BAB 3 : Medal

20 3 0
                                    

"Ibu ? Kak Andrea ? Dimana kalian ?".

Suasana disekitarnya sangat gelap mencekam, tak ada satupun jawaban yang terdengar. Arlan terus menyusuri ruangan itu dengan harapan dapat menemukan Andrea ataupun Ayla. Tetapi sejauh apapun dia berjalan, apa yang dicarinya tidak menampakkan diri sedikitpun.

"Ayah ? Kak Anita ? Nyonya Hilda ? Maria ? Pak Assad ? Dimana kalian ?" Arlan terus memanggil berharap satu orang saja menyahut panggilannya.

"ARLAN !" sebuah suara terdengar memanggilnya.

Arlan berlari menuju sumber suara yang dia dengar, berharap itu suara dari orang-orang yang dia cari, tanpa dia sadari, jalan yang dia tempuh telah tergenang oleh lautan darah. Semakin lama dia berlari, semakin banyak cipratan darah yang menempel pada bajunya. Perlahan-lahan, sebuah siluet mulai terlihat dari kejauhan, seorang wanita yang dia kenali sebagai Ayla.

"Ibu !" Arlan menghampiri wanita itu.

Ayla menatapnya dingin.

"Arlan...mengapa...kau...pergi ?".

"Aku masih disini ibu, aku di depan ibu sekarang !" Arlan memegang bahu Ibunya.

"Menga...pa...kau...pergi ?" Mata dan badan Ayla mengucurkan darah.

SRAAAAK !

Darah bercucuran dari punggung dan mata Ayla seolah-olah tidak ada habisnya sama sekali disusul dengan bau amis yang semakin menyengat. Lubang-lubang kecil muncul pada kulit Ayla termasuk pada punggungnya, empat buah tentakel menumbuhi punggungnya. Kulit pada lengan kanan dan kiri Ayla terlihat tak lagi memiliki isi yang sama, daging dan tulang pada kedua lengannya telah meleleh dan menetes keluar dari lubang-lubang itu, sebagai gantinya sepasang tentakel mencuat keluar dan merobek kulit pada sepasang lengannya.

"I...ibu ? A...apa...apa yang terjadi padamu !?" Tubuh Arlan bergetar hebat, air matanya mengalir disertai dengan keringat yang berkucuran deras.

"INI SEMUA SALAHMU !" .

KREEEK !

Kulit pada leher Ayla terbelah hingga menampakkan tulang lehernya yang semakin memanjang. Kedua bola matanya semakin membesar, bahkan lebih besar dari tengkorak matanya, kedua bola mata itu menatap Arlan dengan tatapan yang tajam. Tentakel pada punggungnya perlahan berubah menjadi tulang yang tajam dan melesat dengan kecepatan tinggi menghujam tubuh Arlan hingga menembus badannya.

"Kenapa..., kenapa, ibu ?" Pandangan Arlan menjadi buram dan perlahan menghitam.

***

"HAAAAH !" Arlan tersentak dari tidurnya.

Dia memperhatikan sekelilingnya, samar-samar dia mengenali saat ini ia sedang berada di kamarnya sendiri. Andrea terlihat tertidur pulas diranjang sebelahnya, pertarungannya dengan Evelirayan tadi benar-benar membuatnya kelelahan. Arlan turun dari tempat tidur seraya meraba meja tulisnya, kemudian dia mengambil sebuah kunci dan berjalan keluar menuju ruang tamu. Namun dia harus memperkecil langkahnya, terlihat Diana dan Akemi tertidur lelap pada tikar yang tergelar di ruang tamu.

'Hmmm, mereka tidur disana ya ?' gumam Arlan dalam hati.

Arlan melangkahkan kakinya perlahan menuju pintu, dia merasa menginjak sesuatu namun dia berusaha untuk tenang, lalu dengan hati-hati dia membuka pintu dan menutupnya kembali. Dia mengenakan sendalnya yang telah tersusun rapi di depan pintu, sembari berjalan pergi meninggalkan rumahnya. Jalanan disekitarnya sepi, tidak ada satupun rumah ataupun ladang disekitarnya, hanya sisa-sisa barikade MWSF yang masih berdiri karena ditinggalkan oleh pemiliknya. Setelah beberapa langkah berjalan, akhirnya dia sampai pada tujuannya, sebuah rumah pohon yang cukup besar dengan sebuah tangga gantung di bawahnya, jendela bulat pada rumah pohon itu terlihat tertutupi oleh dedaunan yang berguguran.

Andromeda Series : Boy of KiranaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang