbisik, tapi masih dapat terdengar di telinga Naomi.
Seketika Naomi menghela napas. “Kalau nanti seperti itu, ibu malah lebih tidak tahan jika kamu pulang sendiri nanti.” Entah apa yang sebenarnya diperingatkan anak itu. Akan tetapi, Naomi tak terlalu memikirkannya. Menurutnya, selama berada di jalan ramai, bahaya dapat diminimalisir. “Bukannya lebih enak pulang bersama daripada sendirian? Setidaknya, kalau katamu nanti kena sial, kan bisa saling bantu.”
Masih senyap. Mutia tampak berpikir hingga tak kunjung memberikan jawaban. “Bagaimana? Kebetulan ibu punya alat pencegahan juga.” Dengan sedikit pancingan dari Naomi, siswi tersebut akhirnya mengangguk. Lantas tanpa menunggu waktu terlalu lama, Naomi dapat merasakan beban baru di jok motornya. Meskipun tatkala wanita itu melihat melalui spion, raut mukanya masih tak menunjukkan kelegaan.
Kali ini Naomi mencoba untuk mendiamkannya. Dia kembali menyalakan, lalu mengendarai motornya keluar halaman parkir, melewati lapangan, dan akhirnya memasuki jalan raya sederhana setelah melewati gerbang sekolah. Dengan kecepatan sedang, Naomi berkendara di jalanan yang tampak lengang tersebut.
Sesekali wanita itu melirik pada penumpang di belakang. Masih senyap, bahkan kini malah tak menatap ke arah Naomi sama sekali. “Rumahmu di desa ini, ‘kan? Sebelah mana?” tanya Naomi yang akhirnya tak tahan dengan kesenyapan, apalagi di depannya masih berupa jalan lurus.
“Ibu jalan lurus saja, nanti bertemu satu-satunya rumah beratap daun. Kalau sudah menemukan, nanti tolong Ibu berhenti di kejauhan, takutnya malah terjadi sesuatu dengan Ibu.” Tampaknya Mutia masih tak mempercayai Naomi. Sayangnya, Naomi tak ingin menanyakan alasannya. Wanita itu lebih asyik untuk memastikan bahwa bentuk rumah yang dimaksud tak akan terlewat.
Update: July 10, 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Agentif Agitatif
General FictionAyusya Naomi, wanita muda yang dipindahtugaskan ke daerah terpencil. Awalnya dia merasa biasa saja. Namun, begitu menuju tahun terakhir, kejanggalan muncul di sekitar Naomi. Dia berusaha sekuat tenaga untuk memperjuangkan hak seorang anak. Namun, ta...