Prolog

55 8 0
                                    

Angin berhembus kencang ketika seorang pemuda berjaket kulit berwarna hitam tersebut menaruh sebuket bunga di atas pusara di hadapannya.

"Hi, it's me again kak" Rayden Karel, sosok pemuda tersebut tersenyum tipis sembari menatap nanar batu nisan sang empunya.

"Kinda ridiculous to think that i showed up at here really often. Might you got bored" Ray terkekeh di akhir kalimatnya.

"So, how's going up there? or..down there?" Tanyanya melempar pertanyaan retoris.

"I've actually got something to tell you kak. This, you see this?" Ray membuka lembaran surat yang ia keluarkan dari dalam saku jaketnya. Lalu menunjukkan benda tersebut ke arah batu nisan seolah-olah sang kakak bisa membaca suratnya dari alam sana.

Itu adalah sebuah acceptance letter dari Decelis Academy.

"Mom and dad are worried something might happen to me as well if i actually went there. But, not to mention they're actually proud of me too since this school is like top tier in country like you said" Ray melipat kembali surat yang ia pegang kemudian memasukannya ke dalam saku jaket.

Pemuda bersurai hitam legam tersebut kemudian menghela nafas berat.

"Gue gak tau what actually happened to you at that time, but we'll figure it out. I'll figure it out kak, i promise" Ada sebuah penekanan dan rasa amarah di kalimat yang ia ucapkan. Benar, tak lazim justru apabila Ray selama ini dapat hidup dengan tenang dengan fakta bahwa kakaknya tidak mendapatkan keadilan. Bahkan ketika ia sudah dikembalikan ke bumi, tempat di mana ia berasal.

Sebuah nada dering terdengar, membuat Ray mengalihkan perhatiannya pada ponsel yang ia taruh di saku celana.

Kavin.

"Kenapa?" Tanya Ray menjawab panggilan temannya itu.

"Woi lo dimana? Gue sama Kavin ke rumah lo nih. Tapi kosong" Alih-alih sang empunya ponsel yang menjawab, Shaka bertanya dengan nada bicara yang cukup keras di sebrang sana.

"Gue lagi di luar. Ya lo pada ngapa gak ngabarin dulu sih elah? Iya ini gue otw balik" Ray beranjak dari posisi berjongkoknya sambil membersihkan lututnya yang sedikit kotor akibat tanah.

"Ok hati-hati lo" Jawab Shaka dan Kavin bersamaan. Kemudian panggilan pun terputus.

Ray kembali menatap pusara sang kakak dengan nanar sebelum ia kembali berujar,

"Aight, i think that's all for today. Ini temen-temen gue pada nungguin gue di rumah kak haha. So, goodbye i guess?" Ray tersenyum tipis sebelum ia memasang helm ke kepalanya dan berjalan menuju tempat di mana motornya terparkir.

Baru beberapa langkah, Ray terhenti di tempat. Netranya yang berada di balik helm full face yang ia kenakan memandang seseorang yang dirasa cukup familiar. Seorang lelaki jangkung menggunakan kacamata photocromic berjalan memasuki area pemakaman sembari membawa sebuket bunga.

Ray masih terpaku di tempat. Otaknya terus berpikir mengapa laki-laki yang ia tidak kenali itu tampak familiar dengan seseorang? Rasanya ia pernah melihat laki-laki tersebut di sebuah tempat, namun ia tidak bisa mengingatnya di mana.

Ting!

Sebuah notifikasi muncul di ponsel Ray. Pemuda tersebut kembali mengeluarkan ponselnya.

Shaka Samudra
Ray cepetan anjir gue kepanasan nungguin lo di depan. Not to mention gue juga blm sarapan, dan ini udah masuk lunch time ya anjir. CEPET.

Ray mendengus kesal. Persetan dengan apa yang ia lihat tadi, kini ia bertanya-tanya mengapa juga ia bisa berteman dengan seorang Shaka yang rewelnya minta ampun?

Checkmate - ENHYPENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang