Path-06

158 44 2
                                    

Ini benar-benar menakjubkan. Aku berlari dari sekolah menuju kota tanpa berhenti, tapi aku tidak merasa lelah sedikit pun. Tubuhku terasa sangat ringan. Menjadi pemburu roh seseru ini.

"800 meter ke kiri, Eir!"

Selama aku bergerak menuju lokasi roh jahat, Senya bilang mereka akan datang terlambat karena sulit bagi Keeper melintasi dimensi Real World. Mereka harus membeli 'tubuh manusia sementara' menggunakan utra yang mereka peroleh dari menangkap roh jahat, namun terkadang transaksi tersebut berlangsung lama.

Aku tak bisa membiarkan roh jahat berkeliaran di dunia manusia. Dia akan membunuh manusia dan memakan jiwanya. Mana mungkin aku hanya diam saat aku juga sudah jadi bagian Keeper.

Astaga! Segera aku mengerem kakiku agar berhenti berlari. Phew! Nyaris aku menabrak seorang pria yang terjatuh di rute lariku. Pria itu sepertinya terdorong oleh arus kerumunan.

Lho, ada apa ini ramai-ramai? Ada sembako?

Aku menatap gerombolan yang mendorong pria itu (mungkin mereka tidak melihat sosoknya). Mereka membawa papan, speaker, spanduk, dan semuanya mengenakan pakaian yang sama.

Ah, aku ingat. Terjadi demo dan mogok massal yang menjalar di seluruh bagian Melawa akibat tuntunan buruh pabrik tentang pemerataan upah tidak direspon baik oleh pemerintah.

Aku menelan ludah gugup. Bagaimana kalau roh jahatnya berada di dalam kancah keramaian? Dia pasti kenyang oleh jiwa orang hidup. Sial! Membayangkannya saja sudah bikin aku ngeri.

"Eir, kenapa kau berhenti di sana? Kau harus pergi 200 meter lagi ke arah jam sepuluh."

Duh! Ini bukan saatnya melamun. Aku bergegas melanjutkan langkahku. Semoga roh jahat itu belum memangsa seorang pun manusia...

Hawa dingin kutub Utara membelai kudukku. Sekali lagi, aku berhenti berlari. Aku tidak lupa perasaan merinding ini. Sebuah perbedaan yang kentara antara manusia dan makhluk halus.

"Tunggu dulu. Roh jahatnya berpindah!"

"Ya, Bibi Mikaf. Aku sudah merasakannya."

Membiarkan instingku menuntun langkahku, aku tiba di taman Melawa. Tidak, ini bukan taman pusat melainkan taman cabang yang sering dijadikan warga sebagai tempat untuk jogging pagi, kamping, dan piknik merujuk taman pusat sedang menggelar Festival Tebar Bunga.

Mataku memindai dari sudut ke sudut. Para pengunjung sibuk dengan aktivitas paginya masing-masing, sesekali menatapku bingung. Apa yang dilakukan murid sekolah di taman kota? Seharusnya mereka belajar di sekolah.

"Lihat deh. Ada yang berkelahi di bawah sana."

Aku menatap apa yang ditatap dua pengunjung yang berdiri tak jauh dari tempatku, melotot. Tampak pria beraura hitam mencekik seseorang yang memakai jubah robe. Mengeluarkan pisau.

"Hei, hei, apa dia mau membunuh?! Siapa pun, cepat hubungi polisi! Ini situasi darurat!"

"Tidak ada yang mau membantu pemuda itu?!"

Kalau harus menunggu kedatangan Attia dan yang lain, pemuda berjubah itu bisa lewat.

Aku mengatupkan rahang, menuruni undakan tangga beton dengan cepat dan... BUK! Saat roh jahat hendak mengayunkan pisaunya, dengan timing yang tepat aku menendang benda tajam itu. Alhasil pisaunya terpelanting jauh.

"AISH! Si brengsek siapa yang mengganggu makan pagiku?!" Dia menoleh bengis ke arahku yang memasang kuda-kuda. "Apa itu kau?"

Aku tidak menjawab. Terlalu banyak orang. Uhh. Apa yang harus kulakukan sekarang?

[END] Indigo HeroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang