[COMPLETED]
Banyak orang mengatakan, menjadi bungsu itu menyenangkan. Orangtuamu akan memanjakanmu dan kakakmu akan menyayangimu dengan caranya sendiri. Tetapi mengapa Jaemin justru merasa bahwa menjadi bungsu adalah malapetaka? Ayahnya selalu menun...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Jaemin menatap kosong jendela kamarnya yang menampakkan semburat cahaya matahari terbenam dari jendelanya yang belum tertutup. Ia baru saja tersadar, mendapati dirinya sudah kembali berada di kamarnya sendiri dengan jarum infus yang menusuk punggung tangannya.
Jaemin menggenggam selimut dengan sangat erat, mengingat kejadian semalam yang sangat menyakitkan. Ia mendapati kamarnya yang sangat rapi, lebih rapi dari biasanya saat ia sendiri yang merapikan. Jaemin sadar ibunya pasti sudah membersihkan kekacauan semalam. Jaemin tahu ia tidak akan pernah punya kesempatan. Juara pertama kontes melukis yang sangat sulit diraih saja tidak berhasil menggerakkan hati ayahnya.
Pintu kamarnya terbuka menampakkan ibunya yang tampak terkejut mendapati Jaemin telah bangun. Yoona berusaha menguasai dirinya karena tahu Jaemin tidak akan suka jika ia bertingkah berlebihan. Ia letakkan nampan berisi bubur dan air minum di nakas samping Jaemin.
"Makan dulu ya?" kata Yoona. Jaemin menoleh dengan lemah, tersenyum tipis semampunya. Ia mengangguk. Yoona bergegas membantunya bangun, menopang punggungnya untuk disandarkan di kepala ranjang. Dengan sabar, Yoona menyuapi Jaemin. Ia mendapati Jaemin hanya menurut setiap kali ia menyuapkan bubur secara perlahan.
Yoona baru menyadari betapa menurutnya Jaemin kepada mereka. Ia tidak pernah membantah, walaupun apa yang diperintahkan kepadanya jelas-jelas melukai dirinya sendiri. Yoona merasa sangat bersalah. Ingin rasanya membebaskan Jaemin untuk memilih apapun yang ia suka. Ingin rasanya melihat wajah cerah Jaemin yang menunjukkan bahwa putranya bahagia.
Ya, Yoona tahu putra bungsu kesayangannya tidak bahagia. Seumur hidupnya, Jaemin terlalu banyak menahan luka. Bukan Jaemin yang meminta dilahirkan sebagai putra bungsu keluarganya. Bukan Jaemin yang meminta terlahir dengan kemampuan berbeda dari kedua kakaknya.
Yoona memperlakukan ketiga putranya sama adilnya, sejak dalam kandungan. Ia selalu menjaga makanannya, asupan gizi yang masuk, sama setaranya. Jadi ketika Jaemin terlahir dengan kepekaan seni lebih besar, Yoona tahu itu memang menjadi anugerah talenta dari Tuhan untuk Jaemin.
Jaemin menahan lengan ibunya saat dirinya merasa mual. Yoona berhenti dan bergegas membantu Jaemin untuk meminum obatnya. Yoona kembali membantu Jaemin untuk berbaring, lantas mengusap rambut Jaemin seperti biasanya.
"Nana," panggil Yoona membuat Jaemin yang hendak memejamkan mata kembali membukanya. Ia menatap Yoona dengan tatapan sayu, tatapan yang membuat hati Yoona ikut sakit. Tatapan putus asa, tatapan penuh luka.
"Selamat atas kemenangannya. Putra Mama memang luar biasa," kata Yoona lagi. Jaemin tersenyum mendengar pujian dari ibunya.
"Mama," lirih Jaemin membuat Yoona memilih untuk ikut berbaring di samping Jaemin agar putranya tidak perlu berusaha bicara keras.
"Semua orang memujiku karena kemampuan lukisku, tapi mengapa Papa tidak?" tanya Jaemin membuat Yoona terdiam. Ia menarik Jaemin dalam pelukannya, mengusap punggung Jaemin berulang kali, membuat Jaemin merasa nyaman.