Bukankah terjebak hujan hanya berdua dengan orang yang disukai sangatlah romantis? Ketika mata tidak benar-benar bisa melihat sekitar karena dipenuhi kabut, yang paling terlihat jelas hanya dia.
Juga tidak ada lagi suara yang bisa di dengar selain derasnya hujan dan detak jantungku sendiri.
Seketika, aku merasakan percikan air di wajahku. Awalnya sedikit, lama-lama semakin banyak hingga aku menyadari Gavin-lah pelakunya. Dia mengulurkan tangannya untuk menampung derasnya air hujan dengan telapak tangannya, kemudian melemparkannya ke arahku berkali-kali.
"Apaan, sih!" Aku menoleh ke lain arah sambil melindungi wajahku dari ulah jail Gavin yang tidak henti-hentinya.
Gavin terus menggodaku sambil tertawa semakin nyaring karena melihat ketidakberdayaanku.
Aku mulai terpancing. Kubalas perbuatannya dengan aksi serupa. Tanpa kusadari aku ikut tertawa ketika berkali-kali dia mencoba menepis tanganku hingga gagal membasahi wajahnya.
Kami bermain riang sekali seperti anak kecil. Tanpa terasa, rasa canggung yang sempat menyelimuti kami mendadak sirna perlahan demi perlahan.
Awalnya aku tidak menyadarinya, tapi gerakan Gavin yang berhenti tiba-tiba sambil tersenyum menatapku, memaksaku untuk menyadarinya.
"Udah lama banget kita nggak main kayak gini, ya?" ucapnya. "Dan, udah lama juga gue nggak lihat lo ketawa ceria kayak barusan!"
Tanganku melayang di bawah air hujan, mendadak terpaku di sana ketika Gavin menyadarkanku dengan kata-katanya barusan.
Aku sependapat. Aku merasa jadi sulit tertawa riang di depan Gavin ketika menyadari perasaanku kepadanya. Mungkin sejak lulus SMA hingga sekarang.
Aku juga merindukan saat-saat seperti itu. Saat-saat aku tidak terbebani dengan perasaanku sendiri. Ketika aku merasa Gavin adalah sahabat terbaik yang kupunya, sebelum harapan ingin menjadi lebih dari sekadar sahabat itu muncul dan merusak segalanya.
"Masih ingat dulu kita sering main hujan-hujanan waktu kecil?" tanya Gavin masih sambil tersenyum.
Akhirnya, kuturunkan tanganku dan membebaskan air yang kutampung tadi hingga bergabung dengan air hujan lainnya di bawah sana.
"Tentu aja ingat!" jawabku pasti. Bagiku itu adalah kenangan yang terindah semasa kecil.
Tanpa terasa keakraban kami kembali tercipta setelah sekian tahun. Kami lebih banyak tertawa bersama sambil menunggu hujan reda. Namun, jelas kurasakan perbedaan dari keakraban kami sebelumnya. Aku merasakan ada yang meletup-letup riang di dalam dadaku ketika melihatnya tersenyum kepadaku seakrab itu.
Ini membuatku gila serta membangkitkan harapanku yang tadi sempat timbul-tenggelam beberapa kali.
Aku terus manatapnya, memperhatikan senyumannya yang selalu menawan hatiku. Semakin lama kupandangi, semakin dalam pula perasaan ingin memilikinya.
Gavin yang masih tersenyum tiba-tiba mengulurkan tangannya ke arahku, seperti meminta sesuatu.
"Apa?" tanyaku heran.
"Jangan bilang lo lupa hari ini!"
Aku pura-pura berpikir. Aku mengerti maksud perkataannya. Sepanjang hari ini kucoba untuk melupakan tanggal hari ini, tapi nyatanya tidak pernah bisa. Seberapa keras pun aku berusaha melupakan tanggal ulang tahunnya, nyatanya sangat sulit. 9 September. Bukankah tanggal ini terlalu cantik untuk dilupakan?
"Memangnya hari ini hari apa?"
Gavin menurunkan tangannya, kemudian berdecak sebal berpikir aku benar-benar lupa hari ulang tahunnya. "Pokoknya gue minta kado dari lo!"
