Agustus, 2016
"Selamat ulang tahun Maya," ucap Elisha kepada putri tunggalnya yang kini menginjak umur delapan tahun. Wanita itu mengelus puncak kepala putrinya dengan lembut, sembari merapikan anak poni yang berkeliaran.
"Bunda .., kenapa ayah nggak ada?" balas anak itu, mengalihkan topik. Ayahnya tak pulang setahun belakangan ini. Bunda pernah berkata, jika sang ayah akan pulang saat ia, Maya, berulang tahun. Karena tak mungkin ayah melupakan hari spesial anaknya.
Namun kenyataanya Rangga, ayah Maya, tetap tak kunjung pulang di hari spesial ini. Maya pun menjadi murung. Semeriah apapun pesta yang dirayakan, kalau ayah tak ada, pestanya menjadi tak berarti.
Maya duduk di sebuah kursi makan. Ia menatap kue yang terletak di meja makan itu dengan pandangan kosong.
"Maya .., Maya nggak boleh gitu dong. Ayah sibuk cari uang buat Maya. Maya seharusnya senang! Semangat, yuk!" ucap Elisha. Wanita itu kini memeluk putrinya dari samping dengan penuh kelembutan, bertujuan untuk membuat Maya tenang.
"Tapi mau sampai kapan Bunda? Maya, kangen sama ayah. Terus kenapa Maya nggak boleh telpon ayah?" tanya Maya dengan polosnya. Ia benar-benar terlalu kecil untuk bisa memahami kondisi ayahnya saat ini. Anak itu mengerutkan kening, dan memasang muka sekecewa mungkin.
"Ayah sedang sibuk, Maya," lagi-lagi, hanya kalimat itu yang bisa Elisha lontarkan kepada Maya. Kemudian, wanita tersebut pergi meninggalkan putrinya. Diambilnya sticky note dan juga sebuah pulpen dari lemari, dan ia pun berjalan kembali menghampiri.
"Coba Maya tulis, hal apa saja yang Maya mau lakukan bersama ayah. Nanti, suatu saat, saat ayah pulang, Maya lakukan hal-hal itu," ujarnya menerangkan. Ia menaruh sticky note beserta pulpen itu persis di depan sang anak.
Maya yang kebingungan refleks memiringkan kepala. "Hal apa aja yang mau dilakukan?" tanya Maya mengulang perkataan bundanya.
Elisha mengangguk sembari tersenyum manis. Kemudian ia memperhatikan putri mungilnya itu yang mulai menulis sebuah kalimat di sana.
Maya mau ngerayain hari ulang tahun sama ayah.
Tulis anak itu. Hanya itu. Sesimpel itu. Maya tak mau meminta lebih. Ia hanya mau, ayahnya pulang dan merayakan hari ulang tahun bersama.
"Hanya itu sayang?" tanya Elisha.
Maya membalas dengan anggukan kecil yang berarti 'iya.'
"Kalau sudah, coba Maya tempel di tembok ya sayang. Karena ayah adalah orang yang sangat sibuk, Maya nggak bisa menyuruh ayah untuk selalu ada dengan Maya. Mungkin tahun ini ayah sama sekali nggak pulang, tapi mungkin tahun depan ayah akan pulang. Maya jangan sedih, ya, harus bahagia." Elisha tersenyum tipis sembari mengusap rambut Maya. Dipegangnya juga pipi tembem anak itu, dan bibirnya yang memasang ekspresi cemberut.
Mendengar ucapan sihir dari bundanya, Maya refleks ikut tersenyum. Ia pun berlari menuju kamar, dan lekas menempelkan kertas itu dengan lem yang berada di meja belajar.
Walau ayah tak ada, setidaknya ia tak kehilangan bunda. Bunda adalah manusia yang paling dekat dengan Maya, dan satu-satunya manusia yang paling mengerti dan mencintai Maya.
"Maya sayang bunda sama ayah ...," desis anak itu dengan suara pelan.
Ia mencintai kedua orang tuanya dengan sepenuh hati. Tanpa bunda dan ayah, mungkin Maya bukanlah apa-apa. Mungkin anak itu hanyalah putri tersesat yang berada di menara tinggi, tanpa bisa turun dengan sendirinya. Bunda dan ayah melakukan kewajiban mereka dengan tepat. Ayah yang selalu memenuhi kebutuhan Maya, dan bunda yang selalu ada saat Maya sedang berada di fase terendah. Bukan sayang, melainkan cinta. Anak kecil itu sangat mencintai orang tuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Bahagia
Teen FictionNamanya adalah Maya. Gadis pintar pemenang OSN Matematika tingkat SMP yang mukanya sempat terpajang di akun pemerintahan sebagai brand ambassador dan memiliki segudang prestasi lainnya, sekaligus anak dari seorang pengusaha ternama. Banyak orang bil...