Agustus 2018
Sebuah mobil berwarna hitam melaju dengan kecepatan 80 km/jam di jalanan yang lengang. Hujan turun dengan lebatnya. Malam belum terlalu larut tapi malam ini jalanan terlihat sepi. Membuat suasana menjadi semakin suram.
Akan tetapi, cuaca yang buruk tidak lantas membuat suasana di dalam mobil tersebut menjadi suram. Seorang remaja laki-laki berusia 13 tahun yang duduk di jok belakang mobil itu terlihat riang sambil sesekali mengusap sebuah medali emas di dadanya. Sedangkan kedua orangtuanya ikut tersenyum bangga dari jok depan.
"Ayah, Bunda, kita mau kemana?" Remaja bernama Sean itu menjulurkan kepalanya ke depan. Menatap kedua orang tuanya heran saat menyadari jalanan yang mereka lewati bukan lagi jalan menuju rumahnya.
"Duduk dengan benar, Sean. Pakai sabuk pengamanmu," kata sang Bunda tegas.
Sean merengut. Dia kembali mendudukkan dirinya di jok belakang. Memasang sabuk pengaman dengan malas. Dia mengalihkan pandangannya ke jalanan gelap di sekitarnya.
"Ayah nggak salah jalan, kan?" tanya Sean lagi. Tangannya terjulur untuk menyentuh kaca mobil yang dingin. Matanya menatap jauh ke dalam kegelapan di depan sana.
Mendengar ucapan polosnya, kedua orang tua Sean tertawa kecil. Bundanya menoleh ke belakang. "Nanti kamu juga bakalan tau," ujarnya lembut.
"Kalau sekarang, nggak boleh tau?" Sean mengerjap pelan.
"Nggak boleh, kan surprise. Iya kan, Yah?" jawab sang Bunda masih dengan senyuman di bibirnya.
"Iya dong, nanti nggak seru kalau kamu tau," sahut Ayahnya.
Sean justru tersenyum lebar. "Mau ngerayain kemenanganku, ya?" ujarnya antusias.
Ayahnya yang masih fokus menyetir pura-pura mencibir. "Anak Ayah kepedean."
"Loh, bener kan?" kata Sean bangga. "Iya kan, Bun?" lanjutnya mencari pembelaan.
Sang Bunda tertawa. "Duh, nggak asik deh, kalau punya anak terlalu peka. Jadi gagal surprise."
Sean membusungkan dadanya bangga. Dia kembali mengusap medali yang dikalungkan di lehernya. Itu bukan medali pertamanya. Bukan pula medali emas pertama. Sean bahkan sudah punya puluhan medali di kamarnya. Tapi medali ini adalah medali emas yang dia dapat dari kejuaraan olimpiade paling bergengsi di Asia.
Sean meraih sebuah kotak yang ada disebelahnya. Dia membukanya pelan lalu meraih sepasang sepatu skating yang ada di kotak itu. Mengusap sepatu itu dengan penuh sayang. Kedua orang tuanya tersenyum melihat itu dari kaca spion tengah."Anak kita benar-benar mewarisi bakat yang kamu punya," ujar Ayah Sean pelan. Melirik sekilas ke arah kaca tengah untuk melihat Sean yang masih sibuk dengan sepatunya.
Bunda Sean mengangguk. "Dia akan jauh lebih hebat dariku," jawabnya bangga. "Sean jatuh cinta pada ice skating sejak pertama kali dia mengenal bidang itu."
"Dia akan jadi Pangeran Es nantinya," canda Ayah Sean.
"Kuharap dia tumbuh menjadi seseorang yang membanggakan," gumam Bunda Sean.
Sean masih sibuk dengan sepatu skatingnya. Sepatu yang selalu dia gunakan setiap lomba ice skating. Ya, Sean adalah seorang atlet muda di cabang ice skating. Tahun ini adalah pertama kalinya Sean mengikuti pesta olahraga bergengsi itu. Menjadi salah satu peserta termuda di dalamnya.
Remaja berusia 13 tahun itu jatuh cinta pada ice skating sejak dia kecil. Bundanya adalah seorang mantan atlet ice skating. Membuatnya mengenal semua hal tentang cabang olahraga itu bahkan sejak dia baru bisa berbicara. Sean kecil dulu akan sangat senang jika Bundanya mengajaknya ke ice ring. Mencoba bermain ice skating.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEAN
Teen Fiction"Sean Aditya Adenta?" Siapa yang tidak mengenal sosok Sean di sekolah ini? Si Ketua MPK yang begitu pendiam dengan segudang prestasi miliknya. Juga menjuarai berbagai olimpiade dan selalu menduduki peringkat dua paralel. Meskipun sosoknya begitu mis...