Photo

26 3 0
                                    

Malam beranjak matang. Sky menutup matanya berusaha untuk tidur. Tapi malam ini insomnianya kambuh. Bahkan hingga malam sudah berganti hari, dia masih belum bisa tertidur. Dia menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan mata kosong. Lengang. 

Suara telepon masuk tiba-tiba memecah kesunyian tengah malam. Dengan cepat Sky bangkit dan meraih handphonenya yang dia letakkan di atas nakas. Dering yang dia tandai sebagai nada telepon darurat itu membuat Sky panik.

"Halo," kata Sky pelan. Berusaha berpikir jernih dan berdoa agar tidak ada apa-apa.

"SKY! KE SINI SEKARANG, MAMA KAMU KALAP!!"

Suara teriakan Karina terdengar di ujung telepon. Dengan latar belakang jeritan para suster dan barang-barang yang dibanting. Sky juga bisa mendengar teriakan Mamanya di sana. Kali ini, jauh lebih parah.

"A-aku, k-ke sana sekarang," kata Sky dengan tubuh bergetar. Dia melompat turun dari ranjang dan segera mengambil kunci mobilnya.

Sky mengemudikan mobilnya menuju rumah rehabilitasi. Dja meremat kuat stir mobilnya. Jalanan yang lengang membuat Sky lebih leluasa melajukan mobilnya dengan kecepatan lebih dari 100 km/jam. Tidak ada yang dia pikirkan kecuali keadaan Mamanya sekarang.

Sesampainya di rumah rehabilitasi, Sky segera berlari menyusuri lorong panjang gelap menuju kamar Mamanya. Jam yang menunjukkan waktu dini hari membuat suara sekecil apapun terdengar dengan jelas. Dari tempatnya Sky sudah bisa mendengar keributan yang dia yakin berasal dari kamarnya.

"PERGI KALIAN SEMUA!!"

"RIA!"

"KAU, KAU YANG MEMBUNUH SUAMIKU!"

Sky baru saja tiba di ambang pintu kamar saat dia melihat Mamanya yang sudah kacau sedang berusaha mencekik seorang Psikiater yang selama ini merawatnya. Tatapan mata nyalang milik Mamanya membuat Sky nyaris tak mengenalinya.

"Mama," ujar Sky lirih. Tubuhnya luruh di depan pintu. Seorang perawat yang mengenal Sky mencoba mencegahnya masuk. Kondisi di dalam kamar terlalu kacau.

Beberapa perawat di dalam kamar terlihat terluka. Karina dan perawat lain masih mencoba untuk menahan Mama Sky. 

"LEPAS, AKU HARUS MEMBUNUHNYA!" Mama Sky berusaha memberontak. Menyentak kuat tangannya yang ditahan oleh beberapa perawat.

"Ria, saya mohon sadar," kata Psikiater yang ada di depan Mama Sky. "Ada Sky," lanjutnya pelan.

Mama Sky menoleh ke arah pintu dan melihat Sky yang kini masih terduduk di lantai sambil menangis. Menatap Mamanya dengan tatapan pilu. Melihat itu, Mamanya justru semakin kalap. Dia beralih ke arah Sky dan ingin menerjangnya. Sebelum akhirnya beberapa orang berlari menuju kamar dan menyuntikkan obat penenang di bahu Mama Sky.

"Mama," panggil Sky. Dia merangkak pelan mendekati Mamanya yang kini terkulai lemas di lantai dengan Karina yang masih berusaha menahan tubuh Mamanya.

"Sky, bisa ikut saya?"

ᅳ..ᅳ

"Mama kamu akan tenang selama beberapa saat."

Sky mengangguk pelan mendengar suara Airin—Psikiater yang menangani Mamanya—di depannya. Tangannya yang masih bergetar menggenggam erat cangkir coklat panas di pangkuannya. Tatapan matanya masih kosong dan sesekali matanya akan mengeluarkan air mata.

"Jangan khawatir, semua akan baik-baik saja."

"Tante bilang, Mama bakalan sembuh," lirih Sky. "Kemarin Mama baik-baik aja," lanjutnya.

Airin menghela napas pelan. Wanita itu mengusap pelan lengan Sky untuk memberikan sugesti agar gadis itu sedikit lebih tenang. Mereka berdua memang cukup dekat sejak Sky mempercayakan Mamanya pada Airin. Membuat Sky lebih nyaman memanggilnya dengan sebutan 'Tante' daripada sebutan lain. Alasan lainnya adalah karena Airin adalah ibu dari Karina.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 18, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SEANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang