Mama

39 2 0
                                    

Oktober 2022

Sky berjongkok di sebelah pusara mendiang Papanya. Hujan deras yang mengguyur pemakaman sore itu tak lantas membuat Sky kedinginan. Dia justru sengaja membiarkan tubuhnya ditimpa oleh jutaan bulir air. Membiarkan sekujur tubuhnya basah kusup. Dengan itu, Sky yakin tidak ada yang bisa melihat air matanya.

Gadis berusia 16 tahun itu menyentuh nisan Papanya lembut. Berusaha menahan segala sesak yang ada dalam dirinya. Air matanya terus mengalir di pipinya yang telah basah oleh air hujan. 

"Papa, apa kabar?" kata Sky pelan. Suaranya bahkan kalah oleh suara hujan yang makin lama justru makin deras.

Sky mengusap wajahnya. "S-sky...Sky kangen, Pa."

Hening selama beberapa detik. Sky menunduk semakin dalam. Dia kemudian bersimpuh sambil mencengkeram tanah merah di dekatnya. Membiarkan pakaiannya kotor terkena tanah becek.

"Pa, Papa baik-baik aja kan, disana? Sky disini nggak baik," adu gadis itu. 

Langit semakin gelap. Hujan pun belum menunjukkan tanda-tanda akan reda. Gadis itu semakin tergugu.

"Sky kangen Papa, Sky pengen Papa selalu ada di samping Sky, Sky..." Gadis itu tersengal. "Sky kangen latihan anggar sama Papa..."

Sky terdiam lama setelah mengucapkan kalimat terakhirnya. Dia memukul pelan dadanya untuk mengurangi rasa sesak di dadanya. Tangannya kemudian merogoh kantung celana. Mengambil sebuah medali emas yang tampak berkilau.

"Papa liat kan? Sky dapet medali emas lagi di pesta olahraga kemarin," kata Sky sambil terisak pelan. Dia meletakkan medali emasnya di atas nisan Papanya.

"Harusnya Papa sama Mama bisa liat langsung. Tapi kenapa Papa pergi secepat itu?" Sky mengusap pipinya yang basah. "Sky ikut anggar karena Papa, terus sekarang Sky ikut anggar buat apa?" 

Petir menyambar membuat terang sejenak. Sky melirik jam tangannya. Kunjungan sore ini mungkin harus segera berakhir. Gadis itu mengusap wajahnya sekali lagi. Dia kemudian bangkit setelah sebelumnya mengantongi kembali medali emasnya.

"Papa, Sky minta maaf. Sky harus ke tempat Mama habis ini. Papa tenang di sana, ya? Dadah, Papa. Nanti Sky kesini lagi."

Remaja itu kemudian beranjak pergi. Menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari pintu masuk pemakaman. Kemudian pergi menuju tempat tinggalnya.

ᅳ..ᅳ

Malam beranjak matang. Sky menyusuri lorong sebuah rumah rehabilitasi bersama seorang perawat yang sudah sangat dia kenal. Di tangannya sudah ada buket bunga dan beberapa makanan kecil.

"Bagaimana kompetisi kemarin?" tanya perawat di samping Sky.

Sky mengangkat bahunya. Dia tersenyum tipis menanggapi pertanyaan itu

"Aku tidak sempat melihat siaran langsungnya asal kamu tau," kata perawat itu lagi.

"Mama gimana?" tanya Sky mengalihkan pembicaraan. Dia menoleh untuk menatap perawat di sampingnya.

Perawat muda itu mendengus karena Sky tidak menjawab pertanyaannya. Tapi kemudian dia menyunggingkan senyumnya mendengar pertanyaan Sky.

"Kondisinya hari ini stabil. Jauh lebih baik dari minggu kemarin," jawab perawat muda itu semangat.

"Mama bisa kenal aku, kan?" tanya Sky lagi. Sorot matanya berubah sendu.

Si perawat muda itu mengusap bahu Sky lembut. "Aku tahu kamu masih trauma soal kejadian dua bulan yang lalu. Tapi percayalah, kondisi Mama kamu selalu stabil selama kamu tidak mengunjunginya kemarin. Tak jarang Mamamu justru bertanya tentangmu. Kenapa kamu tidak mengunjunginya beberapa minggu terakhir. Dia bahkan tersenyum senang saat kami memberitahunya bahwa kamu sedang ada kompetisi anggar di luar negeri," jelas si perawat. 

SEANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang