08 | Kabur

77 10 0
                                    

Pagi ini cuaca sangat segar. Matahari belum muncul, dan udara masih terasa dingin. Dengan rasa bangga dan semangat penuh, Riska berdiri pada gerbang sekola untuk berjaga. Senyuman lebar ia berikan pada siapapun yang masuk. Termasuk Maya.

"Hai .., Maya ...," sapanya antusias. Dan Maya membalas dengan cengiran paksa.

"Lo kemarin sakit, ya? Sakit apa?"

Maya kini memberhentikan langkahnya. Ia menatap Riska sekilas. "Bukan urusan lo."

Riska pun mengembangkan kedua pipinya dan mengangguk paham. Kemudian, ia memperhatikan Maya yang terus berjalan mendahului. Gadis itu pergi ke taman sekolah. Tidak menuju kelas.

🦊🐰🐸🐱🐣

"Aw ...," Maya memegang perut bagian kirinya. Di sana perih. Padahal sudah dua hari yang lalu. Namun rasa sakitnya masih sama. Hari ini Maya benar-benar merasa tidak berenergi. Untuk mau makan pun terasa susah. Tapi mau bagaimana lagi, masa ia harus izin untuk kedua kalinya?

 Tapi mau bagaimana lagi, masa ia harus izin untuk kedua kalinya?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Maya menyenderkan badannya pada pinggiran gazebo. Sekolah ini luas. Pada daerah taman, terdapat tiga gazebo kecil dan air mancur koin di tengah. Di depan taman, ada lapangan sepak bola yang dibatasi oleh jalanan berbata. Dari sini Maya dapat melihat Ibam yang sedang asik main sendiri dengan seragam PSAS. Dan ada Agnes yang menonton tentunya.

Lama-lama Maya benci sekolah. Tempat ini ternyata tidak ada bedanya dengan rumah. Semua terlihat sama. Sama-sama menghancurkan. Gadis itu tidak bisa membayangkan bagaimana dengan entengnya sekolah memanggil ayahnya begitu saja. Maya pikir ini adalah rumah. Maya pikir di sini ia akan diterima. Memiliki teman seperti saudara, dan memiliki guru layaknya orang tua kandung. Namun, ah sudahlah! Sepertinya gadis itu memang ditakdirkan untuk menderita.

15 menit berjalan, tanpa sadar Ibam dan Agnes sudah masuk ke dalam kelas. Mereka sama sekali tidak melihat keberadaan Maya. Tidak tahu juga sih, mungkin melihat namun tidak peduli?

Maya benci sekolah. Rasanya ia ingin kabur saja dari sini. Dan mungkin itu adalah ide gila yang terbesit di kepalanya saat ia melihat gerbang belakang sekolah yang kira-kira bertinggi 3 meter.

Tanpa aba-aba, gadis narkoba itu bangun dari duduknya. Ia berdiri menuju gerbang tersebut dengan tas ransel yang masih menyantol di bahu. Berjalan mendekat, dan menelan ludah secara perlahan.

Ia mulai mencantolkan tangan kanannya pada sela. Gerbang itu berlubang-lubang. Atasnya juga tidak ada kawat atau semacamnya. Mungkin SMA Sendika tidak pernah terpikirkan sebelumnya jika suatu saat akan ada siswa yang kabur.

'Gue pasti bisa.'

Ia mulai mengeratkan tangannya. Mungkin ide ini sedikit gila, namun Maya benar-benar muak dengan sekolah. Sekolah tidak ada bedanya dengan rumah--neraka--yang ia tinggali.

🦊🐰🐸🐱🐣

Kring ...

Bel masuk sekolah berbunyi dengan nyaring. Riska menatap jendela dengan pandangan sendu. Sesekali ia menengok ke belakang, memastikan siapa tahu gadis narkoba itu ternyata sudah duduk di sana sedari tadi. Namun nyatanya nihil. Maya tidak ada.

Tentang BahagiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang