"Tapi milikku sangat keras, sakit bila tidak disalurkan," ringis Tanu menujuk selangkangannya.
Ada beberapa alasan mengapa Jennie sangat menarik di mata Tanu.
Pertama, Tanu suka suara desahannya.
Kedua, Jennie tidak murahan seperti banyak perempuan yang ia kenal, tetapi Jennie juga bukan si polos yang tidak tahu apa-apa, dia sangat ahli malahan.
Ketiga, adalah ekspresinya saat terkejut. Mulutnya terbuka, matanya melebar dan pasti terdiam sesaat.
Lucu sekali, Tanu rasanya ingin memasukkan kejantanannya ke dalam mulut perempuan itu. Ah, membayangkan hal tersebut membuat adik kecilnya semakin keras.
"Bantu aku, kumohon..."
Jennie menyilang tangan di depan dada, "Ogah!"
"Nggak perlu pakai punyamu, aku tidak akan merenggut perawanmu. Pakai mulut saja," tawar Tanu. Sangat menyiksa bila hasrat tersebut tidak segera tersalurkan, rasanya sesak dan nyeri.
"Najis. Emangnya kamu siapa, huh? Sembarangan masuk rumah orang, benar-benar deh."
Jennie melihat ke sekeliling mencari benda yang bisa ia gunakan untuk melawan, ada penggaris besi. Ia majukan ke depan layaknya melayangkan pisau. "Keluar nggak?"
"Jahat banget sih kamu. Aku cuma minta tolong, ini sakit banget. Ahhh." Tanu memegangi batangnya, ia mengeluarkan pedangnya itu dari dalam celana, mencuat keluar begitu gagah.
"Omaygat, besar banget," seru Jennie keceplosan. Ia menelan ludah susah payah, punya Tanu mirip penis pria bule di film biru yang ia sering tonton. Ia lalu melirik penggaris, kalau bisa diprediksi panjangnya...
Shit! Fokus Jenn.
Kelemahan Jennie ada pada tubuhnya yang mudah terangsang bahkan hanya dengan melihat saja. Sesuatu di bawah sana sudah basah. Ini ada kondisi yang sangat sulit.
"Oke, enggak pakai mulut. Bantu urutin biar lemes lagi dong, Jen. Mohon banget, nanti aku bayar deh."
"Idih, kamu kira aku ini jalang apa?" protes Jennie tidak terima. Harga dirinya memang selangit.
"Eh, bukan gitu. Maksud aku sebagai balas budi. Awww sumpah ini sakit sekali." Tanu berakting seperti kesakitan, sebenarnya tidak sepenuhnya berbohong ia hanya melebih-lebihkan sedikit.
Melihat itu Jennie goyah, ia kasihan juga lama-lama. Apalagi wajah memelas Tanu bikin ia semakin kasihan. "Cuma ngurutin, nggak lebih. Awas kamu macem-macem."
"Siap." Tanu bersorak kesenangan dalam hati. Ternyata Jennie mempunyai sifat lemah tersendiri, Tanu hanya perlu menyelidiki apa-apa saja kelemahan gadis jutek tersebut.
Tanu lekas menurunkan celananya agar tidak menggangu kegiatan mereka, ia mengode Jennie agar mendekat. "Sini aku ajarin cara ngurut penis yang baik dan benar."
Jennie mendengus mendengar perkataan Tanu, apaan coba bicara begitu, kayak informasi penting aja. Tetapi Jennie tetap mendekat, ia membiarkan Tanu menuntun tangannya menyentuh batang besar nan panjang tersebut.
Ini pertama kalinya dalam hidup Jennie memegang kemaluan laki-laki dengan sadar dan nyata. Ketika jarinya bersentuhan dengan kulit itu, seperti ada sengatan listrik yang menerjang.
"Tangan aku sudah ternodai," katanya mulai memijit.
"Ahaha mhhh kamu pinter banget, mudah diajarin," perlahan rasa sakit tadi hilang, kini berganti rasa enak. Tanu meram melek menikmati miliknya dikocok oleh Jennie.
Walaupun masih amatiran, tetapi Tanu sungguh puas dengan kerja tangan lentik itu. Kulitnya halus membuai miliknya, ia tidak tahan, Tanu membantu Jennie untuk mempercepat temponya karena ia sebentar lagi ingin keluar.
Jennie takjub melihat ternyata batang itu bisa berubah menjadi lebih besar lagi, Tanu berdesis memuji-muji Jennie, mulutnya meracau hingga berikutnya cairan putih kental keluar membasahi tangan Jennie.
"Eww, apa ini?"
Tanu ngos-ngosan, ia tertawa melihat pertanyaan lucu itu. "Sperma, kamu enggak pernah belajar IPA?"
"Ish, Taulah. Tadi cuma lupa," Jennie berlari kecil ke kamar mandi untuk membasuh tangannya.
Sedangkan Tanu hanya membersihkan miliknya dengan tisu. Akhirnya juniornya itu bisa tidur kembali, ia melihat Jennie yang membersihkan tangannya berulang-ulang dengan sabun.
"Memangnya dikira spermaku kotoran apa? Kok sampai segitunya."
Sudah merasa bersih Jennie kembali, Tanu sudah menyembunyikan burungnya pada sangkar. Pria itu menepati janji, ia mengeluarkan dompet dan memberikan lima lembar uang berwarna merah.
"Untuk jajan kamu."
Jennie semringah, sudah dua hari ini ia sedang menghemat karena uang jajannya telah dikurangi. Mendapatkan rejeki nomplok hanya untuk pekerjaan tiga menit itu sangat luar biasa.
"Makasih!"
"Dasar, tadi juga sok-sokan nolak."
"Beda cerita. Ini kan sudah terlanjur jadi ngapain ditolak." Jennie memasukkan uang tersebut ke dalam laci.
"Kalau kamu mau lagi, bisa aku kasih lebih banyak. Tapi kalau kamu pakai mulut, kalau mau lebih banyak lagi pakai itu," Tanu menujuk selangkangannya.
"Enggak. Pergi sana. Sudah selesai kan?"
Perempuan itu buka pintu kamarnya lebar-lebar, ia mempersilahkan Tanu untuk keluar."Jutek banget sih, Sayang. Kayaknya kamu tuh benci banget sama aku."
Tanu mau tidak mau akhirnya mematuhi Jennie, soalnya dari tampangnya Jennie hendak mengusirnya paksa jika ia bersikukuh tetap di sana.
Sebelum benar-benar pergi ia berbalik, "Kita belum benar-benar kenalan dengan baik. Tolong kali ini jangan menolak, anggap saja ini sebagai bentuk saling mengenal antar tetangga."
Tanu mengulurkan tangannya, "Aku Tanu Reza, dua puluh empat tahun."
"Buset, udah tua rupanya."
Jennie mengira Tanu itu seumuran, jika berbeda pun paling setahun dua tahun di atasnya. Wajah Tanu awet muda, masih segar seperti remaja. Jennie menyambut tangan itu sekarang, mungkin benar kata Tanu, ia anggap ini kenalan antar tetangga biasa.
"Li Jennie, tujuh belas tahun."
"Kamu cina? Pantes bening banget, tapi mata kamu nggak sipit ya."
Hampir semua orang yang mengetahui ia Cina mengatakan hal yang sama, katanya Jennie tidak ada gen cina nya sama sekali. Satu-satunya yang membuat ia sedikit bisa membela diri adalah kulit putihnya. Matanya memang tidak sipit tapi juga tidak sebelo mata orang Indonesia kebanyakan.
Mungkin gen ibunya lebih mendominasi di tubuh Jennie. Ia kadang cemburu dengan kakak dan abangnya yang mirip sekali ayahnya. Meskipun sebenarnya ayahnya juga adalah Cina Indonesia yang sudah Indonesia banget alias beliau tidak terlalu mengikuti tradisi nya lagi.
"Sekarang bisa angkat kakinya Bang Tanu."
Ia menyebutnya bang karena sudah tahu umur Tanu, tidak sopan rasanya langsung bilang nama atau kamu-kamu lagi.
"Jangan Bang, pakai Mas aja. Mas Tanu."
Suku Tanu adalah Jawa, sebagai orang Jawa ia lebih suka panggilan Mas, telinganya tidak akrab dengan panggilan Bang.
"Oh, oke. Mas Tanu sekarang pergi ya. Takut Ibu dan Ayah pulang dan mikir macem-macem."
"Lah emang kita berbuat macem-macem kan?"
"Mas Tanu ini ya, kok susah sekali sih dibilangin."
Tanu terkekeh, kini Jennie marah saja sangat lucu di matanya, menggemaskan. Ia ingin menguyel-uyel pipinya. "Duh, jadi berasa dimarahin bini, deh."
"Ish. Sanaaa." Jennie mendorong Tanu keluar.
***
Suka partnya manis-manis kayak gini atau yang hot-hot?
Aku lagi banyak ide, jadi dobel update.
Untuk next chapter aku tunggu sampai 10 vote di sini ya! ><
KAMU SEDANG MEMBACA
Jennie dan Mas Tetangga
RomanceBercerita tentang Li Jennie, seorang gadis biasa yang dikenal polos dan cupu. Tetapi sangat binal bila sendirian di kamar, memuaskan hasrat birahi dengan membayangkan laki-laki tampan sebagai fantasi. Rahasianya tersimpan baik hingga Tanu Reza datan...