Prologue

528 74 7
                                    

Keluargaku miskin.

Apalagi kami tinggal di Provinsi Dandami yang mana biaya hidup sangat tinggi merujuk mata pencaharian di sini mayoritas pekerja instansi. Bahkan aku tidak ingat kapan terakhir kali makan makanan sehat karena harus banting tulang mengumpulkan uang guna membayar sewa apartemen yang kami tinggali.

Sebenarnya Ibu sudah berencana untuk pindah ke Provinsi Hega, namun kami tak punya cukup uang mewujudkannya. Selain kebutuhan primer, Ibu juga harus memikirkan SPP-ku.

Penghasilan Ayah juga naik-turun akibat kebijakan Perdana Menteri Kelan meniadakan upah lembur membuat beliau harus bekerja di lima tempat sekaligus supaya tidak menunggak uang sewa. Hasilnya, Ayah meninggal karena menderita anemia berat.

Hidup kami takkan melarat seperti ini jika pamanku yang super brengsek tidak menjual rumah besar yang telah diwariskan oleh kakek dan nenekku ke orangtuaku. Hasil penjualan dia raup seorang diri lalu pergi meninggalkan Tora, terbang ke Australia.

"Ibu, apa aku boleh ikut program Sistem Poin?"

Sistem Poin adalah kegiatan tambahan pendapatan hasil kolaborasi pemerintah dan kerajaan. Ibuku sekarang menafkahi kami berdua dengan menjadi pengajar relawan di sebuah Semenat (sekolah menengah atas) dan mulai menabung poin.

Aku kasihan dengan ibu. Aku harus membantunya meringankan pengeluaran kami per bulan.

"Kau masih enam tahun. Jangan berpikir yang aneh-aneh dan fokus pada pekerjaan sekolahmu saja. Ibu akan telat pulang hari ini. Jaga rumah."

Begitulah hubunganku dengan Ibu setelah kematian Ayah. Renggang. Beliau sibuk mencari uang tanpa mempedulikanku. Tapi, aku tidak bisa menyalahkan sikap dingin Ibu karena paham kondisi ekonomi kami sedang sulit. Aku akan berusaha memahami Ibu. Aku tidak mau menambah beban pikirannya.

Ngomong-ngomong aku belum memperkenalkan diriku dengan benar, ya? Namaku Eir Peaceful.

Aku pernah bertanya pada Ayah kenapa namaku feminin padahal aku cowok. Ayah menjawab begini: 'Waktu itu kami mendambakan anak perempuan dan sudah menyiapkan nama untuknya. Eh, tahunya yang lahir laki-laki. Jadi, biar Eir saja memakainya. Ayah tidak punya ide kalau harus buat nama lagi.'

Intinya Ayah tidak mau repot memikirkan nama untukku dan memutuskan menggunakan nama Eir.

"Apa kau sudah membuat jalan ceritanya, Eir?" Dia Hunju Haneke. Sahabatku.

"Kusarankan menambahkan genre romance di dalamnya." Ini Roas Raliah. Juga sahabatku.

Hunju memutar kepala, menatap Roas malas. Tatapannya itu seolah ingin mengatakan 'bagaimana mungkin kita mengerti cinta-cintaan sementara kita masih bocah piyik'. Bagus, bagus. Aku setuju dengannya.

Kami bertiga memiliki satu persamaan: berkhayal dunia yang disebut dunia sihir betulan nyata. Yah, maklumin saja. Kami kan masih anak kecil. Untuk mewujudkan khayalan yang kekanakan, kami pun membuat novel abal-abal dan dalam tahap world building.

Ngiung! Ngiung! Ngiung!

Aku, Hunju, dan Roas kompak menoleh. Satu mobil ambulans dan dua truk damkar melewati kami, menuju suatu tempat. Kami saling tatap.

Ya. Semuanya dimulai dari sana. Perasaan buruk menyapaku membuat kakiku bergerak mengejar ke mana arah truk damkar pergi. Tidak jauh. Damkar tersebut berhenti di Semenat Chemistal yang sesak oleh penyintas dan penduduk. Hawa panas menjamah pori-pori. Nyala api memakan seluruh gedung sekolah. Asap hitam membubung menuju langit malam.

"Masih banyak guru dan siswa terjebak di dalam! Kenapa kalian datang terlambat, hah?! KENAPA?"

Aku menatap kosong sekolah yang hangus terbakar. Sejak datang ke sini, aku tidak melihat sosok Ibu di perimeter penyintas. Jangan bilang Ibu sudah...

"NAK! JANGAN MELEWATI GARIS! BAHAYA!"

Raos dan Hunju menahan langkahku. "Eir, jangan. Berbahaya...," ucap mereka sambil terisak. Mereka tahu persis apa yang sedang aku rasakan sekarang.

"Ibu... Ibuku masih di sana. Aku harus... aku harus menyelamatkan Ibu...," racauku menepis pegangan mereka. Yang ada di pikiranku saat ini adalah Ibu. Beliau tidak ada di mana pun!

"Kuatkan hatimu, Eir." Mereka beralih memelukku yang terduduk lemas dengan air mata berjatuhan.

"Hanya Ibu... satu-satunya yang kumiliki..."

"Kami tahu. Tabah, Eir. Kau masih punya kami."

Aku pikir permainan takdir jahat yang menimpa keluargaku berhenti di kematian Ayah, ternyata permainannya masih berlanjut. Rasa sakit dan sedih merongrong hatiku. Padahal hubunganku sama Ibu belum membaik. Kenapa Ibu pergi secepat ini?

Mungkin ini kutukan dari Takdir Jahat padaku. Aku sepertinya tidak diperbolehkan bahagia. Tidak diizinkan mempunyai keluarga hangat. Ditakdirkan sebagai anak sebatang kara nan rentan celaka.

Lantas kenapa cerita ini masih dilanjutkan?

Tadinya aku sudah menyerah. Aku mengira kisahku berhenti di sini, tapi dugaanku meleset. Benar kata Ayah. Segala sesuatu bermula 'biasa' sebelum akhirnya menjadi 'penting'.

Sejak hari itu, aku bisa mendengar suara-suara aneh.


[END] Indigo HeroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang