Bukan Gadis yang Sulit untuk Disukai

663 231 49
                                    


Terima kasih dan selamat membaca 💕

💌

"WHAT IS this ... madu mongso?"

"Madu mongso? That thing in your hand, that's it."

"Maksud saya, Profesor, makanan apa ini? Some kind of sweets or what?"

"Traditional sweets made of ketan. Ketan is ... sticky rice, you know sticky rice?"

"Lemper yang kemarin istri Anda berikan untuk saya, she said it was made of sticky rice."

"Of course, lemper. Lemper dibuat dari sticky rice, the original white sticky rice, and meanwhile," sang profesor menoleh sekilas dari jalanan di depan, "madu mongso itu dari ketan hitam. Also sticky rice, but the black one."

"Jadi ketan putih itu gurih dan ketan hitam itu manis."

"It is sweet since it was fermented."

"Jadi ini beralkohol? Tapi mereka keluarga muslim dan saya dengar orang muslim dilarang--"

Sang profesor tertawa pelan. "It is zero alcohol, I promise. Belum pernah ada kasus orang teler karena makan madu mongso. Cobalah, Eth. Jangan cuma dilihat saja."

Lelaki itu mendengkus. Andai saja Wening tidak berkata, "Ini untuk Mas Bagus," pasti dia sudah memakannya sejak awal. Sayang sekali madu mongso ini bukan untuknya.

Keadaan di dalam Accord kembali tenang, hanya terdengar 'engkau masih anak sekolah, satu SMA' yang mengalun pelan dari radio. Sesekali sang profesor mendengungkan iramanya sambil mengetukkan jari di atas setir. Lelaki berkacamata membuka sedikit tutup wadah anyaman bambu yang tadi, sebelum pulang, dia terima dari barisan gadis pelayan di dekat janur.

Isinya hanya satu set nasi, tahu-tempe, ayam bakar, sayuran, kerupuk, jeruk, pisang, dan beberapa kue. Lelaki itu menutupnya lagi dengan kesal. Tidak ada madu mongso. Madu mongso hanya untuk Mas Bagus, bukan dia.

"By any chance, Professor, do you happen to know the first daughter of Pak Sucipto? Anda bilang beliau teman lama waktu kuliah." Lelaki itu membuka percakapan lagi.

"Ya. Tapi itu sudah lama sekali sejak terakhir kami bertemu, so I know almost nothing about his family, tapi tadi dia bilang putri pertamanya ada di kedokteran. Namanya ... Ning-something? Ningsih? Mening?"

"It's Wening."

"Aah, Wening!" Sang profesor menjentikkan jari. "You probably have seen her around the faculty. Ya, namanya Wening. How did you ...."

Lelaki itu mengangkat bahu. "Namanya disebutkan waktu ritual aneh di akhir acara."

"Oh, ritual janur itu."

"But, Professor," lelaki itu menoleh, alisnya melengkung, dan dia menginginkan penjelasan lebih. "Apa artinya ritual itu? I mean, kenapa dia harus menggigit janur dan dicambuk ibunya sendiri? Apa punggungnya baik-baik saja? Apa tidak sakit?"

"Kamu mengkhawatirkan gadis itu?"

"Err ... dia bisa saja terluka?"

Sang profesor justru tergelak. "No way, tidak ada yang terluka. Dia tidak benar-benar dicambuk, itu hanya sentuhan pelan. Dia juga masih bisa tertawa waktu semua orang mendoakannya."

Pada dasarnya dia memang gadis yang senang tertawa, pikir lelaki itu.

"Dan ritual itu ... semacam penangkal bala karena adiknya menikah duluan. Masyarakat sini, terutama di tanah Jawa, percaya bahwa yang lahir duluan seharusnya menikah duluan. First out first sold. Ketika yang terjadi sebaliknya, dikhawatirkan rumah tangga adiknya tidak harmonis, atau yang paling ditakutkan, kakaknya dijauhkan dari jodoh. Jadi mereka mengerjakan ritual itu," lanjut sang profesor.

"Ridiculous. Mereka percaya takhayul seperti itu?"

"Why not? Orang Jepang percaya angka 4 membawa sial, jadi setelah rumah nomor 3 langsung nomor 5. Kerajaan Inggris percaya bahwa menikah di bulan Mei juga membawa sial. Setiap wilayah punya kepercayaannya sendiri which doesn't make any sense at all for the rest of the world."

Lelaki itu menimbang ucapan sang profesor yang memang ada benarnya. Bahkan kampungnya di Haarlem juga memiliki kepercayaan aneh semacam itu.

"But still, saya pikir gadis seperti dia tidak butuh ritual menolak dijauhkan dari jodoh seperti itu," gumamnya lagi.

"Dan kamu pikir dia gadis seperti apa?"

"Bukan gadis yang sulit untuk disukai oleh siapapun ..." dia menjeda sesaat, "termasuk lelaki."

"Oh." Sang profesor berjengit. "I didn't know that. Tapi sudah jelas ritual barusan manjur juga."

"Maksud Anda?"

"Bisa dipastikan satu lelaki sudah tertarik."

"Apa? Siapa?"

Lelaki itu terbelalak, hingga kemudian sang profesor meliriknya dengan sebelah alis terangkat disertai seringai jahil, membuatnya mengerti siapa yang dimaksud. "No! I swear I'm not--Oh, Lord, that's not what I--"

Biarkan saja sang profesor tergelak lepas di sampingnya. Lelaki itu sendiri sibuk merapikan isi dalam kepalanya. Bukan dia, tapi kawannya. Kawannya yang merepotkan itu yang tertarik, bukan dia. Dia hanya kurir.

Sambil memandangi tiga madu mongso warna-warni di tangannya, lelaki itu menyusun kata-kata yang setelah ini harus dia sampaikan kepada kawannya.

Ini madu mongso dari Dik Wening. Dia mengenakan gelang pemberianmu. Dia berterima kasih. Dia tersenyum. Dan dia sangat cantik.

Lelaki itu menggeleng dan menertawakan keanehannya sendiri. Kalimat terakhir itu tidak perlu, hapus saja.

💌

Kenapa sih mas-mas bule ini gak ngaku aja kalo dia bukan Mas Bagus? Kok malah bikin salah paham.

Ya emang dibikin salah paham biar ceritanya lanjut HAHAHA.

Gak lah :p

Ada penjelasannya kenapa dia begitu. Tapi nanti, belum sekarang. Dan kalau sudah baca MBAK/MAS/Sakura Kiss pasti paham karakter mas-mas bule kampret nan manipulatif ini mirip siapa. Sebab buah dari jauh tidak jatuh pohonnya.

Sedangkan Wening lebih mirip sama anaknya yang satu lagi. 😉

Malang, 29 Juni 2023.

Kurirasa 1990Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang