Just Sign The Paper - Part II

224 33 13
                                    

"PIHAK KEDUA (KLIEN) TIDAK BOLEH JATUH CINTA PADA PIHAK PERTAMA!"

Dahi Sena terlipat, dan kedua alisnya hampir bertemu saat maniknya kembali menyisir tulisan yang tercetak tebal dengan tanda seru di akhir kalimatnya. Sekon berikut, dia memaku pandangan pada gadis bersurai brunette yang duduk di depannya.

"Kalau anda sudah baca, dan bersedia patuh sama peraturan yang disebutkan di MOU kita, anda bisa tandata—" kata Aya, gadis cantik yang membuka jasa Konsultasi Cinta dan Pernak-perniknya, dimana kini dia sedang berperan sebagai calo cinta untuk Sena.

"Harus di atas materai?" Sena pikir MOU yang dibuat Aya terlalu berlebihan.

"Iya dong." Aya mengangguk. "Saya gak mau ada masalah sama cowok saya, dan saya juga gak mau ada masalah di kemudian hari setelah anda meresmikan hubungan anda sama calon pasangan anda nanti." Sena meletakkan kertas, merubah posisi duduknya. "Kalau anda keberatan—"

"Gak, sama sekali gak. Malah bagus, kan?" Sena mengembangkan senyum yang menurut Aya terlihat misterius. "Hubungan kita jadi sebatas bisnis, gak lebih."

Aya mengerutkan keningnya saat melihat Sena mengeluarkan secarik kertas.

"Surat pernyataan?" Aya membaca sekilas, maniknya menatap Sena tajam.

"Biar fair, kan? Saya tandatangani MOU yang anda buat, dan anda tandatangani surat pernyataan yang saya buat."

"Bentar!" Aya tidak begitu saja menyetujui. "Kenapa saya mesti—"

* Bzzt

Ponsel Aya bergetar, terpaksa dia meminta izin untuk mengangkat panggilan telepon dari kekasihnya, Yudha.

"Ck! Bakalan lama nih," gerutu Sena, melihat jam digital yang melingkar di pergelangan tangannya.

Dua menit kemudian Aya kembali. "Maaf lama."

"Gak apa-apa. Emang ribet sih kalau punya pacar." Kalimat terakhir hanya didengar oleh rungu Sena.

"Kenapa?" Aya penasaran dengan gumamam kalimat terakhir Sena.

"Gak. Gak ada apa-apa. Kita lanjutin aja biar cepet kelar." Saran Sena.

"Oh ya, masalah surat pernyataan, saya rasa gak perlu ada surat pernyataan. Kan di MOU udah jelas tertulis kalau pihak pertama, yaitu saya, akan bertanggung jawab penuh kalau—" Aya mendengus kesal saat ponselnya kembali bergetar. "Maaf, ini darurat," katanya, setelah melihat nama yang muncul di layar ponsel.

"Hmm ..." Sena mengangguk, tangannya terulur mengambil minuman yang dipesannya.

Satu menit berlalu, Aya pun kembali. "Maaf, Pak Sena. Kayaknya kita harus nunda kesepakatan kita deh, nanti saya jadwalin ulang buat minggu depan ya?"

"Wah, kalau minggu depan saya gak bisa. Saya harus gantiin temen saya jaga di IGD," kata Sena jujur.

"Yaudah gini aja deh, Bapak tandatangani aja MOU-nya nanti saya kabari buat jadwal blind date-nya."

"Oke." Sena mengambil pulpen lalu menandatangani MOU yang dibuat Aya. "Nih." Dia menyerahkan pulpen pada Aya, namun menahan kertas berisikan MOU. "Anda juga harus tandatangani surat pernyataannya, kan?"

"Duh, Pak ... kan saya udah jelasin kalau di MOU kita juga ada—" Ponsel Aya kembali bergetar, hingga dia tidak merampungkan ucapannya.

"Telepon lagi tuh." Aya berdecak sebal. "Gini aja, anda tandatangani surat pernyataannya terus kita barter. Saya kasihin MOU-nya, anda kasihin surat pernyataannya, gampang, kan?" Aya memandang Sena ragu. "Just sign the paper, Bu Aya, hmm ..." Lagi-lagi Sena mengembangkan senyum misterius dengan menaikkan kedua alisnya, seolah meyakinkan Aya kalau tandatangan di atas kertas putih itu adalah hal sepele.

GLAMOROSÉ VTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang