[COMPLETED]
Banyak orang mengatakan, menjadi bungsu itu menyenangkan. Orangtuamu akan memanjakanmu dan kakakmu akan menyayangimu dengan caranya sendiri. Tetapi mengapa Jaemin justru merasa bahwa menjadi bungsu adalah malapetaka? Ayahnya selalu menun...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Jaemin berusaha bertahan sebanyak yang ia mampu. Atap yang tak pernah terawat membuatnya bocor di banyak tempat. Tanpa makan memang berakibat buruk, tetapi tanpa minum akan jauh lebih buruk. Jadi selama 2 hari ini, Jaemin bertahan dengan meminum air hujan yang masuk ke gudang melewati celah yang bocor. Ia tahu itu kotor, tetapi ia tidak peduli. Ia harus tetap waspada. Ia harus tetap mampu berpikir jernih.
Selama dua hari terjebak disini, pikiran Jaemin melayang kemana-mana. Apakah surat kematiannya benar-benar akan valid sebentar lagi? Ia benar-benar akan membuat kakaknya hancur. Ia akan membuat ibunya menyesal karena tidak menemuinya ketika ia sebenarnya punya kesempatan. Chanyeol dan Wendy akan benar-benar dibenci ayahnya. Sungguh, Jaemin tidak ingin hidupnya berakhir di tangan orang yang sudah mencuri lukisannya,
Jaemin memikirkan satu kemungkinan. Heechul akan lengah. Mengurung seseorang tanpa makan dan minum selama 2 hari dengan bayangan bahwa seorang pembunuh hendak menghabisinya dalam waktu beberapa jam ke depan, melumpuhkan tidak hanya fisik, tetapi juga mental seseorang. Heechul akan berpikir dirinya sudah pasrah dan melemah. Apalagi dengan fakta bahwa korban Heechul akan membayangkan, tanpa disengaja, bagaimana Heechul akan menggunakan peralatan petukangan itu untuk menghabisinya dengan cara yang tidak mudah. Jaemin yakin Heechul tidak akan membunuh seseorang tanpa menyiksanya terlebih dahulu. Tetapi Jaemin tidak mau permainan Heechul membuatnya bertekuk lutut semudah itu. Kalaupun ia harus mati, ia harus melawan. Bagaimana pun caranya.
Jaemin menyadari Heechul bukan sekedar pembunuh. Pelukis itu adalah seorang psikopat.
Terdengar bunyi kunci tuas pintu yang berputar, pertanda ada seseorang yang hendak membuka pintu membuat Jaemin terlonjak. Ia menarik nafas tegang. Ia genggam tangannya dengan sangat erat hingga ia yakin buku jarinya sudah memerah. Ia berbohong jika berkata tidak ketakutan sekarang. Apalagi ketika tatapannya sesekali mengarah pada setiap peralatan petukangan di sisi kirinya.
Jaemin segera berlari mengendap ke sisi bagian daun pintu akan mengayun. Ia yakin Heechul akan lengah. Ia yakin Heechul akan masuk tanpa menutup pintu. Ia yakin Heechul akan menganggap dirinya sudah melemah karena ketakutan dan tidak adanya asupan makanan.
Dugaan Jaemin sangat tepat. Heechul benar-benar masuk hingga ke bagian tengah ruangan.
"Kemana kau bocah?" katanya sembari mengedarkan pandangan, bersamaan dengan Jaemin yang segera melangkah keluar dan berlari secepat mungkin, membuat Heechul segera menoleh dan berteriak murka.
"Bocah sialan!" teriakan menggelegarnya sampai ke telinga Jaemin. Jaemin tidak tahu ia harus berlari ke arah mana. Tapi ia memilih untuk mengikuti jejak mobil Heechul yang membelah jalan tanah dan masuk ke sisi hutan sebelah jalan kecil itu, untuk menyamarkan keberadaannya. Tetapi ia tahu, kali ini, Heechul tidak akan melepaskannya dengan mudah. Alasannya, karena Jaemin telah melihat tempat eksekusi tersembunyi milik Heechul.
Jaemin mendengar derap langkah dan bunyi dahan pohon yang disentakkan dengan kuat di belakangnya. Ia tahu, ia sudah berlari cukup lama. Peluhnya sudah banyak mengalir. Walaupun paru-parunya terasa panas, walaupun ia merasa tak mampu meraup udara dengan baik, Jaemin terus berlari, menyusuri hutan, mengikuti arah jalan tanah yang semakin melebar.