"Kado? Memangnya sekarang tanggal berapa?" Aku pura-pura sedang mengingat. "Oh iya, sembilan September. Hari ini lo ulang tahun, kan?" lanjutku dengan pura-pura antusias.
Gavin masih melirikku sebal. Dia terlihat marah dan sangat kecewa dengan sikapku. Padahal, dia tidak pernah lupa hari ulang tahunku dan selalu menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat untukku.
"Lo marah?" godaku.
"Nggak!" jawabnya yang enggan melirikku sama sekali. "Jangan marah, dong. Lo mau kado apa dari gue?"
Gavin akhirnya menoleh sambil tersenyum. Dari dulu dia memang mudah sekali dirayu.
"Yakin lo bisa kasih kado yang gue mau?" Gavin malah balik menggodaku.
Sesaat aku merasa curiga dengan apa yang dia mau. "Memangnya lo mau apa?"
"Gue kasih clue-nya, ya! Bentuknya " Gavin lalu mengangkat keduatangannya, kemudian menggerakkannya masing-masing ke lain arah hingga membentuk sebuah lingkaran besar.
Lingkaran? Apa benar gerakan tangan Gavin tadi membentuk sebuah lingkaran? Atau membentuk sebuah hati?
Kalau diingat kembali, kedua tangan Gavin bertemu di titik yang tidak terlalu tinggi ketika dia mengangkat kedua tangannya tadi. Kemudian, naik ke titik yang lebih tinggi hingga dipertemukan di titik yang paling rendah. Bukankah terlihat seperti sebuah hati?
Aku menghela napas panjang. Sepertinya aku sudah benar-benar gila sampai-sampai membayangkan Gavin menginginkan hatiku sebagai kado ulang tahunnya.
"Gimana? Bisa kan, kasih kado itu buat gue?" tanya Gavin, membuyarkan lamunanku.
Kubuang jauh-jauh pemikiranku tentang bentuk hati tadi. Jelas-jelas Gavin memberikan petunjuk sesuatu yang sangat besar.
"Lo minta kado rumah?" tebakku sambil menatapnya shock.
Dia hanya tertawa, semakin lama semakin nyaring, hingga membuatku berpikir bahwa tebakanku tadi benar.
"Kira-kira, dong! Kerja aja belum, gimana gue bisa kasih lo rumah!" Kutepuk bahunya pelan untuk sekadar menyadarkannya dari khayalan tingkat tinggi.
"Gavin, Alika!"
Kami menoleh seketika ketika mendengar seseorang memanggil nama kami. Aries dan Mya sedang berjalan ke arah kami. Saat itu juga kami baru menyadari hujan sudah reda entah sejak kapan. Aku dan Gavin terlalu menikmati kebersamaan kami hingga tidak menyadarinya.
"Hujannya udah reda, kita pulang, yuk!" ajak Aries yang kini sudah berdiri tepat di hadapanku.
Aku mengangguk ke arahnya, kemudian melirik Gavin yang baru saja menyanggupi Mya untuk mengantarnya pulang.
TBC
GIVEAWAY masih berlangsung. Berhadiah total 500 koin Wattpad. Cara ikutannya gampang. Cukup jawab pertanyaan yg ada di akhir cerita episode 3 (audiobook). Lalu tulis jawaban kamu di kolom Q&A pada episode "Diam-Diam Suka Kamu" di Spotify (cek slide 3). Sertakan juga username Wattpad kamu.
Periode Giveaway hanya sampai tanggal (24/07) Jangan lupa ikutan ya...
Menurut kamu Gavin suka nggak sih sama Alika? Sayangnya cerita ini menggunakan sudut pandang orang pertama, jadi kita nggak bisa langsung tahu isi hati Gavin. Tapi semuanya akan menjadi lebih jelas di episode-episode berikutnya. Kamu juga bisa baca cerita ini di Wattpad dengan username @pitsansi . Sampai jumpa
Salam,
KAMU SEDANG MEMBACA
Diam-Diam Suka Kamu (Audiobook)
Teen Fiction"Untuk kamu yang hanya bisa mengagumi sahabatmu dalam diam. Percayalah, kamu nggak sendiri." ___ Alika ditembak Gavin! Cowok itu menyanyikan lagu romantis untuk Alika pada hari ulang tahunnya. Saat hati Alika mulai melambung, ternyata adegan itu han...