Chapter 1 : Is Painting a Mistake?

749 60 0
                                    

Bunyi tamparan sangat keras, mengenai pipi putih Jaemin yang mulai memerah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bunyi tamparan sangat keras, mengenai pipi putih Jaemin yang mulai memerah. Setitik air mata mengalir pada sudut matanya. Perih di pipinya tidak terasa karena hatinya jauh lebih sakit. Tatapannya tertuju pada kertas nilai akhir semester 1 dan indeks prestasinya yang teronggok di lantai.

"Kau tahu apa yang para dosen katakan di belakang Papa? Dia masuk kuliah karena ayahnya, anak bungsunya tidak becus seperti kakaknya, kau pikir Papa tidak malu?!" teriak Donghae kepadanya lagi. Jaemin hanya dapat terdiam, menciut di tempatnya, tidak mampu melakukan apapun selain mendengarkan.

Yoona tidak bisa melakukan apapun. Sejak dulu, ketika Donghae marah, Yoona yang membela Jaemin justru akan membuat Jaemin semakin banyak mendapat cercaan dan hukuman fisik. Jadi walaupun merasa tidak rela, Yoona memutuskan untuk mengawasi dari jauh, mencegah suaminya bertindak berlebihan apabila diperlukan.

"Alat lukismu itu, sudah Papa katakan buang semuanya! Melukis membuatmu bodoh, tidak pernah belajar!" cerca Donghae lagi dan berbagai macam kata merendahkan yang menohok Jaemin. Kata-kata yang meremat hatinya hingga begitu sakit. Tak lama, Jaemin hanya bisa mengikuti saat ayahnya menyeret tangannya dengan kasar. Sangat sakit, tangannya bahkan sampai memerah. Yoona tampak panik ketika Jaemin didorong keras ke dalam gudang belakang hingga punggungnya terhempas membentur lemari kayu yang sudah usang. Bunyi pintu dibanting terdengar setelahnya, meninggalkan kegelapan di seluruh ruangan gudang.

Jaemin hanya diam dengan tatapan kosong. Bahkan untuk sekedar menangis pun, rasanya mati rasa. Ia terus meringkuk di lantai, tanpa peduli dinginnya lantai mulai menusuk kulitnya.

Tengah malam, ketika Jaemin tidak sengaja terlelap, pintu gudang berderak terbuka. Matanya hanya terbuka sedikit, melihat 2 orang bertubuh tinggi masuk dan menghampiri dirinya. Kedua kakak kesayangannya, Jaehyun dan Jeno. Ia merasa Jeno mengangkatnya perlahan lalu diletakkan ke punggung Jaehyun.

"Hyung," lirih Jaemin pelan membuat Jaehyun dan Jeno refleks memintanya diam.

"Sstt, jangan berisik. Nanti Papa bangun," kata Jeno di sampingnya membuat Jaemin kembali bungkam. Ia mengeratkan pelukan tangannya pada leher Jaehyun, kembali memejamkan mata, terlelap kemudian. Ya, ketika ayahnya menyakitinya berulangkali, saat itulah kedua kakaknya akan memberikan limpahan kasih sayang yang jauh lebih banyak dari yang bisa Jaemin kira. Walaupun itu tidak pernah mengobati luka menganga di hatinya.

🏞🏞🏞

Jaemin tidak mengerti. Apakah menjadi seorang pelukis merupakan tindakan yang buruk? Mengapa ayahnya begitu membenci hal yang sangat disukainya? Krayonnya pernah dipatahkan hingga menjadi bubuk kecil. Cat airnya digabungkan menjadi satu wadah dan tidak dapat digunakan lagi. Pensil warnanya, spidol, apapun yang memiliki tekstur warna, tidak ada yang tersisa di kamarnya.

Mungkin kalian akan berpikir, pada masa dengan teknologi canggih seperti sekarang, bisa menggunakan komputer atau ipad untuk melukis. Tetapi bahkan Jaemin juga tidak memiliki kebebasan untuk itu. Ayahnya akan memeriksa ipad-nya secara rutin. Pernah Jaemin membeli ipad cadangan dengan tabungannya, berakhir ipad itu dibanting dan dirinya dikurung di gudang belakang semalaman suntuk hingga demam di pagi hari.

Painting the Horizon [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang