32

91 21 4
                                    

Setelah perbincangan tadi, kami tidak jadi menuju apartemen Haechan karena Jaemin meneleponku, memintaku untuk ke kantor, menggantikannya memeriksa berkas yang ditinggalkan untuk mengambil alih pekerjaanku.

Tidak ada perbincangan lanjutan antara aku dan Haechan, perjalanan begitu hening dan canggung, lebih tepatnya sepertinya Haechan yang merasa canggung padaku.

Setelah mengantarku, Haechan langsung pergi, tak seperti biasanya yang mengantarku sampai ke lobi kantor. Aku tak mempermasalahkan itu, mungkin pria itu butuh waktu untuk memikirkan perbincangan kami tadi.

Aku langsung menuju lantai teratas dan menuju ruangan Jaemin dan menuju mejanya yang sudah terdapat banyak tumpukkan berkas.

Perasaan tak enak menyerbuku. Untuk apa pula Jaemin menggantikan pekerjaanku ketika dirinya memiliki setumpuk pekerjaan?

Memilih untuk tak memikirkan lebih lanjut, aku pun segera memeriksa tumpukan kertas tersebut dan larut ke dalamnya.

***

Jaemin yang menjemputku setelah pria itu menyelesaikan rekaman dengan Renjun. Dia mengajakku makan terlebih dahulu sebelum mengantarku pulang ke rumah.

Di tempat biasa, warung pecel lele langganan kami. Setelah memesan, kami langsung mengambil tempat dan duduk di sana.

"Gimana perasaan lo?" tanya Jaemin, membuka topik pembicaraan.

"Feel better," jawabku. "Oh, ya, mulai besok, gue yang tetep garap punya Renjun, gapapa, Jaem."

"Lo yakin? Kalo emang nggak sanggup, gapapa, jangan dipaksa. Bersikap profesional boleh, tapi lo juga harus tau batasan, apakah diri lo sanggup atau nggak buat pura-pura baik-baik aja."

Aku mengangguk. "Gue bakal baik-baik aja, Jaem."

"Kalo itu mau lo, ya, gapapa, sih. Tapi, kalo suatu waktu lo ngerasa nggak sanggup karena ada konflik batin, jangan sungkan kabarin gue, ya. Jangan kayak tadi, gue malah dapet kabar dari Haechan dan akhirnya dia minta tolong ke gue buat gantiin lo syuting hari ini," ujar Jaemin.

Aku menaikkan sebelah alisku. "Haechan yang minta tolong ke lo?"

"Iya, dia dapet kabar dari Renjun, terus Renjun minta tolong Haechan buat jemput lo. Habis itu, Haechan ngehubungin gue," jawabnya.

Cerita versi Jaemin berbeda dengan yang kudengar dari Haechan tadi. "Jadi, bukan Renjun yang langsung hubungin lo?"

"Dia nelepon gue, tapi nggak gue angkat karena gue lagi meriksa berkas. Terus kayaknya dia nelepon Haechan," katanya. "Lo tau, nggak, sih? Temen playboy lu itu nyepam call  ke ponsel gue, padahal udah gue tolak berkali-kali."

Entah apa yang Renjun katakan pada Haechan, tetapi aku yakin Haechan kelewat khawatir sampai melakukan spam call pada Jaemin.

Dua pria itu sama-sama mengkhawatirkanku. Seharusnya, diriku bersyukur karena dicintai dua pria baik, tetapi entah mengapa itu malah menjadi beban untukku.

"Jaem, lo suka sama gue?"

Pria itu menaikkan sebelah alisnya. "Lo sehat, Ga?"

Aku tertawa. Jaemin jelas tak memiliki perasaan untukku, aku tahu. Pria itu terlalu sibuk sampai tak ada waktu memikirkan percintaan. "Nanya aja, siapa tau lo juga suka sama gue kayak dua temen lo."

Jaemin membulatkan matanya. "Lo udah tau Haechan suka sama lo?"

"Udah dari jaman kita masih kuliah. Tapi, gue pura-pura nggak tau aja. Karena kayaknya temen lo juga lebih nyaman mencintai dalam diam," jawabku. 

Teroptik | Renjun NCT [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang