First Meet

33 2 0
                                    

Gerimis tipis membungkus pemakaman pagi itu. Orang-orang dengan baju hitam memenuhi pemakaman. Sementara itu, Sean duduk di kursi rodanya dengan tubuh penuh perban. Dia menatap kosong upacara pemakaman kedua orang tuanya di depannya. Menolak untuk memberi ucapan selamat tinggal. Bagaimanalah dia bisa berbicara kalau lidahnya serasa kelu?

Upacara itu berlangsung cepat karena gerimis semakin deras. Selepas itu, orang-orang bergegas pergi setelah sempat memberi ucapan ikut berbela sungkawa pada Sean dan keluarganya. Sekali lagi Sean hanya diam dan tidak mendengarkan semuanya. Bukan karena telinganya sudah kebas sejak dia tahu kedua orang tuanya meninggal. Tapi karena Sean memang tidak bisa mendengar semuanya.

Sean kembali menangis setelah pemakaman sepi. Hanya ada dia dan kedua sahabatnya yang masih disini. Di sampingnya ada Alaska dan Reyhan yang sejak tadi hanya diam sambil sesekali mengusap mata mereka yang basah. Tidak tahu harus berbuat apa agar bisa menghibur Sean.

Beberapa saat kemudian, Sean merasakan bahunya ditepuk pelan. Dia menoleh dan mendapati Pamannya sudah berdiri di sampingnya. Menatapnya dengan pandangan yang tidak bisa diartikan. Pria itu memperlihatkan layar handphonenya. Menyuruh Sean untuk membacanya.

'Paman sudah menemukan siapa pemilik mobil hitam yang membuat kalian kecelakaan. Dia adalah seorang CEO perusahaan tour paling terkenal di kota ini. Istrinya adalah seorang chef disebuah restoran ternama. Dia hanya memiliki seorang anak perempuan berumur 12 tahun.'

Sean mendongak. Menyerahkan kembali ponsel Pamannya sambil menatap pria itu dengan tatapan bertanya. Apa maksudnya?

Pria itu mengetik sebuah kalimat singkat kemudian memperlihatkan kembali layar handphonenya pada Sean.

'Kamu ingin Paman melakukan apa untuk membalas perbuatan mereka?'

Sean kembali mendongak. Sorot matanya berubah tajam dan terlihat penuh dendam. "Paman bisa ngelakuin semuanya?"

Pamannya mengangguk yakin.

"Kalau begitu, habisi mereka semua," desis Sean penuh penekanan. Tangannya terkepal kuat di pangkuannya.

"Perintah diterima, Sean," ujar Pamannya meski dia yakin Sean tidak bisa mendengarnya. Seringaian bengis tercipta di bibirnya. Bagaimanapun juga, dia ikut tidak terima adik dan adik iparnya meninggal.

"Sean," kata Alaska panik. Dia tidak percaya Sean mengucapkan kalimat itu.

"Aska, biarkan Paman membalaskan dendam Sean," kata Paman Sean.

"Tapi Paman, bukankah--"

"Bukankah itu terlalu kejam, Paman?" potong Reyhan datar. Dia melirik Sean yang masih diam. Tidak bisa mendengarkan percakapan mereka.

"Tidak bagi orang-orang seperti Paman, Rey." Paman Sean menatap Reyhan dingin.

"Paman, Sean bilang kayak gitu mungkin karena kondisinya lagi nggak baik," kata Alaska.

"Ini bukan semata-mata karena keputusan Sean. Tapi juga keputusan Paman sebagai kakak."

"Paman." Suara dingin milik Sean membuat ketiga orang yang sedang bersitegang itu menoleh.

"Kenapa, Sean?"

"Sisakan anak tunggal pria itu."

Suara dingin Sean menjadi penutup percakapan mereka pagi hari itu. Setelahnya Paman Sean pergi meninggalkan tiga remaja laki-laki itu. Menyuruh Alaska dan Reyhan untuk mengantar Sean kembali ke rumah sakit.

ᅳ..ᅳ

Sky baru saja keluar dari mobilnya saat teman-teman sekelasnya berlari kecil ke arahnya. Mereka terlihat senang saat Sky menampakkan diri lagi di sekolah setelah hampir satu bulan dia tidak masuk sekolah karena ada kompetisi.

SEANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang