31

88 22 5
                                    

Syuting tetap dilanjutkan, walaupun tak bisa dipungkiri perasaanku kacauㅡtak karuan.

Kini, aku dan Renjun berada di sebuah restoran. Setelah perbincangan serius tadi, kami pun mengakhirinya seolah tak pernah ada perbincangan tersebutㅡbahasa sederhananya: berpura-pura bahwa semua baik-baik saja. Namun, hati tak bisa berbohong, kan?

Kami berada di sebuah restoran yang memiliki gaya unik dan kata pria itu, dia sedang mencari inspirasi melukis di sini. Aku hanya mengiyakan saja dan mulai merekam dirinya.

Pria itu mulai berbicara sendiri, menjelaskan beberapa hidangan dan mengaitkannya dengan seni lukis. Entahlah, aku tak terlalu mendengarkannya karena pikiranku sedang sibuk bergelut seorang diri.

Entah mengapa, aku mulai merasa menyesal atas apa yang kukatakan tadi dan aku membenci perasaan menyesal itu. Lebih tepatnya, aku benci pada diriku sendiri yang labil dalam menyikapi cerita ini.

"Yega?"

Aku beralih dari menatap layar kamera. "Kenapa?"

Dia menyerahkan se-pack tisu padaku. "Ke kamar mandi aja, jangan ditahan."

"Hah?"

Renjun menggeleng. "Pokoknya, kalau nggak kuat, jangan ditahan, ya."

Gengsiku lebih tinggi dari segalanya. Aku paham maksud Renjun. Dia peka, sedari tadi aku menahan tangisku agar tidak pecah. Berlindung di balik kata 'profesional', yang sebenarnya itu adalah kedok semata agar aku tak menumpahkan air mataku saat ini.

"Gue gapapa," jawabku.

Dia terkekeh. Tak lama, dering ponsel terdengar dari ponsel miliknya. Pria itu meletakkan alat makan dan bangkit berdiri dari duduknya. "Gue telepon bentar, ya. Lo ke kamar mandi dulu aja."

Aku menggeleng. "Gue di sini aja."

Renjun mengangguk, kemudian berjalan meninggalkanku yang kini sudah kembali bergelut dengan pikiranku sendiri.

Sebenarnya, apakah kisahku memang serumit ini? Atau, semesta yang sengaja memperumit semua ini?

Atau, diriku yang membuat rumit sehingga kisah ini menjelma seperti labirin tanpa jalan keluar?

Ada suatu hal yang membuatku tak bisa menafsirkan perasaanku. Aku takut salah penafsiran dan takut nantinya malah menjadi luka baru di saat luka lamaku pun belum pulih seutuhnya.

Kuhela napas panjang. Aku ingin sekali kisah ini segera tamat, tetapi entah mengapa masih ada perasaan tak rela jika ini harus berakhir alias aku hanya sebatas teman dengan pria itu. 

Di menit yang sama, kembali kuhela napas panjang. Aku mematikan kameraku, hendak pergi ke toilet, membasuh wajahku dengan harapan pikiranku juga akan tersegarkan. Namun, gerakanku terhenti ketika melihat seorang pria menghampiri mejaku.

Tidak, itu bukan Renjun.

"Jaemin? Ngapain lo ke siㅡ"

"Beresin barang lo, Ga. Lo pulang aja, biar syuting hari ini gue yang nyelesain."

Aku menaikkan sebelah alisku, tak mengerti. "Tiba-tiba?"

"Haechan di depan pake mobil gue. Samperin, gih." Jaemin tak menjawab pertanyaanku, seolah dia sengaja menghindar.

"Kenㅡ"

"Buset, dah. Lo nanya mulu."

Masih dengan kebingungan yang menyelubung, aku pun membereskan barangku, meninggalkan barang-barang syuting yang katanya Jaemin akan menggantikanku untuk melanjutkan.

Pria itu mengantarku ke luar dari restoran dan kami berjalan menuju parkiran, menghampiri mobil yang di muka depan tengah bersandar dua pria yang sedang mengobrol.

Teroptik | Renjun NCT [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang