[10] Makan Malam

76.2K 463 7
                                    

"Gimana?" tanya Tanu saat Jennie sudah selesai menelepon.

Raut wajah gadis itu berubah, yang biasanya jutek atu datar kini berubah sendu. Seolah sinarnya telah padam, matanya berkaca-kaca sedetik kemudian tanpa menjawab, yang Jennie lakukan adalah menangis kencang.

Tanu refleks membawa tubuh itu kedalam dekapannya, dan mengelus punggungnya yang bergetar.

"Nggak apa-apa menangis aja, Jenn. Keluarkan semua kesedihan kamu," kata Tanu pelan.

Ada saatnya seseorang orang membutuhkan peluapan emosi, bisa dengan marah-marah atau menangis sejadi-jadinya. Dengan begitu, setelah bisa merasa lebih lega lagi.

Itulah yang Tanu lakukan pada Jennie, membiarkan gadis itu mengeluarkan semua rasa sedihnya. Setelah itu barulah ia akan bertanya lagi apa yang sebenarnya, itu pun jika Jennie mau bercerita.

Sebagian orang kesulitan untuk berbagi cerita. Satu sisi tidak punya tempat berkeluh kesah, di sisi lain tidak mengerti cara mengatakannya.

Tanu pernah mengalami keduanya. Baru-baru ini terjadi. Saat itu ia ingin sekali punya senderan untuk berkeluh-kesah. Sekedar pendengar untuk mencurahkan isi hati.

Tidak perlu menanggapi atau diberi nasihat. Hanya dengarkan saja.

Namun, Tanu tidak punya.

Keluarganya sudah lama berantakan. Saudarinya yang ia rasa mengerti dirinya malah meninggal.

Temannya pengkhianat semua, dan kekasihnya selingkuh. Sungguh ironi yang menyedihkan.

Setengah jam berlalu akhirnya tangisnya mereda hanya tersisa bekas aliran air mata di wajahnya. Tanu sigap mengusapnya lembut, tindakan itu membuat Jennie terenyuh.

Ia pikir Tanu hanya pria mesum tak punya hati, ternyata ia bisa juga memperlakukan orang lain dengan baik.

"Sudah baikan?" tanya Tanu masih dengan suara peln.

Jennie mengangguk, ia cukup syok dengan perkataan Lastri di telepon tadi. Sehingga tidak bisa membendung kesedihan. Jennie jarang menangis, apalagi di hadapan orang lain, tetapi kali ini ia tak tahan.

"Kak Soraya kecelakaan. Masih koma, belum siuman. Ibu bilang kemungkinan seminggu ini nggak balik, mereka akan berangkat kerja dari sana, sementara tinggal di kost Kakak gantian jaga Kakak," jelas Jennie.

"Kamu yang kuat ya, Kakakmu pasti akan segera pulih. Jangan sedih, kalian saling menguatkan saja."

Jennie mengangguk, kini ia sudah lebih baik. "Terima kasih, Mas."

"Tidak apa-apa. Lagipula ibu kamu sudah menitipkan kamu ke aku."

Jennie mendongak mendengar itu, ia tidak percaya ibunya melakukan hal itu. Jennie sudah besar bukan anak kecil yang tidak bisa hidup sendiri, lalu...

"Ibu nitipin ke orang yang salah," ujarnya kini kembali ke mode judes. "Masa sama orang mesum yang doyan lecehin anaknya."

Mungkin jika keadaannya tidak seperti ini, Tanu kan kesal akan perkataan Jennie. Tetapi kali ini ia cukup senang Jennie sudah kembali ke semula, bahwa perempuan itu tidak lagi sedih.

"Yee, dilecehin juga kamu keenakan, kan?"

"Najis," ucap Jennie sambil memutar matanya.

"Udah sana balik. Aku mau mandi, bersih-bersih."

"Enggak mau aku mandiin aja?" tanya Tanu jahil, ia suka membuat Jennie kesal.

Respon Jennie selalu menghiburnya, apalagi ekspresinya yang menggemaskan. Tanu rasanya ingin menerkam gadis itu, membuatnya merintih dibawah kendalinya.

Jennie dan Mas Tetangga Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang