12. Asing sebelum ada hubungan

13 4 3
                                    

Holla semuaaaaaa!!!
Apa kabar???
Semoga selalu baik, ok?

Cerita ini murni hasil karangan otakku sendiri!!!

Happy Reading!!!
Semoga sukaaaaa!!!

Sudah beberapa hari mereka tidak saling bertukar sapa, bahkan sedikit terlihat asing. Biasanya hampir dua puluh empat jam mereka bertengkar karena hal sepele. Sudah berhari-hari juga mereka tidak saling bercerita lewat whatsapp.

Karena apa, ya? Mungkin karena Aksa yang tiba-tiba saja confess. Katanya orang-orang, "Suka boleh, tapi jangan confess, nanti asing." Dan, ada juga yang seperti ini. "Udah bagus cuma temenan, eh malah confess, kan asing jadinya."

Terkadang kita perlu memendam rasa suka kita, untuk terus bersama, untuk tidak mengenal rasa asing, untuk tidak mengenal rasa canggung. Tapi, kadang kala kita juga perlu mengutarakan rasa suka kita, agar tidak asing karena direbut, agar tidak merasa menyesal berkepanjangan. Tapi, tergantung pemilik sukanya. Ia mau memilih jalur mananya, semoga itu yang terbaik.

Ayra selalu merasa heran dengan dirinya. Mengapa ia sedikit menjauhi Aksa? Ah, sepertinya bukan sedikit, tapi memang sudah menjauhi. Ia merasa sedikit canggung, jika tidak sengaja berpapasan dengan Aksa. Entah karena apa.

"Dia jadian kali sama crush-nya, kan kemarin kata temen-temennya Ayra confess."

Ucapan dari Devan mampu membuat Aksa sedikit kepikiran. Ia kalah? Atau masih punya kesempatan?

Saga yang mendengar itu pun langsung menoleh ke arah Aksa yang berada di sampingnya. "Biasanya kalau ada temannya yang lagi galau karena cintanya ditolak tuh disemangatin. Eh, ini malah dibikin tambah kepikiran." Saga menasehati.

Mereka berempat sudah seperti penguasa sekolah saat ini. Duduk berjejer rapi di koridor. Banyak siswi yang memilih putar balik dibandingkan harus menguatkan mentalnya untuk lewat didepan mereka.

Devan berpikir sejenak. Alasan apalagi, ya? Ia melirik tajam ke arah Saga. "Heh, Asep! Gue sama Aksa tuh, sebelas duabelas!"

Aksa mengernyit, heran. Begitu pula dengan Saga, ia mengangkat alisnya, bertanya. Dan, jangan tanya bagaimana Agha. Ia hanya sibuk bermain game yang ada di dalam handphone-nya itu.

"Ya, kan, cinta kita sama-sama bertepuk sebelah tangan. Lo ditolak, kan?" Devan mengangkat alisnya, dan Aksa hanya mengangguk samar-samar. "Gue juga ditolak. Jadi, cinta kita sebelas duabelas."

Agha yang sejak tadi diam, pun kini, menoleh ke arah teman-temannya. Ia bergidik ngeri, sembari menggelengkan kepalanya. "Stres."

Nahkan, sekali ngomong langsung nyeletuk kayak begitu, memang sering ngawur, ya? Tapi, ya, inilah pribadi seorang Agha.
                         
Hening. Suasana menjadi hening sebentar ketika Ayra lewat di depan mereka, dan pastinya, bersama Nara dan Launa. Kya sedang izin karena sakit, sedangkan Zivanna, ia absen karena sedang ada acara.

Heningnya suasana sudah tergantikan oleh suara ricuh yang dihasilkan dari mulut Saga dan Devan. Memang mau siapa lagi? Kalau bukan mereka.

"AYRA, LO GALAUIN AKSA!" teriak Saga, saat Ayra dan teman-temannya sudah hampir tidak  tampak dari jangkauan mata mereka.

Ayra tidak merespons, ia hanya menganggap angin yang lewat. Tapi, berbeda dengan kedua temannya. Sibuk menanggapi ucapan Saga.

"BILANGIN KE AKSA, AYRA JUGA LAGI GALAU!" balas Nara dengan berteriak agar suara bisa didengar jelas.

Ayra yang mendengar langsung menoleh dan menyahuti terlebih dahulu. "HOKS! JANGAN ADA YANG PERCAYA!" Ayra mengangkat kedua tangannya untuk membentuk tanda silang.

Suara tawa renyah terdengar dari Saga dan Devan, begitu pula dengan kedua temannya yang ikut tertawa. "KATANYA AYRA DIA GA TAU MAU JAWAB APA WAKTU ITU!"

Ya, suara itu berasal dari Launa. Dan, pastinya, Nara juga mengangguk ucapan Launa itu. Ayra yang sudah muak mendengar semuanya pun langsung melenggang pergi meninggalkan kedua temannya.

Aksa menatap tajam ke arah kedua temannya, karena menyadari jika Ayra sudah melenggang pergi dengan kondisi muka yang sudah malas. "Diem! Ga usah nyaut!"

"Pawangnya udah marah, diem wae, Sep!" peringat Devan, berbisik pada Saga.

Launa menoleh ke belakang, ia tidak mendapati sosok Ayra di sana. Dengan segera ia menarik rambut Nara agar menghadap ke belakang. "Apasih, Lau!"

Launa berdecak kesal. "ANAKNYA UDAH MARAH. UDAH NGILANG JUGA!" teriaknya memberitahu. Nara menoleh. Dan, benar! Sudah tidak ada lagi Ayra di sana.

Mereka segera berlali mengejar Ayra yang sudah tidak terlihat. Mungkin sudah sampai di kantin?Ya, tujuan awal mereka adalah kantin, tetapi karena drama tadi, jadi terhambat sebentar.
                           *****

"Ra, jangan marah dong. Yang mulai, kan, si Launa duluan. Lo diemin Launa aja, jangan gue," bujuk Nara.

Sedari istirahat tadi, Ayra terus mendiami mereka sampai jam pulang sekolah sudah tiba. Ia hanya membalas jika penting, itu pun hanya singkat, seperti "Ya" ataupun "Ga".

" Kok gue? Yang nyautin duluan, kan, lo!" sewot Launa saat mendengar ucapan Nara.

Ayra memutar bola matanya malas, ia mulai mengeluarkan motor scoopy-nya dari motor-motor lain yang menghalangi. Ayra berdecak sebal karena sedari tadi kedua temannya tidak berhenti adu mulut.

"Gue duluan," pamitnya saat sudah berhasil mengeluarkan motornya, lalu tanpa menunggu jawaban dari kedua temannya, ia langsung melajukan motornya. Dan, sekarang, sudah tidak terlihat dari jangkauan mata mereka.

Mereka saling menatap tajam. Seolah tidak mau disalahkan. Bagi Nara, Launa-lah yang salah. Dan bagi Launa pula, Nara-lah yang salah. Bukannya manusia memang sering seperti itu, ya?

Bibir Launa hendak berprotes, tetapi sudah dulu disebut oleh Nara, "ini! Gara-gara, lo!" ujar penuh penekanan.

Launa yang tidak terima pun menyahut. "Yang nyahutin duluan siapa? Lo, kan? Jadi, salah lo!" balas tak terima. Lalu berpencar untuk mengeluarkan motor mereka masing-masing.

Persahabatan itu, tidak jauh-jauh dari kata berantem. Ya, walaupun besok akan kembali akur lagi, Tetapi, memang seperti itulah persahabatan. Berantem–akur, dan begitu saja terus-menerus. Sudah menjadi ciri khas. Begitu, bukan?
                           *****

"AYRA, MAAFIN KITA, YA? INI KITA BAWA JAJA KESUKAAN LO!" teriak Nara sembari menggedor-gedor pintu kamar Ayra.

Mereka sudah berniat akan membujuk Ayra dengan cara seperti ini. Pasti akan ampuh! Terkecuali, jika masalahnya bukan masalah sepele. Semua pasti tidak bisa dibujuk dengan apapun.

Fania datang, dan ikut membujuk anak bungsunya itu. "Ayra, keluar sebentar, ya, Sayang?" tanya Fania dengan suara lembut, sembari mengetuk-ngetuk pintu pelan.

Pintu terbuka, menampilkan Ayra yang memasang muka malasnya. Aish sepertinya ia memang selalu luluh jika Mamanya yang membujuknya.

"Bicarain baik-baik, ya? Mama tinggal ke bawah." Fania langsung meninggalkan mereka bertiga.

Ayra yang masih malas untuk berbicara dengan mereka pun, mengode dengan matanya untuk masuk saja. "Oke! Terima kasih Ayra cantik!" puji mereka, bersemangat.

















Hehe, bagaimana bab ini??
Maaf kalo sedikit.

Terima kasih sudah membaca. Votmen-nya jangan lupa! Jangan menjadi pembaca yang diam saja!

Maaf bila ada persamaan nama, alur, suasana, latar, dll

'Ini tentang kita'

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 16, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ini tentang kitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang