Setelah cukup lama bernegosiasi, sang wakil kepala sekolah akhirnya menganggukkan kepala. Sontak rona senang berangsur muncul di wajah Naomi. Tampaknya, Naomi merasa senang karena berhasil melembutkan kealotan hati sang wakil kepala sekolah. “Jadi, bagaimana, Bu?” tanya Naomi mencoba memastikan.
“Saya setuju, Bu. Nanti saya minta ke BK untuk tidak menyetak peringkat paralelnya di mading.” Jawaban sederhana. Namun, terasa membuat hati Naomi lega.
“Terima kasih. Saya izin keluar dulu, Bu. Kebetulan sebentar lagi jadwal saya mengajar.” Begitu mendapat persetujuan, Naomi pun keluar begitu saja. Tentu dia juga menutup pintu ruangan tersebut seperti sedia kala.
Dengan langkah ringan, Naomi mengambil buku di ruang guru. Lalu, dia langsung melanjutkan langkah menuju kelas yang sempat membuatnya kesal sebelumnya. Tampaknya Naomi terlalu senang, hingga dia hanya menyapa sebentar dengan guru yang ada di dalam ruangan.
“Sepertinya ada kabar baik, ya, Bu? Apa karena Ibu bisa mengubah keputusan wakasek?” tanya seorang pria yang tiba-tiba berjalan berdampingan dengan nada yang sedikit menusuk.
Naomi yang menyadari maksud pertanyaan tersebut seketika menatap tajam ke arah lawan bicaranya. “Memangnya ada masalah apa, Pak Gatta si guru BK? Saya rasa permintaan dari Ibu wakasek bukan masalah yang rumit.” Sedikit kesal dengan sikap Gatta. Ingin rasanya Naomi melangkah lebih cepat agar bisa segera menuju kelasnya dan menghindari Gatta yang hari ini seperti tak suka dengan keputusannya.
Tampak Gatta menghela napas. “Percuma, Bu. Itu tidak akan memotivasi para siswi, yang ada orang tua para siswi makin mendesak wali kelas. Kenapa tidak Ibu turunkan saja nilainya? Menurut saya, itu lebih membantu siswi kemarin daripada susah-susah seperti ini, ‘kan?” Masih dengan nada yang menusuk, tapi kali ini dia mengutarakan pendapat yang terdengar berlawanan dengan pendapat Naomi.
Sementara Naomi, dia hanya terdiam sembari tetap melangkah. Hingga begitu wanita itu menyadari bahwa kelasnya hampir sampai, dia akhirnya membuka mulut. “Tapi tetap saja, keputusan saya seperti ini. Bukankah semua orang punya keputusan masing-masing, Pak?” Dengan tersenyum tipis, Naomi menjawab demikian. Lalu, dia melangkah kian mendekati dinding. “Sudah waktunya saya mengajar, Pak. Saya duluan, ya.” Tanpa menatap pada lawan bicara, wanita itu masuk kelas begitu saja.
Gatta yang ditinggal begitu saja, terpaksa hanya merespon dengan balasan “Ya, baiklah”. Kemudian, pria itu melanjutkan langkah menuju kelas yang kali ini berada di ujung. Meskipun begitu, hatinya terus terasa tak tenang setelah mendengar respon dari Naomi. Saya khawatir Ibu terkena masalah terlalu jauh di desa ini. Semoga saja itu tidak terjadi, batin Gatta.
Kembali pada Naomi yang saat ini telah mendudukkan diri di atas kursi. Sembari mendata siapa saja yang hadir, wanita itu juga memperhatikan satu per satu muridnya yang tampak menatapnya dengan tatapan bingung. “Kenapa menatap saya seperti itu?” Naomi tak tahan, dia pun mengutarakan pertanyaannya setelah mendata satu kelas yang sayangnya hanya berjumlah 20-an.
“Tumben Ibu enggak ngobrol dulu bareng Pak Gatta. Biasanya kalau ketemu bakal ngobrol lama dulu, tuh, Bu.” Akhirnya, salah satu siswa yang duduk di depan Naomi mengutarakan keanehan yang dimaksud.
Tentu Naomi merasa heran akan hal-hal yang malah menjadi perhatian anak didiknya. Namun, Naomi yang baru membuka mulutnya, terpotong oleh sahutan dari pojok depan satunya. “Kan Bu Naomi bilang kalau enggak tertarik sama Pak Gatta. Lagian, kalian gak sadar sejak lama Bu Naomi udah pakai cincin?”
Sontak Naomi langsung melirik tangan kirinya. Memang ada cincin yang melingkar di jari manisnya. “Ini cincin dari Ibu saya, bukan dari suami Ibu, kok,” jawab Naomi santai. Menurutnya, hal itu bukan masalah penting. Namun, begitu melihat ekspresi anak didiknya, entah mengapa wanita itu kembali merasa heran.
“Dari ibunya Ibu? Kok aneh banget, Bu? Soalnya, cincinnya mirip sama punya Pak Gatta.” Mendengar perkataan anak didiknya yang duduk di pojok depan sana, membuat Naomi seketika memikirkan perkataan Gatta tentang istrinya. Namun, tepat sebelum wanita itu makin jauh memikirkannya, rasa sakit di kepala terpaksa membuat Naomi menghentikan keinginan untuk lanjut menerka-nerka.
“Sepertinya kalian suka sekali dengan masalah rumah tangga, ya? Memangnya habis lulus, kalian bakal langsung menikah?” tanya Naomi dengan sedikit candaan. Namun, balasan yang terjadi bukan sesuatu yang diharapkan wanita itu. Hampir semua yang ada di dalam kelas, mengiyakan candaan Naomi. Hanya beberapa murid pendiam yang tidak mengiyakan.
“Padahal lulus SMP, terus langsung menikah itu tidak seru.” Sembari mengambil sebuah kapur, wanita itu ikut berdiri. Lalu, dia melangkah ke sisi kiri papan tulis. “Kalian kan, jadi tidak bisa merasakan seperti apa rusuhnya masa-masa SMA. Seperti bagaimana susahnya mendapat hati guru, jalan-jalan sambil belajar bersama, atau sibuknya kerja kelompok waktu mendekati tenggat pengumpulan tugas.”
Lantas, Naomi mencoret-coret papan tulis dengan angka-angka serta sedikit tulisan. “Nah, nah, daripada memikirkan tentang pernikahan, bagaimana jika kita memikirkan tentang eksponen sekarang?” Naomi melirik sejenak. Hampir semua murid fokus padanya. “Dari soal kemarin, kalian kesulitan di bagian pengurangan, perkalian, dan pembagian saat menggunakan koefisien di depan variabel. Kalau begitu, akan ibu jelaskan bagian itu saja.”
•••
Tanpa sadar, lonceng tanda pulang sekolah telah dibunyikan seseorang. Namun, lagi-lagi Naomi masih fokus berkutat dengan kumpulan buku yang ada di sana. Hari ini bukan dua kelas, malah menjadi empat kelas. Untungnya, wanita itu hampir menyelesaikan koreksiannya.
“Bu Naomi kok rajin banget, enggak capek pulang telat dua hari ini?”
Tiba-tiba, seorang wanita yang duduk di depan Naomi berceletuk. Sontak Naomi membalas dengan mengangkat kepala serta menyunggingkan senyum manisnya. “Tidak, kok, Bu. Saya malah tidak bisa tidur kalau koreksian seperti ini belum selesai hari ini.”
“Ya sudah, saya pulang dulu. Hati-hati pulangnya nanti, ya?” Mendapat pertanyaan seperti itu, membuat Naomi seketika menganggukkan kepala. Kemudian, tatkala melihat wanita di depan Naomi tadi pergi, wanita itu kembali berkutat dengan kumpulan buku yang sebentar lagi tuntas.
Hingga begitu suasana di sekolah tersebut senyap, Naomi baru menyelesaikan pekerjaannya. Lantas, wanita itu merapikan semua buku yang berantakan di atas meja, lalu melangkah pergi sembari menenteng sebuah tas. Terasa sedikit lelah. Namun, wanita itu tampak menikmatinya.
Hanya saja, tepat sebelum wanita itu melangkah menuju parkiran, Naomi merasa heran dengan keberadaan siswi yang kemarin diobati olehnya, malah duduk di depan teras ruang guru. “Ada apa, Nak?” tanya Naomi sembari ikut duduk.
Tampak siswi itu memainkan jari-jari di kedua tangan dengan tetap menunduk. “Nama saya Mutia, Bu.”
Sebelah alis Naomi terangkat. “Hanya mau bilang itu, Mutia?” Yah, dia merasa, mana mungkin seseorang terus menunggu hanya untuk satu hal? Sepertinya, ada hal lain yang tak bisa ditunda.
“Anu, apa yang Ibu katakan tadi tentang masa SMA itu, semuanya benar?” bisik Mutia.
Sontak Naomi tersenyum. “Yah, memang benar, sih. Apalagi kalau di SMA kamu jadi siswi terpintar, bisa terkenal dan diikutkan berbagai lomba agar kamu lancar kuliahnya.” Mendadak, wanita itu terpikirkan akan rencana yang sempat dia diskusikan dengan wakil kepala sekolah tadi. “Ah, iya, Mutia. Kalau kamu takut ketahuan ibumu tentang peringkat paralel, kabarnya mulai semester ini peringkatnya tidak akan dipajang, loh. Hanya baru diberi tahu setelah ditanyakan.”
Tepat setelah Naomi selesai menjelaskan, dia dapat melihat wajah Mutia yang menatap ke arahnya. Namun, bukan senyum gembira yang ditunjukkan, malah senyum getir yang membuat Naomi makin penasaran. “Ternyata Ibu masih belum mengetahui masalah di desa ini.” Lantas, tanpa menjelaskan lebih lanjut, siswi itu berlari meninggalkan Naomi yang kepalanya kembali dipenuhi dengan kebingungan.
“Sebenarnya misteri apa yang tidak kuketahui di desa ini?”
Update: July 7, 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Agentif Agitatif
General FictionAyusya Naomi, wanita muda yang dipindahtugaskan ke daerah terpencil. Awalnya dia merasa biasa saja. Namun, begitu menuju tahun terakhir, kejanggalan muncul di sekitar Naomi. Dia berusaha sekuat tenaga untuk memperjuangkan hak seorang anak. Namun, ta...